Sunday, May 27, 2007

Iklan, Setelah Banjir dan Hujan...

BRE REDANA

Di zaman ini, alangkah susah membedakan mana berita mana iklan. Atau lebih dalam lagi, mana kenyataan atau "kasunyatan", mana pula kenyataan gadungan hasil manipulasi iklan dan media massa. Inikah "junk-image world" alias dunia citra sampah seperti disebut seorang sutradara Amerika?

Berapa banyak orang terkecoh ketika sebuah bank mengiklankan salah satu produk layanannya, yakni tabungan yang dijanjikan bakal memberikan nasabah punya kesempatan memenangkan hadiah mobil? Iklan itu diawali dengan citra seperti siaran berita di semua stasiun televisi, yang memberitakan sebuah mobil hinggap di atap rumah di Simalingkar Medan, nyangkut di sebuah proyek bangunan di Surabaya, terjatuh dari langit di pantai Kuta, dan lain-lain. Pesan tersebut kemudian diperjelas: bank itu sedang mengobral hadiah.

Atau marilah kita bongkar persepsi pada diri kita sendiri, dari kosakata yang merajalela di kota besar, yakni "sukses". Benarkah "sukses" itu dikarenakan memiliki mobil kelas premium bikinan Eropa? Bagaimana kalau mobil itu didapat dari utang? Kalau begitu sukses ngutang?

Dalam hal ini jelas, bukan hanya iklan yang punya banyak peranan dalam mengkonfigurasi cara berpikir dan dunia masa kini. Tak kalah berperannya, media massa pada umumnya yang mereproduksi dan mengamplifikasi keluasan hidup yang disempitkan menjadi urusan produk, urusan barang, urusan gaya.

Setelah banjir dan hujan

Seperti dikatakan Dr Gadis Arivia, pengajar Jurusan Filsafat UI, tidak ada yang salah dengan iklan. Demikianlah adanya, sejak dari perencanaannya, dunia iklan melakukan riset memadai mengenai perilaku konsumen, impuls-impulsnya, dan itu yang akan dieksploitasi dalam strategi pengiklanan produk ataupun jasa. Bahasa iklan memang bahasa rayuan, menjustifikasi dan mendorong impuls mengonsumsi, towo bahasa Jawa-nya—berbeda dari taruhlah bahasa jurnalistik, yang mestinya mempertanyakan, mengusik, menggugat.

Hanya saja, sudahlah, yang terakhir itu tidak usah dilanjutkan panjang lebar. Kita lihat saja bagaimana iklan yang menggambarkan mobil "jatuh" di mana-mana tadi dirancang. Iklan itu bikinan biro iklan ternama, Matari Advertising. IGA Henny Hendraeni, Agung P Suhandjaja, dan Teuku Sultan H Azwar, masing-masing Account Group Director, Associate Creative Director, dan Account Manager perusahaan itu, menuturkan kepada Kompas, bagaimana iklan ini dikonsepkan sampai kemudian dieksekusi.

Mereka melihat, untuk undian tabungan, sebelum ini telah bercokol bank-bank lain, yang iklannya sudah tertancap di benak masyarakat, dengan asosiasi "banjir hadiah", "hujan hadiah", dan lain-lain. Yang belum dimanfaatkan, "angin puting beliung", yang kalau dikaitkan dengan gejala keserentakan, tak kalah hebatnya dengan "banjir" ataupun "hujan".

"Setelah konsep ketemu, tinggal mengeksekusi. Harus diciptakan nama. Puting beliung menjadi ’untung beliung’, itu sesuai dengan pertimbangan rhyming (rima, persamaan bunyi pada akhir kata—Red)," kata Agung Suhandjaja.

Mengenai puting beliung atau untung beliung ini sebagai konsep, mereka menjelaskan, itu semacam hal yang bisa mengubah sesuatu secara spontan. "Dari tak punya mobil menjadi punya mobil," kata Henny. "Orang kita kan suka yang serba instan...," tambahnya.

Impuls, sikap dasar masyarakat yang kiranya sudah dipahami banyak orang, yakni sikap serba instan, percaya keajaiban, ingin apa-apa serba cepat, itulah yang dieksploitasi dunia iklan. Makanya, dalam urusan rezeki ini muncul istilah seperti "gebyar", "durian runtuh", "fiesta", dan lain-lain. Pokoknya, enak belaka, ajaib belaka, mendadak belaka.

