Saturday, December 22, 2007

Ibu dalam Untaian Sejarah


A Adaby Darban Dosen FIB UGM Yogyakarta


Sejauh ini perayaan Hari Ibu masih bersifat tradisonal. Pada hari istimewa tersebut para suami dan anak-anak akan membebaskan para Ibu dari tanggung jawab domestik. Selain itu mereka juga memberikan hadiah berupa kado, bunga, ataupun puisi.

Apa yang dilakukan sebenarnya mengikuti tradisi perayaan Mother’s Day di beberapa negara. Pada prinsipnya perayaan Hari Ibu di Eropa berasal dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan Ibu para dewa dalam sejarah Yunani Kuno. Peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong, memperingati Mother’s Day pada minggu kedua bulan Mei. Pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Konteks Indonesia
Sementara itu, Hari Ibu di Indonesia sesungguhnya merupakan momentum bersejarah yang menandai tonggak perjuangan perempuan pada tahun 1928. Tepatnya pada 22-25 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran Yogyakarta diselenggarakanlah kongres perempuan pertama untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan. Sebagai organisasi yang ada di Yogyakarta, ‘Aisyiyah telah ikut mengambil bagian dan masuk dalam susunan pimpinan kongres. Dengan kehadirannya dalam kongres itu, maka secara langsung ‘Aisyiyah mendapat teman berjuang dari berbagai organisasi yang berasal dari berbagai daerah.

Siti Hajinah dan Siti Moendjiah adalah tokoh perempuan Indonesia yang terlibat dalam kongres perempuan pertama, mempunyai peranan yang penting dan memiliki kedudukan sama rendah berdiri sama tinggi dengan para tokoh organisasi wanita lainnya. Kedua tokoh tersebut menyumbangkan pemikirannya melalui pidatonya tentang Persatoean Manoesia dan Deradjat Perempoean.

Hasil keputusan kongres perempuan pertama tentang pembentukan badan perhimpunan yang bernama Persatuan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) merupakan perwujudan dari usul ‘Aisyiyah. Usul ‘Aisyiyah yang lain untuk membuat majalah yang diterbitkan kongres juga disambut baik dan kemudian direalisasikan dengan terbitnya majalah ISTRI.

Kemudian dalam kongres perempuan kedua yang diselenggarakan di Semarang pada tahun 1935, dilontarkan gagasan agar pelaksanaan kongres perempuan pertama dinyatakan sebagai Hari Ibu. Gagasan tersebut selanjutnya direalisasikan pada kongres perempuan ketiga. Namun secara resmi penetapan Hari Ibu dikuatkan dengan Keputusan Presiden RI No 316 tertanggal 16 Desember 1950. Sejak saat itu resmilah tanggal 22 Desember sebagai hari nasional (tidak libur) yang perayaannya dilakukan di seluruh Indonesia.

Selanjutnya, muncul beragam aktivitas untuk merayakan Hari Ibu tersebut. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Sementara itu, ‘Aisyiyah sendiri, setelah kemerdekaan, memperingati Hari Ibu dengan melakukan beragam kegiatan untuk pemberdayaan kaum perempuan dan meningkatkan amal dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung. Dan, bentuk-bentuk perjuangan tersebut tentu sangat berbeda dibandingkan dengan perayaan pada masa kini yang mencerminkan domestivikasi kaum perempuan dan lebih merupakan perayaan budaya konsumerisme.

Pada 22 Desember 1953 didirikan Yayasan Hari Ibu untuk memperingati seperempat abad Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia. Yayasan tersebut menjadi tempat latihan perempuan menuju kemerdekaan ekonomi perempuan serta menjadi tempat bagi perempuan yang sedang bepergian menjalankan tugasnya. Kemudian, Kongres Perempuan Indonesia mengeluarkan lencana Hari Ibu, kalender peringatan seperempat abad Kesatuan Pergerakan Perempuan, buku peringatan seperempat abad Kesatuan Pergerakan Perempuan, Panji Hari Ibu, serta kartu pos Hari Ibu.

