Thursday, August 23, 2007

Ke Mana Larinya Dana Hasil Korupsi?

Uang Pengganti (1)

Vincentia Hanni S

Pada akhir masa jabatannya, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Hendarman Supandji menceritakan keberhasilan timnya. Selama dua tahun masa kerjanya, Tim Tastipikor berhasil mengamankan uang negara Rp 3,95 triliun. Dalam waktu dua tahun, Tim Tastipikor menangani 14 perkara dan empat perkara bebas di pengadilan. Beberapa perkara masih berproses dan kasus korupsi di Sekretariat Negara belum dituntaskan.

Beberapa hari kemudian, dalam sebuah diskusi di Jakarta, anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, mempertanyakan klaim Hendarman tersebut. Dari hasil pengecekan Dradjad, dalam laporan Menteri Keuangan ternyata tidak ada pengembalian Rp 3,95 triliun dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor).

"Jangan sampai keberhasilan pemberantasan korupsi cuma sebagai upaya pencitraan, tetapi konkretnya tidak ada," ujar Dradjad.

Hendarman pun mengklarifikasi. Ia mengatakan, dari Rp 3,95 triliun tersebut, Tim Tastipikor baru menyetorkan Rp 18 miliar ke kas negara.

Teguran Dradjad itu menunjukkan adanya kesenjangan antara klaim keberhasilan yang diungkapkan dan realisasi setoran ke kas negara. Dan, itu bukan hanya terjadi pada Tim Tastipikor, melainkan juga terjadi pada institusi kejaksaan.

Baru-baru ini dalam satu kuliah umum di Solo, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution kembali mengungkit soal uang hasil korupsi. Ia mempersoalkan uang pengganti hasil korupsi dan bunganya.

Dalam dokumen BPK yang dimiliki Kompas disebutkan, eksekusi terhadap uang pengganti Rp 6,66 triliun yang telah berkekuatan hukum tetap belum berhasil ditagih oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Menurut anggota BPK, Baharuddin Aritonang, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005, jumlah uang pengganti yang tercatat dalam rekening Kejagung Rp 6,9 triliun. Jumlah dana ini tersebar di sejumlah rekening.

"Setelah dilaporkan, dana yang waktu itu sudah disetorkan ke Kantor Kas Negara Rp 2,5 triliun. Waktu kami kejar lagi sampai tahun 2006, jumlah yang disetorkan bertambah sampai Rp 3 triliun. Dana itu dikumpulkan dari sejumlah kejaksaan tinggi," ujar Baharuddin.

Kejaksaan Agung, kini, terkesan "kelabakan" dengan tudingan itu. Seluruh kejaksaan negeri dikumpulkan untuk mendata uang pengganti dan uang sitaan korupsi. Keterangan pers yang diberikan pun berubah-ubah.

Dalam jumpa pers khusus yang digelar untuk menjelaskan persoalan uang pengganti, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman pada 12 Agustus 2007 menjelaskan, hingga Desember 2006, jumlah keseluruhan uang pengganti perkara korupsi yang berumur 1 hingga 24 tahun mencapai Rp 6,996 triliun. Dari jumlah tersebut, yang sudah dibayar oleh terpidana dan disetorkan ke kas negara baru Rp 10,3 miliar.

Namun, hari Senin (13/8), Kejaksaan Agung meralat penjelasannya mengenai pembayaran uang pengganti perkara tindak pidana korupsi. Kata Kemas, secara keseluruhan, uang pengganti yang sudah disetorkan ke kas negara Rp 2,568 triliun. Total uang pengganti yang didata Kejaksaan Agung itu mencapai tak kurang dari Rp 10,704 triliun dan 5.500 dollar Amerika Serikat (AS).

Tak ditemukan

Angka-angka itu cukup spektakuler, triliunan rupiah. Namun, saat Kompas menelusuri ke rekening Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) nomor 501000000 dan rekening Bendahara Umum Negara (BUN) 502000000, ternyata uang setoran itu tak ditemukan.

Setelah ditelusuri di Departemen Keuangan, ternyata uang pengganti kasus korupsi dari kejaksaan ini tidak memiliki nomenklatur khusus dalam pos penerimaan APBN yang mana pun juga. Satu-satunya aturan yang membagi mata anggaran dengan jelas dan termutakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar.

Dalam aturan teknis ini pun tidak akan ditemui pos penerimaan uang pengganti kasus korupsi dari kejaksaan. Pos penerimaan dari kejaksaan diatur dalam mata anggaran nomor 4232, yakni mata anggaran Pengembalian Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan yang menampung seluruh dana yang masuk ke kas negara dari kejaksaan dan pengadilan.