Pernyataan sukses

Strategi promosi tentu tak terbatas pada pemberian efek visual, tetapi juga pengalaman. Mobil mewah BMW pekan lalu menyelenggarakan acara bertajuk "A Night Under the Stars with BMW". Di Parkir Timur Senayan yang dijadikan tempat acara, didirikan paviliun bercita rasa modern dengan bahan logam dan kaca. Di samping acara cocktail minum-minum, disediakan 30 mobil terbaru, mulai BMW Seri 3, 5, 7, dan X-Series, yang beberapa di antaranya dimanfaatkan untuk uji coba bagi yang berminat.

"Kami ingin pelanggan kami dapat memahami merek BMW secara personal. Seseorang tidak dapat memahami arti mengemudi BMW hanya dengan melihat iklan, brosur, dan mengunjungi showroom kami. Mereka harus duduk di belakang kemudi untuk menjalin hubungan dan pemahaman dengan BMW," kata Presiden Direktur BMW Indonesia Joerg Kelling.

Kelling punya pengalaman menangani BMW di berbagai belahan dunia, termasuk di India dan Timur Tengah. "Di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, orang membeli merek tertentu sebagai sebuah pernyataan sukses dan mencerminkan gaya hidup mereka. Orang sukses membeli merek yang sukses," katanya.

Ia sempat berkomentar mengenai perilaku media di berbagai negara. "Wartawan dari negara lain sangat agresif. Mereka bertanya sejuta pertanyaan yang sangat spesifik dari segala aspek, mulai dari hal-hal teknis sampai strategi masa depan. Saya tidak mengalaminya di sini," katanya. Mungkin, banyak wartawan di sini merasa puas dengan mengutip brosur. Sementara sebuah produk sebetulnya lebih ingin bermain pada tataran asosiasi, tataran imajinasi.

Bukan rumah sakit

Pada tataran imajinasi ini, sudah lama kita kenal misalnya produk sabun mandi Lux, yang di Indonesia deretan artis pernah menjadi ikonnya, mulai Widyawati, Sophia Latjuba, Tamara Blezynski, sampai Luna Maya. Sementara bintang film luar negeri, tersebutlah dari Ursula Andress, Claudia Cardinalle yang terasa masih di mata sexy-nya dalam film-film koboi zaman dulu, hingga bintang Bollywood, Aishwara Ray.

"Lux ingin mengangkat dan menjadikan mereka sebagai role model untuk perempuan lainnya untuk berani menggali dan menampilkan potensi kecantikan," kata David Michum, Senior Brand Manager Lux.

Apakah dengan menggunakan sabun mandi itu, seorang perempuan lalu merasa seperti bintang film? Atau lelaki merasa seperti dielus bintang film ketika memakai sabun itu?

Kognisi kitalah yang seperti dikatakan oleh sutradara terkenal Martin Scorsese terus-menerus digempur dengan citra di masa ini. "Citra dan film menjadi bagian a junk-image world (dunia citra sampah), a junk-image society (masyarakat citra sampah)," katanya. Scorsese diwawancarai majalah Rolling Stone dalam edisi ulang tahun ke-40 majalah yang memihak generasi 60-an itu, bersama ikon-ikon tahun 1960-an lain dari Bob Dylan, Jimmy Carter, Patti Smith, sampai Michael Moore. Suara generasi counter culture itu umumnya menunjukkan skeptismenya terhadap gejala dunia konsumsi masa kini.

Hanya saja, apa boleh buat. Zaman memang telah berubah. Beberapa waktu lalu, di pusat pembelanjaan Senayan City, di siang bolong digelar acara untuk mempromosikan produk kesehatan berupa alat pelangsing tubuh/kursi pijat, dengan model Artika Sari Dewi, Putri Indonesia 2005, sebagai ikon produk berupa sabuk peramping tubuh merek uZap.

Mengapa produk kesehatan dipromosikan di mal? "Produk kami adalah alat kesehatan yang berkaitan dengan gaya hidup. Jadi, tidak berhubungan dengan rumah sakit, ha-ha...," kata Tedy Marco, Business Development Manager OSIM—merek asal Singapura yang menjual produk itu.

Dia sadar sepenuhnya, orang ke mal tidak untuk beli kursi pijat, melainkan untuk jalan-jalan, makan, atau keperluan lain. "We sell what we want to sell," katanya. "Bukan what consumers want to buy," tambahnya. Maksudnya, dia menjual sesuatu yang dia ingin jual, bukan yang konsumen ingin beli.

Di zaman ini, keinginan itulah yang didorong, bukan kebutuhan. Kembali mengutip Scorsese, bukan kita memakan produk-produk konsumen, tetapi katanya, "kitalah yang dimakan oleh produk-produk". Maka, sebaiknya bersikap bijak dan hati-hatilah. (DAHONO FITRIANTO/ FRANS SARTONO)

No comments:

Post a Comment