Tuesday, July 10, 2007

JENDER
Menularkan Kesadaran Anggaran yang Responsif

Ninuk Mardiana Pambudy

Tidak mudah menularkan pemahaman anggaran responsif jender kepada pemerintah daerah. Penyebabnya, antara lain, adalah pemahaman konsep jender itu sendiri yang masih rancu dengan pengertian laki-laki dan perempuan sebagai jenis kelamin, budaya masyarakat, ataupun kapasitas pejabat pemerintah.

Apabila menularkan pemahaman itu tak mudah, apalagi meminta mereka melaksanakan anggaran yang responsif jender. Padahal, pembangunan tidak dapat berjalan cepat jika ada kelompok yang tertinggal, yaitu perempuan dan anak. Bahkan, Bank Dunia pun mengakui bahwa pembangunan akan timpang bila meninggalkan perempuan dan gagal melakukan investasi pada masa depan anak-anak.

Dalam diskusi berbagi pengalaman tentang perencanaan anggaran responsif jender di empat kabupaten/kota di Sulawesi, yaitu Bone, Polman, Tana Toraja, dan Polman, yang diselenggarakan Asia Foundation di Jakarta pekan lalu, tiap kabupaten/kota memiliki kelebihan dan kendala dalam melaksanakan anggaran responsif jender.

Kota Palu memiliki wali kota yang bersedia mendengar masukan dari berbagai pihak. Sebagai orang yang telah makan asam-garam dalam organisasi kemasyarakatan dan terlibat dalam partai politik, Wali Kota Rusdi Mastura dapat bekerja sama dengan DPRD dengan bersama-sama sepakat mendahulukan kepentingan pembangunan masyarakat dan meninggalkan kepentingan partai politik.

Rusdi menyebutkan, di Kota Palu, menurut data Badan Pusat Statistik, ada 37.000 orang miskin dalam 13.376 keluarga. "Kaum duafa yang paling banyak adalah perempuan," katanya.

Ketua Bappeda Kota Palu Dharma Gunawan mengungkapkan, strategi yang digunakan Kota Palu adalah memperbaiki infrastruktur perkampungan miskin. Alasan Gunawan, daerah yang kumuh akan menimbulkan berbagai penyakit sosial, termasuk di antaranya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Keswadayaan juga dibangun di masyarakat dengan mengikutkan masyarakat dalam perencanaan anggaran. Di sinilah pentingnya peran organisasi nonpemerintah sebagai pengadvokasi dan pendamping masyarakat untuk menyadari hak-hak mereka dan ikut bersuara menentukan perencanaan pembangunan.

"Kami melakukan pendampingan, kampanye, dan advokasi ke komunitas," kata Neng dari Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Palu. Pendekatan dengan wali kota menghasilkan memorandum of understanding untuk menurunkan jumlah penduduk miskin dengan mengikutkan masyarakat dalam proses perencanaan anggaran yang responsif jender.

Disebutkan, dampak dari advokasi KPPA mulai terasa, yaitu para perempuan di tujuh kelurahan dampingan mulai berani menyuarakan kepentingan spesifik sehingga rancangan dapat disusun berdasarkan kepentingan strategis dan praktis jender.

Tantangan

Pengalaman yang mirip disampaikan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Bone Murtir Jeddawi. Menurut Murtir Jeddawi, masih ada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang belum memahami sampai ke tingkat implementasi. Ketiadaan data terpilah antara laki-laki dan perempuan, misalnya, menjadi masalah untuk meningkatkan program. "Harus dijelaskan bahwa suatu program dapat memiliki dampak yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan," katanya.

Dalam pemaparan tersebut juga terdapat pemrasaran yang belum memahami arti jender. Hal itu terlihat dari penjelasan yang membedakan anggaran untuk laki-laki dan perempuan.

Andi Asia A Pananrangi, anggota DPRD Bone, menyatakan, sebenarnya pemda mau melakukan upaya untuk menghapus kemiskinan dan menurunkan ketimpangan hak serta akses perempuan dan laki-laki atas sumber daya pembangunan, tetapi yang kerap terjadi adalah kurangnya pemahaman mengenai anggaran responsif jender.

Budaya masyarakat juga ikut memengaruhi upaya menghasilkan anggaran yang responsif jender. "Anggota legislatif mayoritas laki-laki sehingga ketika mereka berbicara mengenai kepentingan perempuan dianggap sebagai bencong karena masuk dalam urusan perempuan," tutur Asia. Dia menjadi satu dari tujuh perempuan anggota DPRD yang berjumlah 45 orang.

Pengalaman Neng dari KPPA Palu yang disampaikan dalam dialog itu adalah sulitnya menembus SKPD bidang pendidikan. Padahal, statistik memperlihatkan jumlah perempuan yang buta huruf lebih besar dibandingkan dengan yang laki-laki. Artinya, perlu program yang dampaknya memberi peluang kepada perempuan untuk menjadi lebih maju. Program yang netral jender besar kemungkinan tidak akan dapat menghilangkan kesenjangan itu, bahkan dapat memperbesar.

Asia menyebutkan, belum adanya pemahaman mengenai anggaran responsif jender menyebabkan eksekutif dan legislatif belum dapat membedakan dengan anggaran perempuan.

"Anggaran yang adil bukan berarti anggarannya dibagi menjadi 50 banding 50. Harus dilihat di mana masing-masing tertinggal dan mengapa tertinggal, lalu disusun anggaran untuk menurunkan kesenjangan itu," kata Asia.

Bila pemikirannya adalah membagi 50 banding 50 dan anggaran perempuan, program yang dihasilkan bisa jadi, misalnya, membuat industri rumah tangga untuk perempuan dengan memberi mesin jahit karena perempuan identik dengan kegiatan domestik.

"Padahal, yang dibutuhkan mungkin bukan mesin jahit, tetapi pemberantasan buta huruf, pembuatan jamban di tiap rumah tangga, atau penyediaan air bersih yang mudah diakses dari komunitas," kata Asia.

Salah satu keberhasilan Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone adalah mengadvokasi komunitas bekas penderita kusta di Dusun Lerang, Kecamatan Cina, sehingga berani menanyakan hak-hak mereka berupa uang makan Rp 30.00 per orang. Di dusun itu kini juga sudah berdiri empat ruang kelas dari tadinya hanya satu ruang berukuran 7 m x 5 m untuk tiga kelas.

Pemda kini juga sudah menganggarkan pelatihan servis alat elektronik, seperti kipas angin dan radio, bagi perempuan dari sebelumnya hanya pelatihan untuk laki-laki, seperti bengkel dan pertukangan.

"Prosesnya melalui penilaian kebutuhan dari masyarakat sendiri. Banyak yang meninggal saat melahirkan karena perdarahan dan melalui advokasi LPP akhirnya pemda mendirikan empat puskesmas pembantu di empat desa," kata Asia menambahkan.

Meski perubahan yang memberikan harapan telah terjadi, tetapi tantangan masih cukup berat. Seperti dikatakan Ani Sumantri, konsultan jender, karena ada berbagai SKPD, anggaran suatu program—misalnya kesehatan reproduksi dan keluarga berencana—tersebar sehingga sulit dilacak anggaran dan pengukuran keberhasilannya.

No comments:

Post a Comment