Friday, June 15, 2007

Dunia Nagabonar

ERIC SASONO

Nagabonar tahun 2007 ini tampak putus asa dengan Indonesia yang baru. Nagabonar tampak gagal memberi sumbangan bagi definisi sebuah Indonesia baru, ia malah ikut mengekalkan mitos lama tentang nasionalisme dan implikasi militerisme "perjuangan" Indonesia.

Mungkin salah satu kutipan film paling populer di negeri ini selain "darah itu merah jenderal!" adalah "apa kata dunia?". Kutipan pertama dilontarkan oleh tokoh tanpa nama, anggota Gerwani dalam Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Kutipan kedua tentu saja dari tokoh yang akan kita bicarakan, Nagabonar.

Siapa sebenarnya Nagabonar dan dunia seperti apa yang dijalaninya? Menurut Asrul Sani, tokoh ini bukan karangan. Saya pernah mewawancara Asrul pada tahun 1998 dan ia berkata bahwa Nagabonar diambil dari tokoh Bahar Mataliu, seorang pemimpin laskar rakyat di kawasan Deli, Sumatera Utara, tepatnya Lubuk Pakam. Lebih jauh lagi, Nagabonar adalah representasi perjuangan Indonesia. Mitos revolusi kemerdekaan Indonesia dan usaha meraihnya adalah sebuah kekeliruan.

Asrul Sani kemudian menyebut, pada masa Orde Lama, seorang macam Nagabonar, seorang raja copet di kawasan Senen bernama Syafei, diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi menteri. Inilah inti parodi Nagabonar: absurditas negeri bernama Indonesia. Indonesia memang parodik sejak awal kelahirannya sehingga seorang raja copet bisa menjadi jenderal atau menteri.

Indonesia semacam itulah dunia bagi parodi yang dibawa oleh Nagabonar yang ditulis pada tahun 1986, masa ketika pemerintah Orde Baru sedang gencar-gencarnya melakukan konsolidasi ideologi asas tunggal.

Kecenderungan korporatisasi negara semakin menguat dengan diluncurkannya paket UU Politik tahun 1985 yang menghendaki adanya asas tunggal Pancasila dan wadah tunggal organisasi kemasyarakatan. Ideologisasi dan korporatisasi ini menghendaki adanya kodifikasi dalam ideologi negara dan penafsirannya, termasuk unifikasi sejarah bangsa dan mitos-mitosnya.

Tak heran jika pada dekade 1980-an, mitos-mitos kebangsaan diangkat dan dikekalkan melalui media film, salah satu media terkuat dalam penciptaan mitos. Serangan Fajar dan Pengkhianatan G30S/PKI, dua film propaganda penting, dibuat pada dekade ini.

Pada film-film propaganda dan film kolonial pada umumnya, Indonesia digambarkan utuh secara ruang sejak semula, dibangun dengan "darah dan air mata" serta pekik merdeka, dan cita-cita mulia yang dibayangkan sebagai jembatan emas, serta "perjuangan" bersenjata yang selalu mengimplikasikan keunggulan tentara dalam jasa mewujudkan negara bernama Indonesia ini. Mitos-mitos ini dijadikan basis dan dikekalkan melalui media film sebagai sebuah strategi pengembangan sinema nasional ketika itu. Ideologisasi dan korporatisasi oleh negara kemudian dibangun di atasnya.

Ideologisasi dan korporatisasi itu sesungguhnya mendapat perlawanan dari pertumbuhan kosmopolitanisme lewat film Catatan Si Boy yang menjadi akar dari kosmopolitanisme Indonesia yang kita lihat sekarang. Kosmopolitanisme ini juga menabrak segala stereotip yang berlaku, tetapi di sisi lain ia bersifat apolitis.

Justru di sisi ini, Catatan Si Boy bisa dilihat sebagai sebuah subversi diam-diam karena pada saat negara gencar mem(p)olitisasi dan mengideologisasi masyarakat, yang muncul adalah sikap-sikap apolitis yang kronis. Cara pandang ini bisa saja dibantah dengan argumen bahwa inilah justru keberhasilan (kita pakai saja istilah berikut ini) hegemoni negara terhadap kaum muda saat itu. Namun, generasi inilah yang berhasil menumbangkan Orde Baru di tahun 1998.

