Friday, July 27, 2007

Nasib di Balik Angka PHK

Maria Hartiningsih

Dua gajah beradu, entah bercinta, entah bertarung, rumput di bawahnya selalu terinjak-injak. (Peribahasa Swahili)

Sudah dua bulan terakhir ini Syarifudin menganggur setelah tempat kerjanya, PT KBA di kawasan Tangerang, ditutup tanpa alasan jelas. Ia sudah tujuh tahun bekerja di situ dengan upah terakhir Rp 882.500 per bulan, sesuai standar upah minimum kota atau UMK tahun 2007. Ini adalah pemutusan hubungan kerja kelima yang ia alami dalam 15 tahun terakhir.

Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan, pada tahun 2005, misalnya, 2,5 juta orang muda masuk angkatan kerja, sementara kasus PHK di Indonesia mencapai 300.000-400.000 tenaga kerja. Pada tahun 2006, PHK meningkat sekitar 50,2 persen dibandingkan tahun 2005. Situasi tahun 2007 diperkirakan tidak membaik.

Namun, angka-angka ini harus dibaca secara berbeda. Seperti dikemukakan Bagus Musharyo dari Serikat Perburuhan Institut Sosial, di belakang angka itu adalah deretan nasib anak dan istri, beserta serangkaian kegiatan ekonomi kecil-kecil yang semula dihidupi oleh para pekerja di kawasan industri.

Dalam PHK yang menimpa 52 pekerja di PT ES di Tangerang, misalnya, dua pekerja sedang sakit, dua istri akan melahirkan, dan satu anak sakit. "Ada yang suaminya kena PHK, sementara istrinya sakit keras," ujar Kasminah, aktivis Komite Buruh Cisadane.

Istri dan dua anak Syarifudin beberapa bulan terakhir ini kembali ke desa di rumah orangtua sang istri, di daerah Kuningan, Cirebon. Anak pertamanya sudah lebih dulu dititipkan di rumah kakeknya.

Besaran UMK sebenarnya jauh dari kebutuhan minimal satu keluarga dengan satu anak, yang menurut survei Forum Solidaritas Buruh Serang Desember tahun 2005 mencapai Rp 937.500.

"Komponen upah memang sangat kecil persentasenya," kata Bagus Musharyo.

Ia mengatakan, sepatu bermerek yang dijual eceran 80 sampai 100-an dollar AS itu dibeli oleh korporasi transnasional (TNCs) pemilik merek tersebut dengan harga 11-12 dollar AS dari perusahaan kontraktor yang membuatnya di Indonesia.

Dari 11-12 dollar itu, sekitar 6-7 dollar dipakai membeli bahan baku (impor) dari perusahaan pemasok yang ditunjuk oleh korporasi. Sisanya, sekitar 5 dollar AS, itulah yang digunakan untuk segala macam biaya, mulai dari bayar pajak, upah buruh, keuntungan perusahaan, dan lain-lain.

"Kalau ada tambahan 0,5 dollar saja untuk komponen upah buruh, dampaknya akan sangat besar bagi kesejahteraan mereka," ujarnya.

Gambar terbalik

UMK yang diterima pekerja semakin tidak mengejar laju kenaikan harga kebutuhan pokok. Ini memperlihatkan gambaran yang terbalik tentang "kemakmuran".

Kebijakan ketenagakerjaan yang memberi ruang semakin luas pada penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel (labour market flexibility/LMF) membuat posisi buruh semakin rentan karena skema sistem kerja kontrak (outsourcing), yang melibatkan agen tenaga kerja, sehingga upah buruh yang sudah rendah itu masih disandera oleh berbagai persyaratan pembayaran fee untuk agen.

Akibatnya, banyak pekerja meminta kiriman uang dari desa. "Orangtua di desa memberi subsidi tak langsung pada perusahaan. Selain dititipi cucu, mereka mengirim uang kepada anaknya yang bekerja di situ. Ini bagaimana logikanya?" ujar Bagus Musharyo.

Subsidi orangtua terutama mencakup uang pondokan. Dari 53 pekerja yang kena PHK dari PT ES itu, 26 di antaranya masih tinggal bersama mertua atau orangtua, 23 orang kontrak dengan sewa antara Rp 120.000 sampai Rp 200.000 per bulan, tetapi 14 di antaranya menunggak uang sewa dua bulan terakhir.

PHK membuat kehidupan buruh yang rentan semakin rentan. "Sudah empat bulan anak saya nunggak uang sekolah," keluh Syarifudin.

