Tuesday, July 3, 2007

Menuju Keluarga Berkualitas Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Saturday, 30 June 2007
Saat ini masyarakat Indonesia tengah rentan terserang growing apart, yaitu gejala tumbuhnya benih-benih keretakan dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Gejala itu dapat dilihat dengan banyaknya kasus perceraian, konflik masyarakat, konflik antarpartai, konflik agama, bahkan juga konflik dalam tubuh institusi negara.

Keluarga merupakan komunitas terkecil dari masyarakat. Dari komunitas inilah akan muncul masyarakat yang baik dan berkualitas, rohani maupun jasmani. Bahkan keluarga memiliki fungsi dan peranan yang signifikan dalam menentukan nasib suatu bangsa. Mustahil suatu negara akan berkualitas tanpa terlebih dahulu memutukan keluarga

Begitu urgennya arti keluarga bagi kemajuan bangsa, sehingga sejak 1994 pemerintah memberi atensi khusus terhadap komunitas tersebut dengan peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) setiap 29 Juni. Harganas adalah momentum bagi seluruh keluarga Indonesia untuk introspeksi dan berbenah diri menjadi lebih baik dan berkualitas.

Mengapa harus 29 Juni? Sebab di dalamnya terkandung aspek historis yang dalam. Diawali 22 Juni 1949 di Jogjakarta disepakati adanya gencatan Senjata antara Pemerintah RI dengan Belanda, berarti pula kembalinya Jogjakarta ke dalam NKRI. Penarikan tentara penjajah dari bumi Jogjakarta berlangsung sampai 29 Juni. Saat itulah tentara RI yang semula bergerilya siap masuk kembali ke Jogjakarta untuk berkumpul dengan keluarga masing-masing.

Pertimbangan lainnya terkait adanya sejarah penting 29 Juni 1970. Pada tanggal itu, Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya melantik Dewan Pembimbing Keluarga Berenca . Saat itu pula, secara resmi Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pertama dilantik. Dia adalah dr Soewardjono Soerjaningrat.

Saat ini masyarakat Indonesia tengah rentan terserang growing apart, yaitu gejala tumbuhnya benih-benih keretakan dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Gejala itu dapat dilihat dengan banyaknya kasus perceraian, konflik masyarakat, konflik antarpartai, konflik agama, bahkan juga konflik dalam tubuh institusi negara.

Modernisasi yang terjadi telah menimbulkan kepanikan masyarakat dengan melunturnya nilai-nilai solidaritas dan tumbuhnya nilai baru yang bersifat egois individualistik. Orang lebih senang mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain ketimbang melakukan refleksi diri.

Semua itu terjadi karena orang mulai melupakan dan meninggalkan ajaran yang terkandung dalam falsafah keluarga. Oleh karena itu, ada baiknya dalam memperingati Hari Keluarga Nasional ke 14 tahun 2007 ini kita merenungkan sejenak makna yang terkandung dalam falsafah keluarga untuk menemukan kembali nilai-nilai keluarga yang mulai dilupakan, sebagai fondasi membangun nasionalisme.

Cinta dan Kepercayaan

Arti penting keluarga menjadi perhatian filosof abad pertengahan Thomas Aquinas dan filosof modern John Rawls. Dalam kacamata mereka, keluarga akan berkualitas apabila terdapat hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak-anak, serta dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan (love and trust). Sedangkan cinta merupakan pengejawantahan ketulusan dan keikhlasan, sehingga melahirkan rasa percaya dan hormat (trust and respect).

Sementara Ki Hadjar Dewantara berpandangan, sifat hidup keluarga mengandung unsur cinta dan mencintai, kesejajaran hak dan kewajiban, tidak ada nafsu menguntungkan diri dengan merugikan anggota lain, kesejahteraan bersama, dan mengedepankan toleransi (tasamuh).

Dalam hubungan antara orangtua dan anak tidak berlaku asas resiprositi dan mutual benefit. Asas resiprositi mengajarkan bahwa kalau kita diberi sesuatu maka sudah sepantasnya berbuat hal yang sama kepada pemberi. Sedangkan mutual benefit mengajarkan kalau kita melakukan kerja sama maka harus jelas keuntungan apa yang akan didapat dari kerja sama itu.

Dalam keluarga asas-asas itu tidak pernah diperhitungkan oleh orangtua terhadap anaknya. Yang ada hanyalah sikap dan perilaku ”saling ”, yaitu saling mengisi, melengkapi kekurangan, menutupi kesalahan, percaya, mendukung, mengalah, tenggang rasa, pengertian, membantu, memaafkan, peduli, dan melindungi. Tidak saling menyakiti atau menzalimi yang lain.

Seorang ayah dalam keluarga memiliki peran sentral dan utama sebagai penanggung jawab dan menjadi kepala keluarga. Sastrawan melayu Bukhari Al Jauhari mengibaratkan ayah sebagai mata air. Apabila ia keruh, keruh pula aliran sungainya. Sebaliknya, jika jernih maka jernih pula aliran sungai itu.
Sedangkan ibu dengan sifat halus yang dimiliki diberi kepercayaan mengasuh anak dan menyelesaikan persoalan rumah tangga. Anak-anak memiliki tugas belajar agar nantinya bisa menggantikan peran sebagai orangtua.

Suami diposisikan sebagai kepala keluarga, bukan berarti menomersatukan kaum lelaki. Tetapi, karena secara fisik dan mental mereka dianggap mampu memimpin keluarga. Kendati demikian, seorang suami tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap anggota keluarganya.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari kesempurnaan orang-orang Mukmin adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lembut (bijak) terhadap keluarganya.” (HR. Thabrani dan Hakim).

Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya (keluarganya). Ini juga bukan berarti menomerduakan perempuan atau merendahkan kedudukannya, tetapi istri adalah mitra kerja suami yang memang secara kodrati memiliki keahlian tinggi mengurus keluarga.
Meski demikian, tidak berarti aktivitas isteri di luar rumah terhalangi. Sepanjang tidak meninggalkan tanggung jawabnya di rumah dan bisa menjaga dirinya, mereka boleh beraktivitas di luar rumah. Dan, ternyata banyak kaum ibu yang sukses beraktivitas di luar dan sukses mengurus rumah tangga.

Emansipasi dan gender mainstream yang terus didengungkan sampai detik ini hendaknya tidak diartikan secara keliru dan kebablasan. Emansipasi bukan berarti penolakan peran keibuan dan keisterian di dalam rumah tangga, melainkan sebagai era runtuhnya sekat pembatas antara wilayah domestik dan publik bagi isteri.

Keluarga harmonis bukan berarti bebas dari konflik, melainkan arif dan bijak dalam menyelesaikan konflik. Bukan dengan pendekatan hitam dan putih. Falsafah masyarakat Jawa “menang tanpa ngasorake”, rasanya tepay kita tiru. Dengan demikian, orang yang salah tidak akan kehilangan muka, sementara yang benar juga tidak dirugikan.

Sayangnya, keluarga kita (dalam arti komunitas rumah tangga atau negara) saat ini telah kehilangan nilai-nilai moral (moral values missing) seperti itu. Karenanya, me-refresh pola komunikasi dalam keluarga mendesak saat ini.

Dalam konteks lebih luas, Indonesia adalah keluarga kita sebagaimana diikrarkan oleh founding fathers melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 maupun Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bahwa kita adalah satu keluarga meski berbeda suku, budaya, dan agama. Dengan Harganas ini kita berharap bisa mengaktualisasikan falsafah keluarga dalam meneguhkan nasionalisme untuk menuju sebuah era baru, yaitu "Keluarga Berkualitas".

No comments:

Post a Comment