Jika Nagabonar ingin dilihat sebagai "perlawanan", ia datang dari kaum tua seperti Asrul Sani. Tokoh Nagabonar ini membongkar fondasi bagi ideologisasi dan korporatisasi yang berbau fasis-militeristik itu.

Keindonesiaan bagi Nagabonar begitu lokal dan tak transenden sama sekali. Indonesia mungkin makna sejatinya tak lebih dari sesuatu yang sangat sehari-hari semacam bus malam: tak lebih hebat ketimbang rute Medan-Lubuk Pakam. Tak syur Nagabonar diberi pangkat Marsekal Medan, dan ia meminta Marsekal Medan-Lubuk Pakam.

Di sinilah tiba-tiba mitos ruang bernama Indonesia yang dianggap sudah utuh sejak semula di mata film propaganda dan film perjuangan tiba-tiba berubah menjadi sebuah olok-olok. Ruang yang dikenal sebagai Indonesia tak lebih dari rute bus malam di mata salah seorang "jenderal" pejuang.

Darah, air mata, dan pekik "merdeka" juga menjadi tak bermakna bagi Nagabonar. Perjuangan bukanlah pelaksanaan cita-cita, melainkan kecelakaan sejarah saja. Perjuangan bukanlah urusan mengatur strategi maju atau mundur atau menarik garis demarkasi, melainkan urusan menggendong emak yang enggan mengungsi. Perang tak punya nilai sakral dan dipermainkan. Kematian memang ditangisi, tapi lebih mirip berolok-olok. Ketimbang bersedih karena kehilangan kawan, Nagabonar malahan mencela keputusan Bujang yang dianggapnya sok gagah-gagahan dengan keinginannya melakukan pembuktian diri.

Perang yang dihadapi oleh Nagabonar juga meruntuhkan mitos akan makna perang yang diusung oleh film-film tentang perjuangan yang normatif. Perang yang dihadapi oleh Nagabonar mirip dengan permainan petak umpet dengan sensasi yang sedikit berbeda, yaitu kematian. Ternyata perang dan revolusi fisik adalah semacam main-main yang berbahaya. Maka, tembak-menembak antara Nagabonar dan Mariam sesudah bermain catur adalah perpanjangan dari permainan semacam itu. [Menurut Asrul Sani dalam wawancara saya, tembak-menembak semacam itu benar-benar terjadi dalam kenyataan].

Militerisme juga berantakan dalam film ini dengan sistem kepangkatan yang ngawur. Mitos mengenai "perjuangan" Indonesia sebagai jasa dari militerisme dibelejetkan dari topengnya dan diturunkan dari posisi sakralnya. Seorang "jenderal" bukan seorang luar biasa yang mengambil putusan lantaran pertimbangan kepentingan pasukannya apatah lagi kepentingan publik.

Akhirnya kita memasuki sebuah pengenalan terhadap diri sendiri lewat Nagabonar ketika kita melihat bahwa Indonesia bisa jadi sebuah kecelakaan sejarah [lihat esai Goenawan Mohamad, On the Idea of "Indonesia", diterbitkan oleh South-South Exchange Programme for Research on the History of Development, SEPHIS, 2003].

Ideologisasi dan korporatisasi menjadi sangat ahistoris dan beroperasi di bawah rumah kartu yang rapuh. Keruntuhan negara Orde Baru adalah salah satu implikasi dari pembangunan rumah kartu ini yang dengan cerdas diperlihatkan oleh Asrul Sani sifat ahistorisnya melalui Nagabonar (1986).

Dunia Nagabonar ini menjadi sebuah subversi pada masa ketika ia dibuat. Asrul Sani memperlihatkannya lewat tokoh dan penokohan Nagabonar. Hebatnya lagi, tokoh ini diklaim oleh Asrul Sani berasal dari tokoh nyata. Ini adalah sebuah sejarah alternatif untuk menandingi pengekalan mitos dan kepentingan politik di baliknya.