Ketegangan dengan keluarga juga terjadi. Sang istri mau Syarifudin ikut pulang ke Kuningan membantu mertuanya bertani. Sementara Syarifudin masih mau berjuang menuntut pesangon sambil berjualan jamu keliling. Tetapi hasilnya jauh dari mencukupi.

"Kalau laku satu paling untung Rp 200. Sehari belum tentu laku 10," kata Syarifudin, yang terancam terusir dari kamar sewaannya. Ia ditemui di sebuah rumah di bilangan Jati Uwung, Tangerang, bersama beberapa buruh yang sedang berkumpul.

Di situ ada Helmi Chaerul (22), korban PHK dari PT ES. Sudah beberapa bulan terakhir ini Helmi terusir dari pondokannya karena tidak bisa membayar uang sewa.

"Ada tiga teman sepabrik yang bernasib sama," ujarnya.

Pembicaraan mengenai besaran upah seperti dimentahkan ketika PHK semakin masif. Inilah ujung keterseokan buruh, khususnya menyangkut martabatnya sebagai manusia.

"Biar kecil, paling tidak, masih ada pekerjaan," ujar Isdianto (37), ayah dari dua anak. Ia sudah 17 tahun bekerja di PT Koryo Internasional Indonesia dengan gaji terakhir Rp 1,2 juta sebulan. Bersama beberapa temannya ia duduk di tenda di depan gerbang pabrik yang tidak beroperasi sejak 16 Maret 2007.

Perusahaan Korea pembuat sepatu antara lain untuk merek Geox, Black Stone, Hi Tech, dulu pernah Reebok dan Fila, itu sejak 15 April 2007 tidak lagi memberi gaji sekitar 3.000 karyawan PT Koryo yang lebih dari 75 persennya perempuan.

"Saya bingung kalau di rumah anak-anak minta ini-itu saya enggak bisa ngasih, eh masih nanya kenapa bapak enggak kerja," lanjut Isdianto.

Cicilan rumah

Ia tidak tahu bagaimana cara melunasi cicilan rumah seluas 60 meter persegi sebesar Rp 300.000 per bulan, yang masih tersisa delapan tahun lagi. "Sekarang sudah tiga bulan nunggak," katanya. Bank Tabungan Negara, tempat dia mengambil kredit, katanya memberi tenggang enam bulan, tetapi ia harus melunasi tunggakannya dulu.

"Saya masih menunggu uang Jamsostek," ujarnya. Padahal, untuk mendapatkan uang itu pun ruwet. Katanya, 19 bulan terakhir ini perusahaan tidak membayar Jamsostek yang besarnya 3,7 persen dari gaji karyawan.

"Sisanya yang kami bayar, sekitar dua persen sudah dikembalikan oleh perusahaan. Saya dapat Rp 250.000, masih sisa Rp 408.735," sambung Mahfud sambil memperlihatkan sepotong kertas lusuh dari kantongnya. Ia sudah 14 tahun bekerja di situ.

Untuk mendapatkan uang Jamsostek, menurut Isdianto, harus memenuhi berbagai persyaratan, di antaranya surat pengunduran diri. "Padahal proses menuntut pesangon masih jauh dari selesai," kata Isdianto.

Menurut Ihsan Rohadi, pengurus Serikat Pekerja Nusantara (SPN) di pabrik itu, proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sedang berlangsung. Namun, kata Kasminah, proses ini masih panjang dan dalam banyak kasus berujung pada keterkatung-katungan. Apalagi kalau perusahaan dinyatakan pailit.

"Koryo kayaknya akan dinyatakan begitu," kata Isdianto.

Kasminah menyebut beberapa contoh perusahaan yang dipailitkan dan prosesnya terkatung-katung. Di antaranya PT S dan PT GM yang sudah lima tahun terkatung-katung, serta SM dan PT BTR sudah empat tahun.

Data SPN menunjukkan, sekitar 49.000 buruh dari tujuh perusahaan di sekitar Tangerang-Serang, termasuk PT HASI dan PT Nasa, mengalami PHK sejak tahun 2004. Data dari Komite Buruh Cisadane menambahnya dengan sekitar 7.000 lagi.

Terlepas dari apa yang dilakukan pengusaha, entah sedang bersiasat memindahkan modalnya ke bisnis yang lebih menguntungkan, atau tengah menangguk untung besar dari kolaborasinya dengan TNCs, para buruh itu ibarat rumput yang terus saja terinjak….

No comments:

Post a Comment