Monday, June 25, 2007

Semangat "Mottai-nai" untuk Bumi

Nasru Alam Aziz


"Kearifan Masa Lalu adalah Kearifan Masa Depan." Begitu kira-kira sebuah pesan dalam aksara kanji yang ingin disampaikan melalui sebuah poster yang terpampang di sebuah ruangan di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup Jepang. Poster itu hanya salah satu dari seri poster kampanye penurunan emisi gas rumah kaca demi menghentikan pemanasan global.

Poster-poster serupa tidak hanya terpajang di kantor-kantor pemerintahan, tetapi juga di tempat-tempat umum, termasuk sarana transportasi umum.

Sejak tahun 2005, Jepang mencanangkan kampanye nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Jepang memasang target pengurangan emisi karbon (CO>sub<2>res<>res<) sebesar enam persen pada tahun 2010 dari jumlah pada tahun 1990.

Maka, dibentuklah sebuah lembaga bernama Global Warming Prevention Headquarters. Lembaga ini dipimpin perdana menteri, dengan wakilnya menteri lingkungan hidup dan menteri ekonomi, perdagangan, dan industri.

Kampanye tersebut digerakkan oleh Tim Minus 6 Persen. Itu mengandung tekad bahwa komitmen pengurangan emisi sebesar 6 persen yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto itu hendaknya dicapai atas upaya semua pihak sebagai sebuah tim. Bukan lagi berbasis individu.

Saat ini jumlah anggota Tim Minus 6 Persen sudah menembus angka 1.135.500 individu dan 12.700 perusahaan atau lembaga (bisa dilihat melalui situs www.team-6.jp). Bandingkan dengan setahun lalu, yang baru 232.506 individu dan 6.169 perusahaan atau lembaga.

Jumlah itu terus bertambah seiring kesadaran dan kepedulian masyarakat Jepang terhadap masalah lingkungan global. Tim Minus 6 Persen ini terbuka bagi siapa saja untuk berpartisipasi.

Kampanye nasional tersebut bertujuan melebarkan aktivitas mitigasi pemanasan global kepada setiap individu, perusahaan, atau lembaga untuk senantiasa melakukan aksi nyata demi mengurangi emisi GRK. Sedikitnya enam aksi nyata yang telah disepakati untuk menghentikan atau mengurangi dampak pemanasan global.

Keenam aksi tersebut adalah menyetel penyejuk udara (AC) pada suhu 28 derajat Celsius pada musim panas dan 20 derajat Celsius pada musim dingin, menggunakan energi secara efisien saat mengendara (mengurangi CO2 saat mengendara), memastikan keran air tertutup rapat setelah digunakan (mengurangi CO2 saat menggunakan air), memilih produk yang ramah lingkungan (mengurangi CO2 saat membeli produk), mencabut aliran listrik pada peralatan elektronik jika tidak digunakan (mengurangi CO2 saat menggunakan listrik), dan menolak penggunaan kemasan yang berkelebihan (mengurangi CO2 dan sampah saat berbelanja).

Jika diperhatikan, keenam aksi tersebut seluruhnya berkaitan dengan gaya hidup. Artinya, setiap orang bisa berpartisipasi menghentikan pemanasan global dengan mengubah gaya hidup yang boros. Ya, cukup dengan mengubah gaya hidup, kita bisa menyembuhkan Planet Bumi ini dari penyakit kronis pemanasan global.

Salah satu kunci sukses Jepang mengurangi emisi GRK adalah langkah padu pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, atau lebih tepatnya kerja tim itu tadi. Sebagai contoh, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan emisi GRK, industri peralatan elektronik berlomba-lomba menciptakan produk yang ramah lingkungan.

Sebaliknya, pemerintah memberi penghargaan (award) bagi perusahaan yang mengeluarkan produk ramah lingkungan. Penganugerahan penghargaan dari pemerintah itu sekaligus menjadi media promosi yang efektif bagi produk tersebut sehingga laris di pasaran.

Kembali ke "furoshiki"

Pemerintah Jepang menyadari betul bahwa masalah lingkungan global hanya bisa diatasi jika muncul kesadaran-kesadaran lokal. Itu bertolak dari asumsi bahwa kesadaran lokal bisa optimal jika kearifan lokal tetap terjaga. Maka, seiring dengan kampanye penghentian pemanasan global itu, Jepang mengampanyekan pentingnya menjaga kearifan lokal.