Penokohan semacam inilah yang mampu menghindari kita dari klise. Kepada kita dihadirkan tokoh arketipal yang mampu membawa kita ke sebuah dunia unik dan ajaib yang tak kita kenali. Di sana, setiap detail dinikmati dan dijelajahi dengan rasa ingin tahu. Peristiwa menjadi penting dan tokoh-tokoh berfungsi optimal.

Namun, sebagaimana kisah arketipal, maka situasi unik ini selalu kembali pada sebuah refleksi terhadap diri sendiri dalam berbagai tingkatannya [Tentang ciri-ciri cerita arketipal dan stereotipikal, lihat Robert McKee dalam bukunya, Story (Methuen, 1999)].

Refleksi ini kembali karena tokoh atau karakter itu justru adalah pelucutan dari penokohan atau karakterisasi itu sendiri. Pelucutan karakterisasi dalam kisah fiksi dilakukan dengan memberi pilihan berat pada sang tokoh. Ketika sang tokoh dihadapkan para pilihan yang penuh tekanan, apa yang ia pilih?

Pelajaran humor yang cerdas datang dari Asrul Sani. Ia tak menyodorkan pilihan hidup mati bagi Nagabonar. Sang jenderal hanya berurusan dengan soal remeh-temeh tak penting semisal topi jambul, tanda pangkat atau sirih emak, dan justru itulah letak soalnya. Keremeh-temehan itu membuat kita kini bicara soal keindonesiaan yang sangat sehari-hari dan belum selesai.

Tokoh Nagabonar seperti mengingatkan bahwa proyek bernama Indonesia memang belum selesai dan keseharian kita adalah sebuah penulisan sejarah yang sedang berlangsung. Pada Nagabonar-Asrul Sani, ia menggambarkan bahwa penulisan itu dilakukan dengan riang.

Mungkin kita harus memaknai keindonesiaan kita dengan riang.

Nagabonar abad ke-21

Pada tahun 2007 keriangan itu hilang. Nagabonar menjadi seorang yang terus-menerus meracau mengomentari keadaan. Ia memang bermain sepak bola dan gemar pada anak-anak, tetapi hidup dipandang dengan sangat berat oleh Nagabonar pada tahun 2007.

Adalah Dedi Mizwar, sang pemeran Nagabonar yang membawa tokoh itu hidup kembali di tahun 2007. Ia punya anak bernama Bonaga (Tora Sudiro), yang katanya berkarakter mirip Nagabonar. Bonaga menjemput sang ayah dan membawanya ke Jakarta.

Maka, Nagabonar pun ke Jakarta. Ia memasuki sebuah dunia baru, dunia abad kedua puluh satu. Sebuah dunia ketika rumah kartu ideologisasi dan korporatisasi negara sudah runtuh. Indonesia sedang memasuki sebuah fase baru, sebuah fase transisi yang pendefinisiannya jauh dari selesai. Tuntutan perubahan politik besar-besaran sudah bergulir lewat reformasi nyaris sepuluh tahun dan perubahan belum menunjukkan arah ke mana akan menuju.

Dan Nagabonar masih bertanya retoris: "apa kata dunia?"

Indonesia yang sedang berada pada masa transisi itulah dunia Nagabonar kini. Sebuah Dunia yang dikepung oleh kepentingan komersial, dan Nagabonar tak bisa menghindar dari papan reklame Sozzis (Dedi Mizwar menjadi bintang iklannya) atau majalah Cosmopolitan yang bertebaran dan ikut mendanai film ini.

Musuh memang bukan lagi Belanda, tapi mungkin korporatisme raksasa yang dalam pandangan Dedi Mizwar sebaiknya memang dirangkul. Tak ada persoalan sama sekali bagi Nagabonar dalam memandang berjayanya kapitalisme seperti itu. Toh, persoalan lain masih menanti untuk dibicarakan oleh Nagabonar.

