Saturday, June 2, 2007

Ruang Publik
Ekspresi Demokrasi Cerpen Indonesia

Ratno Fadillah

Kita sering mengunjungi taman kota pada saat hari libur atau untuk melepas rindu bertemu kekasih. Juga tak jarang, taman kota menjadi alternatif saat anak-anak kita memohon ke tempat wisata yang berbiaya mahal.

Sementara membawa mereka berkeliling mal atau plaza dalam kota, sama saja. Kita sulit menghindar dari keinginan belanja dan makan di restoran fast food. Taman pun segera menjadi pilihan yang terjangkau. Menjanjikan keceriaan, pelepasan, keakraban, kesegaran, dan sebagainya.

Di kota-kota besar Indonesia, ruang publik memang menjelma tragedi dari demokrasi yang mewadahinya. Betapa tidak. Karena terbatasnya kios atau los murah di pasar-pasar, pedagang kaki lima menjamuri trotoar atau jalur pedestrian. Kekhawatiran akan keselamatan diri pun muncul saat berada di ruang-ruang publik tersebut. Penjambretan, penodongan, bahkan pemerkosaan menjadi momok harian bagi para pengguna jalur pedestrian.

Keberadaan ruang publik pun menjadi bukan persoalan sepele. Ketidaknyamanan atau tidak berfungsiannya ruang publik menjadi cermin kerusakan kultural masyarakatnya. Jurgen Habermas mengatakan, adanya ruang publik (public sphere) yang bebas dan netral merupakan elemen esensial untuk membangun civil society. Di dalam ruang publiklah, secara teoretis, harusnya terjadi "pertarungan simbolik" atau "pertempuran wacana", atau sederhananya "pembicaraan" yang bisa menunjukkan kemurnian "the soul of democracy", nyawa demokrasi suatu masyarakat.

Banyak cara masyarakat mengekspresikan kegelisahannya di "ruang publik". Termasuk dalam ekspresi artistik, cerita pendek, atau prosa, misalnya. Tercatat beberapa cerpenis terkemuka Indonesia melakukan semacam interpretasi terhadap ruang publik—terutama di Jakarta—dalam karya-karya mereka. Entah menjadikannya sebagai poros simbol ceritanya ataupun sekadar jadi latar cerita.

Dalam cerpen Indonesia

Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah salah seorang pengarang di soal itu. Dalam sebuah esainya, "Taman", misalnya, ia mempertanyakan keberadaan ruang publik itu. Keberadaan ruang publik secara fisik sama pentingnya dengan gagasan demokrasi secara abstrak: ruang yang memberi kita kesempatan untuk mengambil jarak—secara fisik ataupun psikis—sehingga suatu alternatif dapat muncul darinya (SGA, Buku Baik, "Affair, Obrolan tentang Jakarta", hal 190).

Dalam dua cerpennya, "Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu" dan "Mata Mungil yang Menyimpan Dunia", Agus Noor juga hendak menggambarkan ruang publik sebagai ruang bermain sekaligus ruang bertahan hidup anak-anak jalanan. Melalui cerpen "Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu", Agus coba merepresentasi ruang publik yang dimaksud adalah sebuah taman yang menjadi ruang bertemunya seekor kupu-kupu dengan seorang anak gelandangan yang saling bertukar sosok.

Dengan bertukar sosok itu, keduanya memang merasakan kebahagiaan yang diinginkan. Namun, kenyataan memang tak seindah impian. Keduanya pun berhadapan dengan kenyataan yang tak pernah dibayangkan: kehidupan kelam yang disimpan oleh kota besar. Keras, penuh curiga, dan amarah.

Meskipun Agus Noor tidak menyebutkan lokasi taman yang ditulisnya, bisa ditafsirkan taman yang dimaksud itu adalah cermin taman yang ada di kota besar secara umum. Kembali mengutip pengamatan SGA dalam esainya itu, taman di Jakarta lebih sering berarti sebagai tempat tinggal gelandangan, anak-anak jalanan, atau pekerja seks liar yang mencari mangsa, sehingga dengan sendirinya tidak menjadi representasi tata kehidupan yang nyaman dan tertib, dan pura-puranya beradab. Taman lebih sering menjadi tempat gelap yang berbahaya.

Dengan menautkan narasi hasil representasi cerpen Agus Noor itu dengan hasil pengamatan SGA terhadap taman-taman kota, dapat tergambar jelas bahwa taman telah mengalami pergeseran makna secara sosial kultural.