Untuk mengurangi sampah dan kemasan berkelebihan, misalnya, Menteri Lingkungan Hidup Jepang (pada kabinet Junichiro Koizumi) Yuriko Koike aktif mempromosikan semangat mottai-nai. Semangat mottai-nai menyimbolkan tradisi gaya hidup dan pola pikir masyarakat Jepang.

Mottai-nai adalah perilaku yang peduli dan efisien. Secara gamblang, mottai-nai dapat ditafsirkan sebagai 3R (reduce, reuse, recycle).

Tidak kurang dari pemenang Nobel Perdamaian Profesor Wangari Maathai yang mengagumi revitalisasi semangat mottai-nai ini. Kata mottai-nai, menurut Wangari Maathai, bukan tidak mungkin bisa mendunia sebagaimana kata "tsunami". Wangari Maathai meyakinkan bahwa semangat mottai-nai dibutuhkan segenap penghuni bumi.

Untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik dan kertas, Jepang kembali memopulerkan penggunaan furoshiki, pembungkus serba guna dari selembar kain. Bahkan, Koike sendiri merancang apa yang disebutnya Mottai-Nai Furoshiki, yang terbuat dari hasil daur ulang botol plastik PET (semacam botol minuman kemasan).

Kesadaran akan penggunaan bahan daur ulang (recycle) atau pakai ulang (reuse) sudah memasyarakat di Jepang. Seorang pramuniaga di Mitsukoshi, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jepang, misalnya, dengan bangga menunjukkan kartu identitasnya yang terbuat dari plastik PET daur ulang. Seorang pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup Jepang tanpa risi menyodorkan kartu nama yang dicetak di atas kertas bekas poster.

"Cool Asia"

Salah satu bagian dari aksi Tim Minus 6 Persen, yang terbukti secara signifikan mengurangi emisi GRK, adalah kampanye Cool Biz dan Warm Biz.

Kampanye Cool Biz dicanangkan pada awal Juni 2005. Karena suhu dan kelembaban yang tinggi sepanjang musim panas di Jepang, warga dianjurkan mengenakan pakaian yang sejuk dan luwes, tanpa dasi dan jaket meski dalam urusan bisnis sekalipun. Dengan cara itu, mesin penyejuk udara di ruang kerja bisa dipasang pada suhu lebih tinggi, yakni 28 derajat Celsius.

Sebaliknya, pada musim dingin Jepang melancarkan kampanye Warm Biz. Pekerja dianjurkan mengenakan pakaian yang lebih tebal untuk menekan kebutuhan pemanas ruangan. Dengan demikian, konsumsi listrik lebih efisien. Sektor pembangkit listrik merupakan penyumbang emisi karbon terbesar setelah industri dan transportasi.

Awal Juni 2006, Jepang mulai merentangkan kampanyenya menjadi Cool Asia. Melalui kampanye Cool Asia, Jepang berupaya menularkan aksi mitigasi pemanasan global hingga negara-negara Asia.

Sebuah acara peragaan busana digelar di pusat perbelanjaan Omotesando Hills di kawasan Shibuya. Peragaan busana ini terbilang unik karena dari 45 koleksi yang ditampilkan hanya 14 koleksi yang diperagakan model profesional. Selebihnya oleh menteri kabinet Jepang (termasuk Sekretaris Kabinet Shinzo Abe, yang saat ini menjabat sebagai perdana menteri), kepala pemerintahan daerah, serta kalangan profesional.

Dari luar Jepang, tampil enam duta besar dari negara Asia (Kamboja, China, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Thailand). Mereka memeragakan pakaian tradisional masing- masing, yang berbentuk kemeja lengan panjang dari bahan sutra.

Begitulah, Jepang ingin membuktikan bahwa gaya hidup sebetulnya tidak perlu membuat silau. Dengan demikian, tidak membuat kita lupa bahwa kearifan lokal tetap relevan, bahkan dibutuhkan untuk masa depan.

No comments:

Post a Comment