Kompas pun coba meminta nomor mata anggaran penerimaan (MAP) dari kejaksaan. Menurut Jampidsus Kemas Yahya Rahman, pada tahun 2006, kejaksaan menyetorkan uang pengganti hasil korupsi itu ke nomor 423473. Pada tahun 2007, kejaksaan menyetorkan uang ke nomor rekening 424111.

Namun, setelah dicek, ternyata nomor mata anggaran penerimaan 423473 adalah milik Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu dengan nama mata anggaran Pendapatan atas Denda Administrasi PBHTB (Perolehan Bea Hak atas Tanah dan Bangunan).

Administrasi buruk

Terlepas persoalan teknis administrasi yang terkesan "berantakan" itu, entah apakah itu terjadi di kejaksaan ataukah juga di Departemen Keuangan, Kompas mencoba mengecek jumlah uang pengganti.

Dari catatan Kompas, baik dari setiap rapat dengar pendapat (RDP) Jaksa Agung dan Komisi III DPR mulai dari Jaksa Agung MA Rachman hingga Hendarman Supandji, dokumen BPK soal uang pengganti perkara korupsi yang ditangani kejaksaan hingga setoran riil ke penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Departemen Keuangan, angkanya berlainan.

Pihak kejaksaan tak memiliki administrasi yang baik dalam mengelola uang pengganti hasil korupsi ini. Fakta itu terlihat dari angka uang pengganti yang selalu berubah dalam setiap laporan Jaksa Agung di rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR.

Sayangnya, Komisi III DPR juga tidak teliti dan bergeming dengan inkonsistensi angka-angka ini.

Berdasarkan bahan RDP Jaksa Agung dan Komisi III DPR yang dihimpun oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), betapa mengejutkan saat membaca angka uang pengganti yang berubah-ubah.

Pada era Jaksa Agung MA Rachman, sama sekali tidak pernah dilaporkan ke Komisi III soal uang pengganti hasil korupsi.

Sementara pada era Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, angka uang pengganti berbeda. Bahkan, pada masa Abdul Rahman saja jumlah uang pengganti bisa berlainan.

Misalnya, dalam RDP 29 November 2004, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melaporkan uang pengganti dieksekusi Rp 16,557 miliar. Pada RDP 7 Februari 2005, uang pengganti dieksekusi turun menjadi Rp 15,168 miliar. RDP 26 Mei 2005, uang pengganti justru tidak ada.

Yang menarik, adanya perbedaan data yang dilaporkan Jaksa Agung pada RDP 1 September 2005 dan 28 November 2005.

Dalam RDP 1 September 2005, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyampaikan uang pengganti Rp 500 juta, denda dieksekusi Rp 22 juta, dan biaya perkara Rp 22.500.

Dua bulan kemudian, pada RDP 28 November 2005, Abdul Rahman melaporkan uang pengganti yang dieksekusi total Rp 2,747 triliun, denda Rp 227 juta, dan biaya perkara Rp 24.500. Dilimpahkan ke Jamdatun Rp 1,343 triliun.

Artinya, dalam waktu dua bulan, uang pengganti yang dilaporkan ke Komisi III DPR melonjak Rp 2,2 triliun!

Era Hendarman

Coba bandingkan dengan laporan Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam RDP dengan Komisi III, 28 Juni 2007.

Dalam RDP itu, khusus tahun 2005, Hendarman melaporkan uang pengganti yang masuk Rp 1,501 triliun. Adapun sisa uang pengganti tahun 2004 Rp 2,172 triliun dan 5.500 dollar AS. Total perkiraan uang pengganti tahun 2005 Rp 3,673 triliun, ditambah 5.500 dollar AS.

Itu baru angka-angka di atas kertas yang dilaporkan. Kompas coba membandingkan antara uang yang diklaim kejaksaan sudah disetorkan dan riil yang sudah disetor menurut keterangan Departemen Keuangan.

Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam RDP dengan Komisi III, 28 Juni 2007, melaporkan, pada tahun 2006 uang kerugian negara yang sudah dibayar Rp 1,231 triliun. Lain lagi keterangan Jampidsus Kemas Yahya Rahman kepada wartawan 13 Agustus 2007, uang pengganti yang disetor tahun 2006 hanya Rp 10,3 miliar.

Angka ini pun lain dengan data di Departemen Keuangan. Kalau kejaksaan benar telah mentransfer pada 2006 ke nomor mata anggaran penerimaan 423473, maka angka yang tercantum di mata anggaran tersebut hanya Rp 264 juta.

Sedangkan menurut Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Depkeu Hekinus Manao, uang pengganti yang disetorkan kejaksaan tahun 2006 sangat kecil, Rp 19,88 miliar dan semester I tahun 2007 Rp 2,37 miliar.

Inilah wajah kejaksaan dalam mengelola uang pengganti hasil korupsi. Pemberantasan korupsi sungguh hanya jadi sebuah pencitraan belaka. (IDR/HAR/OIN)

No comments:

Post a Comment