Monday, August 20, 2007

Memicu Teknologi Informasi di Indonesia

Saya baru saja memecahkan rekor, mengikuti tiga pameran komputer dan teknologi informasi dalam waktu dua bulan di tiga negara yang menjadi barometer perkembangan teknologi informasi dan komputer. Ketiga pameran itu ialah Interop di Las Vegas, AS; Computex di Taipei, Taiwan; dan CommunicAsia di Singapura.

Tujuan pemecahan rekor ini sebetulnya untuk menyerap teknologi yang kemungkinan dapat disebarkan di Indonesia. Sebab, sejak dikembangkannya teknologi wireless LAN, VoIP, dan RT-RW-Net, sepertinya belum ada lagi teknologi yang dapat dipelajari dan dikembangkan di Indonesia.

Kembali ke Tanah Air, saya kembali menjadi mandul untuk berkreasi karena dunia industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sepertinya hanya jual beli dan menjadi box mover. Jarang sekali ada pengusaha yang mau menambahkan nilai jual ke dalam perangkat yang mereka pasarkan.

Nilai jual para "pedagang" TIK itu melulu hanya ke persaingan harga yang tidak sehat. Akibatnya, industri komputer tidak menarik untuk digeluti, termasuk bagi pengembangan peranti lunak dan turunannya.

Enam tahun saya nyaris tidak melakukan usaha perdagangan yang berarti, hanya mengikuti perkembangan teknologi sekaligus menyelenggarakan berbagai seminar, workshop, dan demo yang di biayai oleh sponsor.

Sepertinya usaha tersebut sudah membuahkan hasil signifikan. Itu terlihat dari banyaknya warnet yang tersebar di seluruh Indonesia, teknologi wireless juga sudah merupakan "makanan empuk" untuk solusi infrastruktur yang amburadul di Indonesia, pemanfaatan VoIP sudah bukan merupakan barang aneh, dan teknologi jaringan sudah banyak diterapkan pada konsep RT-RW-Net yang saya paparkan pertama kali pada tahun 1999.

Usaha memperkenalkan semua teknologi ini ke Indonesia, saya nilai sudah lumayan berhasil. Namun, sampai hari ini Indonesia masih kalah jauh di bidang penerapan TIK dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia. Seperti yang sudah sering saya sampaikan, penguasaan TIK di Indonesia populasinya tidak lebih dari 3 persen dari seluruh penduduk dalam satu kota.

Istilah 4L (lu lagi lu lagi) terjadi di dunia TIK ini dan sepertinya penambahan "orang pinter" di bidang TIK mengalami kemunduran yang signifikan, apalagi menambah tenaga-tenaga muda yang mau berbagi pengetahuan dan pengalaman ke komunitasnya.

Indikasi penurunan kualitas pemahaman TIK ini terlihat jelas di berbagai milis berbahasa Indonesia, dengan selalu terjadi pengulangan masalah tanpa ada peningkatan dan penambahan informasi. Juga sering terjadi, ada penanya yang tidak peduli dan tidak mau membaca informasi yang sudah ada di arsip milis tersebut.

Kunci dari semua ini adalah dunia pendidikan yang sepertinya tidak bisa berperan banyak dalam pengembangan dan penerapan teknologi, sedangkan kemajuan satu perguruan tinggi sebetulnya harus ditunjang oleh kemajuan industri.

Kalau kita perhatikan, industri di Indonesia hanya berkutat di consumer goods, barang-barang yang bisa dijual cepat dan merupakan kebutuhan utama sehari-hari. Sedangkan peranti masa depan seperti komputer dan peranti telekomunikasi dijadikan barang mewah dan ditempatkan pada posisi seperti arca yang tidak bisa sembarangan disentuh.

Mungkin sudah lebih dari 30 tahun, hubungan perguruan tinggi dan industri, terutama industri TIK, sudah tidak lekat lagi. Keduanya sudah jalan sendiri-sendiri akibat satu hal yang sepele saja, yaitu "mau enaknya sendiri".

Industri TIK di Indonesia hampir tidak ada. Hanya beberapa kelompok yang masih bertahan dengan keadaan apa adanya, dan sebagian besar hanya jual-beli. Sedangkan dunia perguruan tinggi sudah tidak pernah memperhitungkan dunia industri sebagai cikal-bakal kelahiran teknologi baru dan layanan ke masyarakat luas.

Keadaan inilah yang menyebabkan Indonesia mengalami kemunduran di dunia TIK, bertukar tempat dengan Vietnam yang baru merdeka dan secara agresif mau berperan di dunia TIK dengan lebih baik.

Inisiatif membangun pendidikan yang baik di Indonesia sudah cukup banyak walaupun kendala akhirnya adalah UUD, "ujung-ujungnya duit".

Memang, pendidikan yang baik membutuhkan biaya yang besar karena yayasan pendidikan harus berjuang sendiri meningkatkan infrastruktur sekolahnya tanpa dukungan dunia industri.

Selama tujuh tahun malang melintang ingin menggiatkan penggunaan TIK, saya menghadapi kenyataan bahwa tidak ada bagian-bagian penting di masyarakat yang mau peduli terhadap hal ini. Kalaupun terjadi inovasi, sepertinya hanya obat sementara dan dalam sekejap menjadi satu fenomena untuk semua orang karena institusi yang lain dengan berapi-api mencontek seluruh konsepnya secara bulat-bulat.

Dua hal inilah yang sepertinya menjadi penyebab mundurnya penerapan TIK di Indonesia, yaitu pendidikan yang tidak ada arahnya dan tidak adanya kaitan yang erat antara dunia industri dan pendidikan.

Solusi untuk memecahkan masalah ini sebetulnya sudah dicoba oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui satu program yang namanya Teknisi Jardiknas. Namun, tampaknya program yang khusus dibuat hanya untuk satu keperluan ini akan menjadi terobosan untuk mendapatkan tenaga-tenaga ahli yang profesional dan dapat mengembangkan dunia TIK nasional.

Konsep Teknisi Jardiknas adalah mendidik siswa-siswi Indonesia untuk dapat menghasilkan tenaga teknisi menengah yang mampu merawat dan mengembangkan jaringan komputer di lingkungan dunia pendidikan, sekaligus berkolaborasi dengan pemerintah daerah.

Program Teknisi Jardiknas baru saja diselenggarakan tahun ini. Jika konsep ini bisa berjalan mulus, ada baiknya dunia industri memikirkan hal yang sama, terutama untuk mengembangkan bisnisnya sekaligus meningkatkan kualitas pekerja TIK Indonesia.

Ini mengingat, yang terjadi sekarang, satu tenaga ahli TIK dipakai untuk berbagai macam kebutuhan dan bahkan beragam perusahaan sehingga akhirnya mereka tidak sempat lagi mengembangkan pengetahuannya.

Dunia industri TIK perlu sedikit berkorban untuk menyisihkan sebagian dari keuntungannya untuk mengembangkan dunia TIK Indonesia secara serius. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita sudah bisa mendapatkan tenaga-tenaga andal yang akhirnya dapat membuat bangsa kita menjadi bangsa yang punya kemampuan menerapkan teknologi secara baik, sekaligus dapat bersaing di dunia internasional.

Michael Sunggiardi Managing Director PT Bonet Utama Bogor
e-mail: michael@sunggiardi.com

No comments:

Post a Comment