Wednesday, May 30, 2007

Hubungan Pasien-Dokter
Komunikasi Menjadi Kunci

Mengapa banyak tuduhan bahwa dokter melakukan malapraktik? Juga fenomena pasien berbondong- bondong berobat ke luar negeri? Apakah dokter Indonesia kurang mampu memberikan kepuasan serta rasa aman kepada pasien?

Jawabnya, karena komunikasi belum menjadi urusan utama dokter Indonesia. Di sisi lain pasien belum sadar hak dan kewajibannya sebagai pasien. Hal itu mendorong guru besar emeritus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Daldiyono Hardjodisastro menulis buku Pasien Pintar & Dokter Bijak yang dipaparkan dalam ceramah di FKUI/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, Selasa (29/5).

Menurut Daldiyono, untuk mendapat hasil maksimal dari pertemuan dengan dokter, pasien harus mempersiapkan diri. Misalnya mengenakan pakaian yang memudahkan dokter melakukan pemeriksaan. Selain itu pasien juga perlu mencatat keluhan yang hendak disampaikan ke dokter secara lengkap, kapan dirasakan, upaya yang sudah dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Beritahukan pula penyakit yang pernah atau sedang diderita, obat yang sedang diminum serta jika ada alergi.

Dari tanya jawab soal keluhan dan pemeriksaan fisik pasien, dokter akan menegakkan diagnosis kemudian memberikan terapi termasuk resep obat.

Pasien berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai hasil pemeriksaan, menanyakan bila ada yang belum jelas, mengambil keputusan untuk menerima atau menolak saran dokter tentang terapi yang akan diberikan. Jika pasien tidak menerima keputusan dokter, ia berhak mencari pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain.

Pasien yang pintar perlu bertanya dan mengetahui obat apa yang diresepkan serta manfaatnya. Jika kondisi keuangan tidak memungkinkan, pasien perlu meminta obat generik.

Hilangkan sifat ingin cepat sembuh. Pengobatan perlu waktu, kesabaran, dan ketekunan. "Banyak dokter terbawa kemauan pasien yang ingin cepat sembuh, sehingga dokter melakukan pelbagai jenis pemeriksaan yang belum tentu diperlukan atau memberi obat berlebihan," papar konsultan gastroenterologi-hepatologi itu.

Sebaliknya, dokter yang bijak adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dengan pasien. Mau mendengarkan keluhan pasien, menjawab pertanyaan dan menjelaskan situasi pasien, memberi nasihat cukup tidak sekadar memberi resep sehingga pasien merasa puas.

Kemampuan berkomunikasi merupakan inti dari pekerjaan dokter. Kepandaian sebenarnya nomor dua saja. Pasalnya, 60 persen pasien sebenarnya tidak sakit, tetapi mengalami kelainan fungsional. Hanya 40 persen yang benar-benar sakit, itu pun 20 persen sembuh sendiri. "Pengobatan atau proses asuhan medik adalah usaha bersama," katanya.

Bagaimana menghadapi dokter yang tidak komunikatif? Tinggalkan saja, pindah dokter, saran Daldiyono. (atk)

No comments:

Post a Comment