Tuesday, September 11, 2007

Menolak RUU BHP


Darmaningtyas

Departemen Pendidikan Nasional dan DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dan ditargetkan dapat disahkan menjadi undang-undang tahun 2007 ini. RUU BHP diinisiasi sejak 2003, tetapi sampai sekarang belum disahkan. Ini membuktikan bahwa RUU BHP sangat problematik dan tidak layak disahkan menjadi undang-undang.

Draf RUU BHP yang terakhir (22 Agustus 2007) sudah lebih baik karena ada penegasan tentang tanggung jawab pendanaan dari pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945, tetapi sifatnya setengah-setengah karena muncul rumusan "…minimal 60 persen dari kumulasi biaya operasi, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHP tersebut" (Pasal 23 Ayat 4). Adapun Pasal 23 Ayat 5 membatasi partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan maksimal 20 persen dari biaya operasional satuan pendidikan pada BHP.

Munculnya Pasal 23 Ayat 4 itu merespons kritik bahwa RUU BHP adalah upaya pemerintah melepaskan tanggung jawab pendanaan pendidikan. Hanya saja, meresponsnya setengah hati. Ayat 5 menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk menekan pungutan-pungutan biaya pendidikan yang dikeluhkan oleh masyarakat selama ini. Namun, ini sekaligus menjadi bumerang bagi BHP yang diselenggarakan masyarakat (baca: sekolah swasta) ketika dalam praktiknya pemerintah hanya memberikan 60 persen dari total biaya operasional sekolah, sedangkan masyarakat hanya boleh membayar maksimal 20 persen. Bagaimana sekolah tersebut harus menutup kekurangan biaya operasional yang 20 persen?

Sebuah UU yang mengatur hak dan kewajiban bagi warga dan negara haruslah jelas agar mudah diimplementasikan dan tak multitafsir. Apalagi UU yang mengatur masalah pendidikan harus jelas arasnya, yaitu Kovenan Ecosoc PBB dan Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan itu merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga dan tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ketidakjelasan tanggung jawab negara itu juga terlihat dalam hal penyediaan tenaga guru dan dosen. Pasal 29 Ayat 1-4 hanya mengatur status karyawan BHP yang terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan lainnya, dan tenaga penunjang; yang pengangkatan/pemberhentiannya oleh BHP berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Adapun Pasal 30 Ayat 1 dan 2 hanya mengatur status PNS yang dapat menjadi karyawan BHP dengan status PNS yang dipekerjakan. Kedua pasal sama sekali tidak mengatur secara jelas tanggung jawab negara dalam penyediaan tenaga pendidik (guru dan dosen) serta kependidikan bagi semua sekolah.

Meliberalisasi pendidikan

Selain mencerminkan tanggung jawab negara yang setengah hati, RUU BHP ini juga melegitimasi liberalisasi pendidikan. Hal itu terlihat jelas pada Pasal 8 Ayat 1 dan 2 yang memperbolehkan lembaga pendidikan asing yang telah terakreditasi mengadakan pendidikan di Indonesia dengan menyediakan biaya penyelenggaraan satuan pendidikan maksimal 49 persen dari kebutuhan penyelenggaraan satuan pendidikan. Pasal ini melegitimasi Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007 tentang sektor-sektor yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal asing (PMA), yang salah satunya adalah sektor pendidikan, termasuk pendidikan dasar dan menengah dengan kepemilikan maksimal 49 persen. RUU BHP ini juga mengukuhkan keberadaan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang sekarang dampak kemahalannya sudah dirasakan secara luas.

RUU BHP ini tak hanya mengatur pendidikan tinggi, tetapi semua jenjang pendidikan dari pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Pasal 1 Ayat 1 dan 5). Jadi sama sekali tidak benar bantahan-bantahan yang diberikan Depdiknas atau anggota DPR bahwa RUU BHP ini lebih fokus pada perguruan tinggi saja.

Kelemahan mendasar RUU BHP ini adalah hanya didasarkan pada Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Padahal pasal tersebut pernah digugat oleh sekelompok masyarakat untuk dibatalkan karena dinilai melanggar konstitusi, tetapi ditolak Mahkamah Konstitusi.

Ironis bahwa RUU BHP—termasuk naskah akademiknya yang menjadi roh dari RUU—sama sekali tidak merujuk pada Pancasila dan UUD 1945. Sebaliknya roh dari RUU BHP itu sangat pragmatis dan liberal.

Yang pasti, RUU BHP ini akan menghapus keragaman institusi pendidikan yang ada selama ini. BHP yang selama ini sudah ada, seperti yayasan dan perkumpulan, semua harus segera menyesuaikan dengan UU BHP.

Darmaningtyas Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa

No comments:

Post a Comment