Thursday, August 9, 2007

Anak-anak di Zaman Edan


Oleh SARATRI WILONOYUDHO

Pujangga terkenal Ronggowarsito mengatakan bahwa Zaman Edan akan terjadi jika Pulau Jawa sudah berkalung besi, sungai tidak berlubuk, dan pasar tidak berkumandang lagi, serta anak-anak sudah tidak menuruti nasihat orangtuanya. Tafsir bebasnya barangkali begini, Jawa sudah berkalung besi berarti sudah ada jalur rel kereta api. Orang juga paham kereta api adalah produk industri modern.

Industri telah mengubah tatanan dunia hingga merusak lingkungan dan terjadi eksploitasi nilai kemanusiaan.

Dampaknya ada dua yang menonjol, yakni sungai tidak berlubuk lagi, ini adalah simbol kerusakan lingkungan, dan pasar tidak berkumandang lagi, ini simbol monopoli dan keserakahan. Di samping itu, modernisasi telah menyeret anak-anak ke arah kesulitan yang luar biasa, yang ditandai oleh tidak menurutnya anak terhadap nasihat orangtua. Tulisan ini hanya sekadar membicarakan masalah anak-anak Indonesia yang kini menghadapi masalah serius yang nyaris tak terselesaikan.

Setidaknya ada tiga golongan anak yang kini perlu mendapatkan perhatian serius, yakni pertama anak-anak yang ada di pengungsian, baik karena konflik ataupun karena bencana alam. Kedua, anak yang terlepas perhatiannya dari orangtua, justru karena mereka anak orang kaya. Ketiga, anakanak golongan miskin yang sulit bersekolah dan bahkan ada yang menjadi anak jalanan, pekerja seks, bekerja di pabrik, dan seterusnya.

Pertama, anak-anak di pengungsian jelas amat menderita karena mereka tidur di barak-barak, tanpa sanitasi yang memadai, di samping tanpa fasilitas pendidikan yang cukup.

Menurut Benthall (1993), anakanak di pengungsian memiliki ciriciri yang jelas, seperti belum terbebas dari efek traumatik, kemiskinan, kesengsaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan yang mendalam. Anak-anak semacam ini akan dengan mudah ditemui di Aceh, Maluku, Poso, Yogyakarta, dan Jawa Tengah yang terkena gempa Mei tahun lalu.

Kedua, anak-anak yang menderita justru karena orangtuanya kelewat kaya raya. Kehidupan keluarga di zaman modern ini juga banyak mendatangkan stres bagi anak karena perubahan pola kerja para orangtua.

Dalam artikelnya yang berjudul Go East Young Man dalam Far Eastern Economic Review (1994), Mahbubani menunjukkan gejala retaknya social order di negara-negara Barat, seperti peningkatan angka bunuh diri, kehamilan di luar nikah, perceraian, kriminalitas, narkoba, dan sebagainya.

Kesibukan orangtua mencari nafkah seharian juga menyebabkan anak kesepian, hingga stres. Rumah seolah hanya tempat "parkir" untuk hubungan suami istri, atau sekadar "say hello" kepada anaknya.

Untuk menghadapi kenyataan tersebut, Patterson GR dalam Coercive Family Processes menganjurkan sebuah keluarga untuk menerapkan peraturan dan pengharapan yang jelas di dalam keluarga; memantau perilaku anak secara konsisten sehingga sedini mungkin dapat diketahui apa yang ia kerjakan dan apa yang ia rasakan; mengupayakan respons yang konsisten terhadap perilaku anak; mengupayakan pengakhiran krisis atau problem di dalam keluarga sedini mungkin sehingga ketegangan dan perselisihan tidak sempat berkembang.

Ketiga, golongan anak miskin yang terpaksa bekerja atau dipekerjakan. Persoalan ekonomi keluarga, broken home, kemudahan mencari uang di luar, kebebasan, dan sebagainya mengakibatkan makin banyaknya jumlah anak yang kemudian menggelandang di jalanan. Di bawah umur

Data dari International Programme on the Elimination of Child Labor (IPEC), International Labour Organization (ILO), ada sekitar 2,6 juta pembantu rumah tangga di seluruh Indonesia yang 34,83 persen di antaranya masih anakanak dan dari jumlah itu, 93 persen di antaranya adalah anak perempuan di bawah usia 18 tahun.

Survei ILO pada tahun 2002 mencatat, pembantu rumah tangga anak-anak tersebut hanya bergaji antara Rp 125.000 sampai Rp 150.000 per bulan. Sedangkan yang mendapatkan gaji di bawah Rp 125.000 per bulan ada sekitar 15,7 persen. Padahal, beban kerja mereka sangat berat, sama halnya dengan orang-orang dewasa.

Ada dua jenis anak jalanan, yakni anak jalanan yang masih tinggal dengan orangtua atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya dan hidup sembarangan di jalanan.

Hasil penelitian dari Pusat Studi Wanita Universitas Diponegoro Semarang menunjukkan sekitar 28 persen anak perempuan di jalanan mengalami kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, penjerumusan ke prostitusi, pembuatan pornografi, serta diperdagangkan untuk keperluan kepuasan seksual.

Angka tersebut memperkuat temuan Yayasan Duta Await tahun 1998 lalu, yang mengatakan bahwa dari 500 anak jalanan yang disurvei di Semarang, 12,9 persen di antaranya pernah melakukan hubungan seksual lebih dari delapan kali per bulan, 48,4 persen melakukannya tetapi tidak rutin, 6,5 persen melakukannya satu kali per bulan, 16,2 persen melakukannya 2-3 kali per bulan dengan pasangan yang berbeda.

Usia mereka rata-rata 12 tahun, dengan rincian 11,4 persen masih SD kelas V, 25 persen kelas II SMP, 8,6 persen kelas III SMP, dan 14,6 persen kelas VI SD. Menurut hasil penelitian ini, 80 persen mereka menekuni "profesi" sebagai anak jalanan karena masalah ketidakharmonisan orangtua mereka dan hanya 20 persen yang mengatakan karena masalah ekonomi.

Temuan Yayasan ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Sunarti (1998) dari Pusat Studi Wanita Undip Semarang bahwa problem anak perempuan jalanan lebih memprihatinkan dalam konteks hubungan keluarga. Mereka selalu merasa tertekan di rumahnya, sering dimarahi orangtuanya, serta pandangan yang negatif.

Hasil-hasil studi terdahulu dari Budiartati (1992) juga menunjukkan gejala yang sama. Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan kumuh, tanpa bimbingan orangtuanya, lingkungan yang keras dan kasar, akan membentuk watak yang indolen, pasif inferior, tercekam stigma mentalitas rendah diri, pasif agresif, eksploitatif, dan mudah protes atau marah.

Dalam kondisi yang demikian parah tersebut, tata nilai yang akan ditanamkan kepada anak-anak akan sulit karena oto-aktivitas, rasa percaya diri, pengandalan diri sendiri (self reliance) dan seterusnya, sudah hampir punah, hingga timbul mental "primitif" dan "sindrom kemiskinan".

Itulah bahan renungan untuk menuju generasi sehat cerdas dan beriman. Semoga anak-anak Indonesia segera terlepas dari kesulitan hidup dan para orangtua selalu memenuhi kewajibannya mendidik anak-anaknya.

SARATRI WILONOYUDHO Kepala Pusat Penelitian Sainsteks Universitas Negeri Semarang

No comments:

Post a Comment