Thursday, August 23, 2007

Publik Berhak Protes Televisi


Harus Ada Tekanan Publik yang Masif

Jakarta, Kompas - Publik atau pemirsa televisi berhak memprotes tayangan-tayangan yang tidak mencerdaskan. Untuk mengubah acara televisi yang cenderung membodohi itu ke siaran yang lebih mencerdaskan bangsa, tidak bisa diserahkan kepada pemilik modal, tapi harus ada tekanan masif dari publik.

"Tidak bisa berharap pada kesukarelaan pemilik stasiun televisi," kata pakar ilmu komunikasi Effendi Ghazali di Jakarta, Selasa (21/8).

Menurut dia, protes publik terhadap keberadaan tayangan televisi yang tidak bermutu tersebut bisa disampaikan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan kepada pemerintah. Pemerintah kemudian bisa mengeluarkan moratorium televisi, yang isinya meminta agar stasiun televisi menayangkan acara bermutu pada pukul 19.00-22.00.

Effendi mengutarakan, untuk memilih acara bermutu pada sebuah stasiun televisi, bisa dilakukan melalui pembentukan panel yang beranggotakan 100-150 wakil masyarakat dari berbagai bidang, bisa dari bidang pendidikan, agama, kebudayaan, dan bidang lainnya. Mereka inilah yang akan memilih lima besar acara terbaik pada sebuah stasiun televisi. Acara-acara terbaik inilah yang kemudian dipilih untuk ditayangkan pukul 19.00-22.00.

Perubahan yang terjadi di dunia pertelevisian selama ini hanyalah perubahan pemilik modal dan moda produksi yang mengacu pada rating. Tidak ada perubahan yang dibangun berdasarkan strategi kebudayaan karena memang Indonesia tidak memiliki strategi kebudayaan. Semua ditanggapi sesuai tren.

Pembodohan melalui acara televisi tersebut, menurut Effendi Ghazali, memang karena ada tangan yang tidak terlihat yang mula-mula meletakkannya hanya hegemoni terhadap tren. "Bukan cuma super-culture, tetapi juga budaya ukuran rating yang ditentukan perusahaan dari luar yang berbiaya besar dan itu dianggap yang paling benar," kata Effendi Ghazali.

Memang membodohi

Wakil Ketua KPI Pusat Fetty Fajriati menyatakan, KPI setuju bahwa saat ini banyak tayangan televisi—seperti sinetron dan lagu-lagu—yang tak seronok dan tidak mencerdaskan, bahkan membodohi masyarakat.

"Bagaimanapun, kalau ukuran adalah rating, berarti selera masyarakat kita memang masih di garis itu dan mereka tidak menyadari kalau dibodohi oleh tayangan tersebut," ujar Fetty.

KPI, menurut Fetty, akan terus berusaha menyuarakan hal ini meskipun agak sulit karena aspek bisnis yang bermain. Namun, KPI menginginkan lembaga penyiaran memberikan informasi, mendidik, dan menghibur dengan acara-acara yang baik.

Adriana Venny dari Jurnal Perempuan juga menilai bahwa sinetron banyak yang memberi stigma dan memojokkan perempuan. "Ada sinetron yang berbau religius, tetapi justru menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Seperti sinetron Bunglon yang membawa isu trafficking perempuan, tetapi solusi yang ditawarkan adalah menempatkan laki-laki jadi pahlawan, sementara perempuan menunggu untuk diselamatkan," katanya. (LOK)

No comments:

Post a Comment