Friday, August 24, 2007

Etnofilsafat, Obat atau "Placebo"?

Filsafat

Apakah etnofilsafat adalah obat untuk menawar racun globalisasi atau hanya placebo, bukan betul-betul obat?

Filsafat dalam tradisi Barat dipahami sebagai refleksi kritis seorang filsuf terhadap manusia dan dunianya. Di pusat-pusat studi di Barat, wilayah etnofilsafat diterangkan dalam upaya mencari semacam kaitan efektif dengan apa yang sudah menjadi tradisi di dalam filsafat konvensional.

Studi-studi lanjut tentang etnofilsafat, seperti dilakukan oleh Kwame A Appiah dari Ghana memperlihatkan, dasar nilai komunitas adalah individualitas. Kalau pendekatannya seperti itu, placebo masih memberikan rasa aman.

Di Indonesia, soal-soal ini disingkirkan, kata narasumber itu. Pendekatannya lebih merupakan sinisme terhadap tradisi Barat, dengan lebih menerima filsafat sebagai identik dengan kebudayaan suatu kelompok.

Tema paling kuat yang diajukan untuk menopang etnofilsafat seperti itu agaknya paralel dengan tema yang dituntut oleh politics of difference, yaitu cultural survival. Tema yang sama, seperti ditulis Amartya Sen (2007) digunakan secara politik untuk menolak universalisme hak-hak asasi manusia, khususnya oleh Singapura dan China, yang menekankan perbedaan regional dan memastikan adanya "keberagaman regional".

Di situ integritas mendahului otonomi individu anggotanya. Tidak ada moral yang lepas dari tuntunan komunitas budaya. Kasarnya, individu lenyap di dalam "jajahan" komunitas.

Kalau jenis etnofilsafat itu hendak dikembangkan di Indonesia, ia akan menjadi semacam jalan tol untuk memperkuat konservatisme.

Dan memang, bukan untuk itu proyek tersebut dibuat. Melainkan untuk memberikan penghargaan pada budaya lokal, sekaligus kritis terhadap kelemahannya untuk mengantisipasi kemungkinan dimanipulasi serta menyelamatkan dimensi yang selama ini didominasi oleh interpretasi reduksional.

Dengan demikian, pemilihan istilah pun harus dipertimbangkan hati-hati karena anasir anti- demokrasi ada di mana-mana dalam etnofilsafat. Itulah yang ditemukan dan kemudian diperiksa.

Kebudayaan bukan sesuatu yang statis. Perubahan terjadi akibat interpretasi individual, yang mungkin saja datang dari pertemuannya dengan individu lain dari kelompok lain. Narasumber lain mengatakan, kalau ingin berfungsi dalam masyarakat yang dibutuhkan bukan memperkuat identitas lokalnya, melainkan belajar mengikuti perkembangan agar mampu membawa diri ke dalam lingkungan yang berbeda.

Ketegangan

Ketegangan antara politics of difference dan democratic citizenship dari sudut pandang postmodernisme, memperkuat keyakinan bahwa self bukanlah sesuatu yang "cartesian". Selalu ada de-ontologisasi, terutama karena pertemuannya dengan dinamika ketidakpastian global.

Ketidakpastian itu diolah dengan memungkinkan percakapan sosial dan pertemuan-pertemuan kebudayaan di ruang publik. Dengan begitu, isolasi-isolasi yang mengonservasi local wisdom berbasis agama, kultur, etnis, dan lain-lain dikuakkan. Setiap individu memiliki kesempatan menginterpretasikan kebudayaan dalam kemajemukan democratic citizenship.

Desain toleransi harus bertumpu pada kondisi incommensurable dari kebudayaan dan pada saat yang sama juga ada jaminan politik pada terhadap tidak terjadinya ontologisasi nilai pada kehidupan publik. Itulah tugas citizenship yang paling mendasar.

Dalam kenyataannya, civil society kita sekarang ini amat menikmati civil rights, tetapi ruang civil liberties justru tersumbat. Bengawan Solo, misalnya, dalam riwayatnya menyimpan keunikan dan kearifan lokalnya sehingga kegiatan seperti Ekspedisi Bengawan Solo dapat dilihat sebagai upaya mencari kekuatan, karena jarak pandang ke depan ditentukan kemampuan melihat ke belakang.

Namun, yang unggul sekarang bukan Bengawan Solo,tapi Wong Solo, restoran yang pemiliknya punya empat istri dan mengampanyekan poligami melalui segala bentuk media. Jadi, civil rights mengalir melalui Wong Solo, bukan Bengawan Solo.