Persoalan itu bernama nasionalisme. Nasionalisme, keindonesiaan dan patriotisme yang pada Nagabonar pertama adalah permainan yang dipandang riang, sekarang justru menjadi sesuatu yang berat dan dipusingkan. Nagabonar pun menghormat pada patung Soekarno-Hatta. Suara Bung Karno ketika membacakan naskah proklamasi menggerakkan hati pencopet bebal untuk berjuang, kata Nagabonar dengan nada kerinduan, tepatnya kehilangan.

Kehilangan itu berubah menjadi keputusasaan. Nagabonar yang kejenderalannya adalah buah main-main pangkat-pangkatan, tiba-tiba merasa perlu nyekar ke makam Jenderal Soedirman. Tentu tak bisa naik bajaj ke makam itu karena letaknya di Yogyakarta. Maka, Nagabonar pun dibawa ke patung Jenderal Besar itu di mulut jalan yang juga bernama Jenderal Soedirman.

Bajajnya tak bisa melintas di jalan itu sehingga ia dihentikan polisi. Nagabonar memang idiosinkratik. Penghentian oleh polisi itu berubah jadi permainan simbol otoritas yang luar biasa. Di sinilah terasa sisa dunia Nagabonar. Absurditas keindonesiaan masih terasa dalam permainan simbol seperti itu.

Namun, di sini juga keputusasaan Nagabonar terwujud. Sebabnya: mengapa Sang Jenderal Besar itu menghormat kepada kendaraan beroda empat, sementara kendaraan roda tiga yang dikendarai Nagabonar tak bisa masuk ke jalan itu? Apakah penghormatan adalah soal berlomba dalam banyaknya roda di kendaraan? Tentu sang Naga tak bisa menghentikan hormat Sang Jenderal Besar, maka dengan putus asa ia memanjat ke tangan sang patung.

Mitos nasionalisme

Nagabonar tahun 2007 tampak putus asa pada Indonesia yang baru ini. Nagabonar tampak gagal menyumbang bagi definisi sebuah Indonesia baru, bahkan ia ikut mengekalkan mitos lama tentang nasionalisme dan implikasi militerisme "perjuangan" Indonesia. Maka, perjuangan bersenjata menjadi sangat romantis dan penuh heroisme.

Ide ini dibawa oleh cara tutur yang asing. Keasingan itu terasa dalam penghadiran kembali tokoh Nagabonar. Akting Dedi Mizwar yang agak teatrikal memang tidak sampai membuatnya jadi over-acting, tetapi bila dibandingkan dengan lawan-lawan mainnya, Nagabonar menjadi terlalu karikatural. Apalagi tak ada pemanfaatan ruang dengan blocking pemain. Shot percakapan selalu didominasi oleh close-up yang membuat mimik muka pemain jadi menonjol dan akting pemain selalu berada pada jarak intim dengan penonton.

Kejomplangan akting itu jadi terasa dan akibatnya Nagabonar jadi agak tidak realis dibandingkan dengan tokoh lainnya. Mungkin film ini lebih baik apabila diubah menjadi pertunjukan monolog Dedi Mizwar di atas panggung ketimbang menjadi menjadi sebuah film.

Tampaknya Dedi Mizwar memang tak berusaha mencari cara tutur baru apa pun bagi idenya ini. Sampai di sini ia jujur dan tampak tak ingin bicara tentang dan dengan hal yang tak diketahuinya. Namun, itulah soalnya.

Sikap jujur dan tulus Dedi Mizwar macam itu ini memang hal penting. Namun, bahwa film ini terasa menggurui adalah hal lain lagi. Dunia memang sudah berubah dan Nagabonar tak tampak berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Demikian pula Dedi Mizwar dengan cara tuturnya. Seperti kata Nagabonar, di penghujung film, mungkin memang salah ia hidup di zaman sekarang; di zaman yang tak ia mengerti. Mungkin. Pilihan menghidupkan kembali Nagabonar bisa jadi salah.

Saya merasa kehilangan keriangan Nagabonar dalam memandang negeri bernama Indonesia ini.

ERIC SASONO Kritikus Film

No comments:

Post a Comment