Perbedaan cerpenis

Kemudian, dalam "Mata Mungil yang Menyimpan Dunia", representasi ruang publik ideal dinyatakan sebagai suatu khayalan. Jalan raya yang lancar, sejuk, indah dan terbebas dari banjir dan kekhawatiran adanya kriminalitas hanya terwujud sampai pada angan-angan.

Gustaf, tokoh sentral cerpen ini, selalu merasakan keindahan itu hanya bila lekat memandang sepasang mata bocah gelandangan yang ditemuinya di tengah jalan yang macet itu. Secara tersirat dapat dikatakan bahwa jalan-jalan yang terbentang di Jakarta (Jakarta adalah dugaan penulis saja, karena sebenarnya Agus Noor tak menyebutkan nama kota dalam cerpen itu) sebagai ruang publik yang tertib, nyaman, dan sejuk itu masih berupa ilusi

Perbedaan tafsir dan perbedaan perlakuan terhadap ruang publik ini terjadi dalam cerpen "Dia Mulai Memanjat!"-nya Hamsad Rangkuti. Seperti diakui penulisnya sendiri, cerpen ini terinspirasi dari pendengaran Hamsad terhadap ucapan Oesman Effendi yang begitu menyengat kepada pelukis muda kala itu: "Kalau kau mau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu! Kau akan terkenal".

Dalam proses penyajiannya, Hamsad kemudian menggunakan pikiran seorang lelaki yang ingin memenggal patung seorang atlet lelaki yang telanjang dada dan membawa api yang menyala di dalam belanga itu, sebagai poros konflik ceritanya. Namun sayang, absurditas yang ditawarkan Hamsad dalam cerpen ini tak begitu kuat. Penafsirannya terhadap ucapan Oesman Effendi, kawannya yang pelukis itu, terlampau naif.

Sementara makna sosial yang tersembunyi di dalamnya tidak tergarap dengan baik. Padahal, berdirinya patung-patung kota merupakan sarana penciptaan ruang publik. Sebagai tempat bertemunya berbagai gagasan dan perilaku masyarakat. Dan secara alamiah akan membentuk suatu interaksi sosial yang majemuk.

Hilang makna

Seperti tafsir Hamsad di atas, banyak tempat yang telah kehilangan fungsi dan maknanya sebagai ruang publik. Salah satunya adalah patung "Pemuda Menyangga Api" di Bundaran Senayan itu. Alhasil, keberadaannya lebih berfungsi sebagai ornamen kota. Hanya menjadi obyek visual para penghuni kota.

Ruang publik di Jakarta yang masih relevan dengan fungsi dan maknanya secara ideal sampai saat ini adalah Bundaran Hotel Indonesia (HI). Disebut memiliki nilai ideal karena Bundaran HI kerap jadi ruang percakapan berbagai warna demokrasi.

Berbagai gagasan dan perilaku dalam tubuh masyarakat senantiasa akan terulang di sana. Entah disengaja atau berlangsung secara alamiah, Bundaran HI telah disepakati sebagai ruang ekspresi tubuh kolektif masyarakat. Baik yang bersifat protes, aksi sosial, kampanye politik, penyakit, sampai karnaval pembangunan. Bundaran HI telah menjadi salah satu ruang di mana bersemayamnya nyawa demokrasi bangsa ini.

Dan, pencitraan Bundaran HI sebagai ruang sejuk berembusnya demokrasi itu tertangkap oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya yang berjudul "Sembilan Semar". Dengan penuturan yang begitu komikal, cerpen ini telah berhasil menyingkap maraknya fenomena kampanye partai-partai politik di kawasan sentral Ibu Kota. Sampai membuat bingung para aparat dalam mengontrolnya.

Pada cerpen yang lain, "Teriakan di Pagi Buta", SGA mengungkapkan kelaziman realitas yang memang telah dipahami oleh masyarakat kita. Bahwa sosok terminal—dalam cerpennya itu SGA menyebutkan terminal Pulo Gadung, yang merupakan terminal terpadat sekaligus paling mengancam mengancam itu—adalah center of crime. Paradigma masyarakat akan tetap penuh warna dalam mengartikan ruang publik yang satu ini.

Dengan melihat gambaran ruang publik di kota besar atau Ibu Kota seperti di atas, tampaklah betapa kuatnya sudah distorsi ruang (dalam arti sosial, politik, budaya, apa pun) dalam masyarakat kita. Itu berarti, antara lain, telah begitu lama kita gagal atau mengabaikan perwujudan ruang bagi kolektif kita sendiri. Ironis!

Ratno Fadillah Cerpenis, Menetap dan Bergiat di Rumah Cahaya, Depok

No comments:

Post a Comment