Monday, August 20, 2007

Karut-marut Kelembagaan Sampah Indonesia

M PUTERI ROSALINA

Bagai bom waktu, masalah sampah dapat "meledak" setiap saat tanpa dapat diduga sebelumnya. Adakalanya sampah hanya dianggap sebagai barang buangan yang menjijikkan. Bahkan, pemulung dan tukang sampah pun masih dianggap rendah. Namun, saat "ledakan" bom sampah terjadi, semua pihak panik dan saling menyalahkan.

Sebut saja kasus longsornya timbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi, di TPA Leuwigajah, Cimahi, dan di TPA Rancamaya, Bogor, yang menewaskan puluhan orang dan merusak permukiman penduduk di sekitarnya. Bahkan, di beberapa kota, kasus-kasus semacam itu ada yang diikuti aksi penutupan TPA oleh masyarakat sekitarnya.

Masalah sampah terus saja terjadi setiap tahun, dari dulu sampai sekarang, tanpa ada penyelesaian yang pasti. Pemerintah pusat pun tidak segera turun tangan menanganinya. Akibatnya, penyelesaian sampah tidak tertangani sampai pada akar permasalahan.

Selama ini prinsip pengelolaan sampah di Indonesia mengandalkan prinsip "pilah-kumpul-angkut-buang". Langkah memilah malah baru dilaksanakan oleh sebagian kecil masyarakat saja.

Sementara itu, sampah yang terbuang di tempat pembuangan sementara (TPS) ataupun TPA pun jumlahnya tetap sama. Padahal, lahan TPA tidak mengalami penambahan. Akibatnya, sampah makin menumpuk tinggi sehingga terjadilah longsor sampah di TPA dan tidak terangkutnya sampah di TPS-TPS selama berhari-hari.

Konsep pengelolaan sampah reduce-reuse-recycle (3R) baru didengungkan Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar pada Desember 2006 di Bandung. Setelah itu, barulah pemerintah mengubah paradigma menjadi 3R-residu-angkut-kelola. Proses pengelolaan bisa melalui sanitary landfill atau pengendalian gas metan dan karbon dioksida atau CO>sub<2>res<>res<.

Tidak hanya prinsip pengelolaan sampah 3R saja yang terlambat diterapkan. Kelembagaan persampahan juga belum tertata dengan baik. Masalah sampah diserahkan langsung kepada kabupaten/kota tanpa keterlibatan pemerintah pusat secara langsung. Dalam struktur organisasi Kementerian Negara LH, masalah sampah hanya menjadi bagian kecil dalam bidang pengendalian pencemaran lingkungan.

Hal senada juga terungkap dalam focus grup discussion (FGD) mengenai kelembagaan persampahan yang diselenggarakan Sylff Indonesia Joint Initiatives Program, beberapa waktu lalu di Jakarta. Peserta FGD yang terdiri atas masyarakat, LSM persampahan, BPPT, dinas pekerjaan umum, dinas kebersihan, DPRD, dan DPD menyatakan, tidak ada departemen atau badan khusus yang mengatur mengenai persampahan di Indonesia. Selain itu, pelaku-pelaku yang terlibat dalam masalah persampahan bergerak sendiri-sendiri, tanpa ada koordinasi satu sama lain dengan jelas.

Menurut penjelasan Sri Bebassari, Pemimpin Indonesia Solid Waste Association, kelembagaan mengenai persampahan hanya berhenti di tingkat kabupaten/kota. Itu pun terkadang ada yang digabung dengan kewenangan lain, seperti pertamanan, permakaman, pasar, lingkungan hidup, dan kebakaran.

Akibatnya, koordinasi menjadi tidak fokus. Begitu juga dengan anggarannya. Di tingkat kecamatan dan kelurahan, persampahan hanya diurusi oleh subdinas (subdin) kebersihan.

"Belum ada instansi terpadu seperti di Jepang yang masalah sampahnya diurusi oleh 16 menteri," ujarnya.

Menurut Sri, yang menggeluti sampah selama 27 tahun, sampah bukan menjadi wewenang dinas kebersihan saja. Pemegang peranan penting dalam persampahan adalah Bappeda, gubernur, bupati atau wali kota. "Dinas kebersihan hanya sebagai pelaksana," tuturnya.

Sekarang, ketika masalah sampah sudah gawat, seyogianya diperlukan suatu badan khusus yang menangani sampah. Badan tersebut yang mengatur sampah di tingkat pemerintah pusat.

