Wednesday, August 15, 2007

Harteknas: "Low-Tech" Vs "Hi-Tech"

NINOK LEKSONO

"Teknologi membutuhkan uang, dan teknologi juga menghasilkan uang. Jika banyak orang Indonesia menggunakan teknologi, artinya kita berhasil secara teknologi."

(Wapres Jusuf Kalla dalam Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus 2007)

Apa yang disampaikan Wapres memang kontras dengan peristiwa yang melatarbelakangi pencanangan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas), yakni penerbangan perdana pesawat penumpang N-250 yang desainnya merupakan hasil karya bangsa Indonesia. N-250 terbang untuk pertama kali tanggal 10 Agustus 1995, memuncaki kiprah para insinyur dan ahli aeronautika Indonesia di bawah pimpinan Prof BJ Habibie.

Tentu saja prestasi yang diukir sepekan sebelum Perayaan Tahun Emas 50 Tahun RI amat membanggakan.

Sekadar catatan, di luar Boeing dan Airbus yang membuat pesawat jet berbadan lebar, saat itu ada sejumlah pabrikan yang dikenal sebagai pembuat pesawat komuter berkapasitas sampai 50 penumpang, seperti Fokker yang membuat Fokker 50, Embraer di Brasil, dan Dornier di Jerman, serta kongsi Perancis-Italia yang membuat pesawat ATR (Avion de Transport Regional).

ATR-42 merupakan salah satu pesaing N-250, hanya saja karya insinyur Indonesia diklaim lebih maju dengan penerapan sistem penerbangan fly-by-wire, di mana pengendalian pesawat sepenuhnya dilakukan oleh komputer pusat.

N-250 pernah dihadirkan dalam Pameran Kedirgantaraan Paris, Perancis, Juni 1997. Menyaksikan pesawat itu terbang di Salon Aeronautika yang paling bergengsi di dunia melahirkan kebanggaan dan nasionalisme. Setiap kali N-250 melakukan demo terbang, nama PT Dirgantara Indonesia (DI) dan tentu saja Indonesia disebut berulang-ulang oleh pemandu. Indonesia sungguh telah hadir di peta aeronautika dunia.

Sayangnya, itu baru separuh dari cerita. Itu baru kenangan manisnya, karena setelah itu Indonesia ikut dilanda krisis parah yang bahkan dampaknya masih dirasakan hingga hari ini. N-250 pun, juga PT DI, surut pamornya. N-250 yang menelan jutaan dollar AS itu urung mewujud sebagai pesawat yang menjadi jembatan Nusantara. Ia bahkan belum sempat mendapatkan sertifikasi Badan Penerbangan Federal AS (FAA).

Dikaitkan dengan pernyataan Wapres, N-250 yang dari satu sisi merupakan prestasi puncak bangsa yang kemudian mendorong lahirnya Harteknas justru menjadi simbol kegagalan pengembangan teknologi karena ia gagal mewujud seperti yang dicita-citakan.

"Hi-tech" vs "low-tech"

Tentu saja ada banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk riwayat muram N-250. Namun, dari sisi ide dasarnya, yakni membuat pesawat penumpang kapasitas sedang tidak keliru. Indonesia, negara kepulauan berukuran geografis besar, memang alamiah bagi penerbangan. Maraknya angkutan udara dewasa ini menguatkan hal itu.

Riwayat N-250 dan juga PT DI jelas perlu dikaji lebih saksama demi perbaikan ke depan. Namun, ketragisannya tidak boleh mengendurkan gairah (passion) bangsa Indonesia terhadap teknologi kedirgantaraan.

Dulu kedirgantaraan sempat "dimusuhi" khususnya oleh kalangan ekonom karena dianggap pemborosan dan sumber inefisiensi. Namun, itu di luar wacana mengenai asas kemanfaatannya. Sekali lagi, kalau aplikasi teknologi kedirgantaraan disertai dengan perencanaan lebih saksama, juga perhitungan ekonomi lebih komplet, dan tim di industrinya dilengkapi tenaga pemasaran yang andal, ia tetap punya prospek cerah, tidak hanya di lingkup domestik, tetapi juga internasional. Riwayat CN-235 yang mendahului N-250 bisa disebut sebagai contoh yang lumayan.

Meski demikian, kalangan teknolog dan industri di Indonesia baik juga memerhatikan apa yang dikemukakan Wapres Jusuf Kalla, yang menyebutkan pentingnya teknologi dasar, seperti yang diterapkan pada traktor tangan dan benih hibrida dalam bidang pertanian.

Ketika Wapres menyebut bahwa Indonesia memang bisa membuat pesawat atau lorong penumpang (aerobridge), tetapi yang lebih banyak terjual adalah lorong penumpang, konteksnya tentu lebih dalam kaitannya dengan kemampuan penjualan dan penguasaan pasar. Memang, dalam hal ini, lorong penumpang produksi Bukaka sudah banyak terjual ke Brunei Darussalam, Hongkong, Jepang, dan Singapura (Jakarta Post, 13/8).

Hal itu tentu saja tidak harus dikaitkan dengan teknologi rendah/sederhana.

Teknologi tepat guna

Wapres juga menyinggung pentingnya iptek jika menginginkan masa depan yang cerah bagi negara. Kini tugas Menneg Ristek-lah yang harus menjelaskan lagi prioritas teknologi mana yang perlu dikedepankan setelah munculnya pernyataan Wapres. Dengan demikian, wacana tidak perlu kembali ke era 1980-an yang diwarnai perdebatan hi-tech versus low-tech.

Pada masa lalu, di ITB juga banyak dikembangkan apa yang disebut sebagai "teknologi tepat guna". Dari segi wujudnya, seperti untuk produksi air bersih, orang juga lalu ada yang menyebutnya teknologi madya.

Teknologi tepat guna boleh jadi sebutan yang lebih pas karena ia membebaskan orang dari pencitraan tinggi atau rendah. Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) yang mulai diadopsi Indonesia tahun 1976 dengan peluncuran satelit Palapa A1 dilihat dari sosoknya merupakan teknologi tinggi karena saat itu Indonesia juga termasuk pengguna awal sistem itu setelah AS dan Kanada. Namun, SKSD secara fungsional merupakan teknologi tepat guna karena dengan itu wajah telekomunikasi Indonesia berubah drastis.

Terlepas dari perdebatan yang masih tersisa mengenai hi-tech atau low-tech, masyarakat Indonesia tak terelakkan lagi terus mengadopsi teknologi, mulai dari bidang kesehatan, dan yang paling dinamis tentu saja TIK (informasi dan komunikasi).

Hari-hari ini, berita tentang kesibukan konversi penggunaan minyak tanah ke gas pun menyiratkan makin maraknya aplikasi teknologi di lingkup rumah tangga. Bangsa Indonesia yang maju tak terelakkan lagi akan hidup dengan teknologi, madya atau tinggi, tetapi tepat guna untuk keperluannya.

No comments:

Post a Comment