Di Jakarta Kongres Perempuan Indonesia mengesahkan berdirinya Bank Koperasi Wanita Indonesia. Sejak tahun tersebut panitia seperempat abad Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia di bawah pimpinan Ibu Sri Mangoensarkoro dan Yayasan Hari Ibu, mengusahakan agar Hari Ibu tidak hanya dirayakan di Tanah Air, melainkan juga di kedutaan-kedutaan RI di luar negeri.

Pada 22 Desember 1968 Kowani memperingati Hari Ibu dengan rapat umum kaum perempuan dan lain-lain di pendopo kepatihan Yogyakarta yang dihadiri oleh (almarhum) Tien Soeharto dan sembilan istri menteri. Pidato sambutan presiden dibacakan oleh wakil presiden saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Beliau menekankan adanya harapan akan turut sertanya wanita dalam pembangunan. Di samping itu diadakan pertemuan dengan ibu-ibu tokoh 1928. Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada 1972 Kowani mengambil prakarsa untuk merayakan Hari Ibu dalam kalangan yang lebih luas.

Pada 22 Desember 2004, dalam puncak peringatan Hari Ibu, presiden RI mengatakan bahwa memperingati Hari Ibu mengandung makna merenungkan kembali posisi dan peran kaum wanita dalam membangun bangsa. Sejak dulu, kaum wanita tidak pernah absen dalam berjuang dalam merintis, merebut, dan mempertahankan kemerdekaan. Jasa-jasa itu tidak pernah dilupakan. Dengan semangat Hari Ibu harus diperkuat tekad dan semangat dalam meningkatkan kualitas dan peran perempuan dalam masyarakat.

Pada puncak peringatan Hari Ibu tahun 2006, presiden RI, mengatakan bahwa diselenggarakannya peringatan Hari Ibu pada tahun 2006 untuk mengenang kembali perjuangan kaum perempuan pada masa pergerakan kemerdekaan. Selain itu peringatan tersebut untuk mendorong kaum perempuan, agar bangkit mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki, sehingga dapat meningkatkan karya dan mengabdikannya kepada bangsa dan negara.

Perjuangan dan keluarga
Diingatkan oleh presiden bahwa ketahanan keluarga perlu dijaga. Membangun suatu keluarga yang sakinah, mawaddah, warrohmah perlu diwujudkan. Tiga hal yang perlu diingat oleh kaum wanita adalah : (1) memelihara harmonisasi dalam keluarga; (2) dalam rumah tangga harus ada silih asih, silih asuh, silih asah; (3) ke manapun kita berkarya, rumah adalah keluarga. Hati kita adalah keluarga.

Meningkatkan peran kaum perempuan dalam upaya pemberdayaan dan kemajuan, janganlah hanya menggantungkan pihak lain. Perempuan harus dapat melakukan upaya pengembangan dirinya yang disebut self developement, menghidupkan self respect, menghormati diri sendiri, menjaga martabat sendiri, dan keyakinan diri.

Beragam cara memperingati Hari Ibu hendaknya membuat kita merenung kembali bagaimanakah kaum perempuan sesungguhnya telah berjuang. Setelah memahami sejarah Hari Ibu tentunya kita mulai berpikir mengenai makna peringatan Hari Ibu. Sudah saatnya kita mengubah konsep perayaan Hari Ibu. Semestinya pada perayaan Hari Ibu lebih ditekankan pada semangat perjuangan kaum Ibu dalam kongres perempuan pertama untuk membangun bangsa.

Ikhtisar

- Ditetapkannya Hari Ibu di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang, yakni sejak tahun 1928.
- Saat ini, perayaan Hari Ibu lebih banyak dilaksanakan dengan aktivitas yang lebih mendorong pada budaya konsumerisme.
- Perlu perumusan kembali perayaan Hari Ibu agar lebih sesuai dengan konteks perjuangan kaum perempuan di Indonesia.

No comments:

Post a Comment