Bahkan, menurut Mukhayar dari Komisi D DPRD DKI Jakarta, produk hukum persampahan hanya berhenti sampai pada peraturan daerah alias perda. Itu pun tidak semua kabupaten/kota mempunyai perda sampah. Selama 1999-2004, tercatat ada 16 perda yang mengatur sampah/kebersihan. Namun, tidak semua perda mengatur mengenai pengelolaan persampahan; sebagian perda hanya mengatur retribusi sampah yang tujuannya menarik uang sebanyak-banyaknya dari sampah.

Misalnya Perda Kota Solok Nomor 6 Tahun 1999 mengenai Retribusi Pelayanan Sampah/Kebersihan. Retribusi untuk pengambilan, pengangkutan, pengolahan atau pemusnahan sampah rumah tangga Rp 1.000 per bulan. Untuk perdagangan sebesar Rp 6.000-Rp 15.000 per bulan, dan Rp 7.500-Rp 10.000 per bulan untuk rumah sakit, hotel, dan pabrik.

Prijanto, kader kebersihan di Kelurahan Serdang, Jakarta, menyebutkan bahwa perda di Jakarta mengenai larangan buang sampah sembarangan sempat cukup efektif. Namun, tingkat keefektivannya hanya selama tiga tahun saja menjelang seleksi Adipura. Setelah itu, meski ada sanksi senilai Rp 50.000 bagi yang melanggar, masyarakat tetap saja membuang sampah sembarangan tanpa ada sanksi tegas dari pemerintah. Akibatnya, sampah berserakan di pinggir jalan dan sungai di berbagai sudut kota sehingga menimbulkan bau menyengat.

Baru pada tahun 2007 Rancangan Undang-Undang (RUU) Persampahan mulai dibahas di DPR. Meski sebelumnya sampah sudah diatur dalam UU Kesehatan, UU Perumahan dan Permukiman, UU Lingkungan Hidup, dan UU Perindustrian, tetapi belum ada yang mengatur sampah secara komprehensif, kohesif, dan konsisten.

Dalam RUU tersebut akan diatur mengenai kegiatan pengelolaan sampah, hak dan kewajiban dalam pengelolaan sampah, kerja sama dan kemitraan, perizinan, forum pengelolaan sampah, larangan dan sanksi administratif, serta partisipasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat

Ketika pemerintah meributkan mengenai kelembagaan, dana, dan regulasi persampahan, sejumlah kelompok masyarakat bersama LSM telah berhasil mengelola sampah di tingkat rumah tangga dan lingkungan.

Awalnya hanya satu kampung saja yang melakukan kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah. Lambat laun menular ke kampung yang lain bahkan wilayah lain. Seperti di Jakarta; Kampung Banjarsari, Cilandak Barat, bisa dikatakan sebagai salah satu pencetus kegiatan pengolahan sampah yang akhirnya ditiru oleh kampung-kampung lain di penjuru Jakarta.

Beberapa LSM persampahan melakukan pembinaan di beberapa permukiman kumuh. Masyarakat diajak untuk melakukan pemilahan sampah organik dan non-organik. Kemudian dilakukan kegiatan 3R berupa composting (pengomposan), daur ulang sampah menjadi barang-barang kerajinan, dan penghijauan kawasan.

Hasil penelitian Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (2004) menunjukkan, jika setengah dari sampah organik didaur ulang menjadi kompos secara individual, pengurangan volume sampah bisa mencapai 32,5 persen dari total volume sampah.

Meski ada anggapan bahwa masyarakat tidak peduli terhadap sampah, hasil penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (2006) menunjukkan, sekitar 90 persen warga Jakarta mau berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Penelitian dilakukan di tiga kecamatan di Jakarta Timur. Bentuk partisipasinya berupa pemilahan dan daur ulang, tergantung dari karakteristik masyarakat dan lingkungan dalam tipe permukiman yang berbeda-beda.

Sayangnya, peran serta masyarakat ini tidak difasilitasi pemerintah. Mereka bekerja sendiri-sendiri secara parsial.

Ninik, kader PKK dari Kelurahan Rawajati, Jakarta, misalnya, mengeluhkan kegiatan pemilahan sampah yang dilakukan masyarakat tidak ada artinya karena truk pengangkut sampah tidak dibedakan antara pengangkut sampah organik dan non-organik. Begitu juga dengan distribusi hasil pengolahan sampah. Masyarakat masih kesulitan untuk mendistribusikan hasil kerajinan pengolahan sampah.

Menurut Sri Bebassari, pengelolaan sampah harus melibatkan lima aspek, yakni kelembagaan, regulasi, pendanaan, peran serta masyarakat, dan teknologi. Lima aspek tersebut harus tertuang dalam "rencana induk (pengelolaan) sampah" yang wajib dipunyai oleh setiap kabupaten/kota. Jadi, tidak ada lagi cerita sebuah kota yang dibangun tanpa sebuah TPA.

(M PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS)

No comments:

Post a Comment