Marwan Mas
Polisi Indonesia berusia 62 tahun, usia yang amat matang jika diukur usia manusia. Sayang masih belum berbanding lurus dengan kematangan usia dalam berkarya.
Usia polisi belum sejalan lirik puisi penyair AS, Sara Trevor Teasdale, ”waktu adalah teman yang baik, ia akan membuat kita bijaksana”. Masyarakat sering merasa terbebani oleh kehadiran polisi. Berbagai upaya membuka diri tidak membawa potret polisi lebih baik akibat jejak masa lalu yang dianggap buram.
Rentetan peristiwa yang memojokkan polisi kian menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Tak heran bila tiap langkah polisi selalu menimbulkan keraguan. Bentrok dengan mahasiswa Universitas Nasional saat berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak bukan gambaran wajah polisi sebenarnya.
Polisi belum mampu memadukan dua kepentingan berbeda. Pengunjuk rasa yang melarikan diri karena dibubarkan paksa tidak perlu dikejar sampai masuk kampus. Kepentingan keamanan lebih menonjol ketimbang memaknai aspirasi rakyat. Tanpa bermaksud membenarkan aksi anarki mahasiswa belakangan ini, tetapi itulah bentuk kekecewaan kepada pemerintah yang tidak mau mendengar jeritan rakyat.
Sahabat dan mitra
Meningkatnya perasaan tidak aman (fear of crime) bagi masyarakat dapat menimbulkan sikap apatis kepada polisi. Namun, memberi rasa aman juga bukan pekerjaan mudah, harus ditunjang kualitas sumber daya dan sarana. Sudah saatnya polisi kita meniru etos kerja polisi Jepang yang cepat melayani kebutuhan masyarakat. Mereka memegang kultur dan perilaku santun dalam melayani dan mengayomi masyarakat meski tegas terhadap setiap perilaku menyimpang.
Prinsip polisi Jepang, tidak membiarkan pelanggaran sekecil apa pun dalam kehidupan masyarakat. Yang dikedepankan adalah memperluas pengetahuan guna mendalami komunitas yang dilindungi. Prinsip ini mendekatkan polisi dengan masyarakat sehingga kehadiran polisi dirasakan sebagai ”sahabat dan mitra”, bukan membebani masyarakat.
Polisi harus selalu siap mengamankan kehidupan masyarakat dan tidak melanggar HAM saat menegakkan hukum. Ini akan terlaksana bila dihadapi dengan kepala dingin. Sabar, telaten, dan tidak sangar saat menata tertib hukum, mendekatkan polisi dengan masyarakat.
Bentrok polisi dengan mahasiswa pengunjuk rasa belakangan ini—yang seharusnya dijaga dan dilindungi—mengindikasikan telah terjadi pergeseran paradigma. Profesionalitas bukan menjadi tujuan pokok, tetapi amat mendasar dalam mengamankan aksi unjuk rasa. Kelemahan polisi yang juga sering disorot adalah seringnya terlambat ke tempat kejadian perkara (TKP). Akibatnya, TKP tidak bisa dibuat ”bicara” karena sudah rusak. Padahal, hasil olah TKP amat berperan mengungkap kasus yang sulit pembuktiannya.
Sipil berseragam
Perjalanan polisi Indonesia sebenarnya sarat nuansa perubahan. Salah satunya menjadi ”polisi sipil” yang berorientasi pada penguatan rakyat, berinteraksi dengan rakyat, dan menjadikan masyarakat sebagai mitra. Polisi lahir dari masyarakat, dari ”orang sipil”, maka sering disebut sipil berseragam (a civilian in uniform). Perilaku sipil harus lebih menonjol agar warga yang dilayani dan ditertibkan merasa tidak ada jarak. Itulah watak polisi, berbeda dengan militer.
Seperti lazimnya kepolisian di dunia, perilaku khas sebagai sipil berseragam dan dipersenjatai adalah dekat masyarakat yang akan dilayani dan ditertibkan. Di dalamnya penuh dimensi kultural yang butuh perilaku bijak saat menangani persoalan masyarakat. Perubahan kultur dan perilaku polisi harus dilakukan secara progresif, bukan hanya secara alamiah seperti selama ini.
Tentu tidak bijak menuntut polisi berubah secara sepihak. Harus ada harga yang dibayar guna mendapat keamanan. Banyak aspek harus ditata guna mengubah polisi menjadi lebih baik, seperti kesejahteraan, fasilitas memadai, jumlah personel mendekati rasio ideal, dan perbaikan rekrutmen. Jika masyarakat berhak mendapat perlindungan dan pengamanan, perlu diimbangi partisipasi nyata.
Personel polisi harus dekat masyarakat. Konsep community policing (Pasal 14 UU Kepolisian) adalah bagian penguatan masyarakat. Polisi harus berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Marwan Mas Analis Hukum; Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar