Saatnya Tulus Melayani Rakyat…
Try Harijono
Sudah menjadi tradisi di negeri ini rakyat disapa dan dikunjungi pejabat birokrasi sekadar basa-basi untuk mencari simpati, baik itu saat terjadi bencana maupun menjelang pemilihan kepala daerah atau menjelang pemilihan umum. Ketika ambisinya sudah tercapai, rakyat pun dilupakan.
Nyaris tak ada upaya serius dan tulus untuk melayani masyarakat. Beragam langkah yang dilakukan terkesan lebih bersifat politis. Itulah sebabnya persoalan yang terjadi di masyarakat selalu berulang dan masyarakat selalu yang menjadi korban.
Di bidang kesehatan, misalnya, Indonesia "mengukuhkan diri" sebagai negara dengan korban flu burung paling banyak. Sampai saat ini setidaknya tercatat 113 kasus flu burung di Indonesia dan 91 penderita di antaranya meninggal dunia.
Mengapa kasus yang pertama muncul tahun 2005 ini tak kunjung tuntas dan malah menyebar hampir ke seluruh wilayah Tanah Air? Boleh jadi karena upaya penanganan kasusnya tidak komprehensif dan kurang terintegrasi antardepartemen.
Jujur saja, masyarakat mencemaskan keadaan ini, tetapi bingung bagaimana harus melangkah. Upaya preventif dengan menjaga kebersihan lingkungan dan pola hidup sehat sudah dilakukan, tetapi tetap saja ada masyarakat yang menjadi korban. Masyarakat khawatir kasus ini menjadi endemi.
Kasus demam berdarah dengue (DBD) sama saja. Korban di masyarakat masih terus berjatuhan. Selama dua bulan pertama tahun 2007 saja, berdasarkan data Departemen Kesehatan, DBD sudah menjangkiti 16.803 orang dan 267 pasien di antaranya meninggal dunia. Kasus penderita DBD sangat tinggi terdapat di Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, dan Banten.
Cuaca yang tidak menentu antara panas dan hujan dikhawatirkan akan memicu peningkatan kasus DBD ke depan. Tragisnya, belum ada vaksin pencegah ataupun obat yang bisa diberikan untuk mengobati demam berdarah. Yang bisa dilakukan hanyalah menjaga kondisi pasien dan meningkatkan kadar trombosit pasien melalui transfusi darah.
Langkah yang efektif memang menjaga lingkungan yang bersih. Namun, lagi-lagi kesadaran masyarakat masih kurang.
Lingkungan rusak
Dalam hal menjaga kelestarian lingkungan, Indonesia juga tergolong parah. Laju kerusakan hutan di Indonesia selama 2000-2006 bahkan terparah di dunia, yakni 2 persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan Brasil yang 0,6 persen.
Kerusakan hutan ini setara dengan 1,87 juta hektar per tahun, sama dengan 51 kilometer per hari atau sama dengan 300 lapangan sepak bola setiap jam.
Dampak perusakan hutan itu pun mulai terasa. Bencana banjir dan tanah longsor terjadi di hampir seluruh wilayah Tanah Air. Setidaknya 2.117 orang tewas akibat berbagai bencana selama 2007. Angka ini akan terus berkembang jika rehabilitasi hutan tidak segera dilakukan.
Kerusakan hutan mangrove di sepanjang pesisir utara Jawa dan Kalimantan untuk tambak pun mulai terasa dampaknya. Gelombang laut tak tertahan sehingga terjadi abrasi pantai, bahkan terjadi banjir akibat rob di sejumlah wilayah.
Ironisnya, penegakan hukum di bidang lingkungan masih sangat lemah. Banyak pelaku pembalakan liar yang dibebaskan dengan beragam alasan. Jika demikian, tidak mustahil bencana lebih besar akan datang.
Pendidikan mencemaskan
Di bidang pendidikan, kita belum banyak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, malah kebijakan yang diambil cenderung menimbulkan polemik di masyarakat, baik karena kurang sosialisasi maupun kekurangan teknis di lapangan.
Benar, ujian nasional yang diikuti sekitar lima juta siswa SMP, SMA, dan sederajat pada tahun 2007 memicu semangat belajar banyak siswa. Mereka khawatir tidak lulus sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sudah ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, di sisi lain, ujian nasional saja tidaklah cukup. Upaya tersebut harus dibarengi dengan meningkatkan sarana pendidikan mulai dari gedung, buku hingga guru.
Di sinilah persoalannya. Masih banyak guru yang kualitasnya belum memenuhi standar, buku-buku terbatas, dan sekitar 19 persen bangunan sekolah di Tanah Air dalam kondisi rusak.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, jumlah sekolah rusak sebanyak 2.483 unit. Di Jawa Timur jumlah sekolah rusak 5.374 unit.
Di Sumatera Utara setidaknya 37.879 ruang kelas dalam kondisi rusak atau 39,4 persen dari semua SD hingga SMA. Adapun Jawa Barat menempati posisi tertinggi dalam jumlah sekolah yang rusak, yakni 191.704 ruang kelas. Untuk merehabilitasi sekolah yang rusak di Jawa Barat saja butuh dana setidaknya Rp 2,8 triliun.
Di sinilah masalahnya. Anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional dalam RAPBN 2008 hanya Rp 49 triliun atau cuma 12 persen dari seluruh APBN 2008. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan ketentuan undang-undang yang menggariskan 20 persen dari APBN.
Di sinilah muncul gugatan, apakah ini hasil tawar-menawar politik atau keterbatasan anggaran secara keseluruhan. Sangat disayangkan jika hanya karena pertimbangan politis. Jika demikian, memang kita belum tulus melayani masyarakat....
No comments:
Post a Comment