Kontekstualisasi mitos memang tergantung dari siapa yang melakukannya. Namun, kontekstualisasi mitos seperti "jagad cilik", "jagad gede" dalam cerita wayang Dewa Ruci, sebagai "micro cosmos" dan "macro cosmos" dalam pencarian jati diri manusia, atau penafsiran ulang, seperti mitos nenek sihir Calon Arang, tentu saja dibutuhkan.

Mitos yang dikatakan Roland Barthes sebagai "second order" language, menurut seorang narasumber, juga berlaku bagi mitos etnik, mitos religius, maupun mitos kontemporer. Mitos yang terakhir disebut itu mengalami aktualisasi lewat ritual maupun pola konsumsi komoditas. Pertanyaannya, sejauh mana konsumsi mitos beragam itu tidak akan bertubrukan dan mengakibatkan keretakan kepribadian.

Tetap problematik

Narasumber lain berpandangan individualitas tetap problematik karena pengaruh apa pun membuat individualitas tidak berkembang, malah terjadi pembekuan-pembekuan yang lebih parah.

Menurut dia, yang berjaya di kawasan Asia Tenggara bukan kosmopolitanisme ala Barat, bukan pula terbentuknya massa dengan kesadaran individualitasnya, melainkan terfragmentasinya manusia ke dalam budaya, agama, dan bahasa tertentu.

Ia memotret kondisi individualitas dan "kemerdekaan" sang subyek dalam jalinan suku dan agamanya melalui tiga momen kritis. Pertama adalah modernitas (ide kemajuan) dari dunia modern Barat. Pengalaman suku-suku yang dikristenkan oleh misionaris Barat tampaknya memunculkan individualitas yang mendua karena semangat misionaris (pietisme) abad ke-19 yang menekankan pertobatan individu menjadi pertobatan suku-suku bangsa.

Dengan modal "pertobatan", yang tentu dilengkapi oleh peralatan modern Barat, seperti sekolah zending, rumah sakit misi, banyak anak-anak gereja suku ini mengalami pencerahan akan sebentuk ide modernitas (baca: kemajuan).

Dari riset Penelitian Johan Hasselgren (2000) didapatkan kesimpulan sementara, individualitas tidak berkembang sebagai suatu agency yang mandiri, sebab ia cenderung diisap ke dalam lingkup komunal.

Pola perkembangan etnoreligi yang demikian menyebabkan benturan antarkelompok tak terhindari, yang mengakibatkan konflik komunal di era yang lebih mutakhir. Itulah momen kritis kedua.

Di situ soal keterwakilan politik menjadi isu penting. Ia mengutip Loraine V Arragon (dalam Indonesia, 2001) yang mengatakan, penguatan identitas komunal berkembang di Poso terjadi karena adanya elite pemerintahan yang menghendaki jabatan tertentu. Para elite inilah yang mengerahkan massa. Karena sifatnya komunal kebenciannya juga komunal.

Analisis itu menguatkan pandangan Ignas Kleden (2001) tentang komunalisme di daerah konflik di Tanah Air yang sering kali dibungkus oleh kepentingan elite lokal dan nasional dalam memperebutkan sumber daya ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.

Selain berkarakter komunal (bahkan teritorial), konflik itu juga berpola patron-client. Elite yang menjadi saluran representasi etnik pada gilirannya meminta balasan untuk mendukungnya berkelahi di tataran politik. Individualitas tak mungkin muncul di sini, katakanlah sebagai agency, pendorong perdamaian.

Ketiga adalah konsumerisme global. Gejala baru pasca-gereja-suku adalah gerakan Pentakostalisme (agama karismatik). Agama hendak dialami sebagai sesuatu yang amat individual dari orang-orang yang bergulat dengan ihwal personal: seputar healing dan perlunya pertobatan abadi di zaman yang tak pasti. Di sini agama adalah soal wealth and health.

Ungkapan yang lebih pop tentang iman telah menawan jutaan orang di Amerika Latin. Di situ individu menemukan spirit untuk mobilisasi sosial, sebab ada komunikasi rohani yang memberi motivasi ke arah sukses dan momen born again guna meninggalkan kekerasan yang merebak di Amerika Latin.

Apakah ini bentuk individualitas baru, individu pasar rohani di mana pilihan, kesenangan demi perubahan diri dan sukses pribadi menjadi cirinya?

(MARIA HARTININGSIH)

No comments:

Post a Comment