Saturday, December 22, 2007

Mengurai Kemelut Askeskin


Niat mulia pemerintah untuk memberikan pelayanan gratis bagi penduduk miskin ternyata menjadi beban rumah sakit. Penyebabnya, pemberian pelayanan oleh rumah sakit tidak diimbangi dengan kelancaran pencairan dana Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin.

Saat ini nyaris semua rumah sakit yang melayani pasien Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin) memiliki piutang, bahkan ada yang belasan sampai puluhan miliar rupiah, akibat pencairan dana Askeskin yang makan waktu panjang. Akibatnya, operasional sejumlah rumah sakit mengalami gangguan, terutama kesulitan menyediakan obat-obatan, alat kesehatan habis pakai, pembelian makanan pasien, serta pembayaran jasa medis perawat dan dokter.

Menurut Direktur Utama PT Askes Orie Andari Sutadji, saat dimulai tahun 2005, Askeskin berjalan lancar karena penduduk miskin yang ditanggung 36,14 juta jiwa. Selain ada dana Askeskin sebesar Rp 2,23 triliun, rumah sakit juga masih memiliki sisa dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM).

Sisa dana Askeskin 2005 sebesar Rp 1,1 triliun ditambah alokasi tahun 2006 sebesar Rp 3,6 triliun membuat Askeskin belum bermasalah meski penduduk yang ditanggung menjadi 60 juta jiwa.

Masalah baru terjadi tahun 2007 saat dana yang dialokasikan dari APBN hanya Rp 1,7 triliun. Ditambah sisa dana 2006 Rp 126 miliar. Padahal, penduduk miskin yang harus ditanggung membengkak menjadi 76,4 juta jiwa. Meski Departemen Kesehatan memberi tambahan sehingga total dana jadi Rp 3,526 triliun, jumlah itu belum cukup karena dana yang diperlukan setidaknya Rp 4,6 triliun.

Karena terbatas, dana juga tersendat turun. Akibatnya, ada rumah sakit seperti di Garut, Jawa Barat, yang sempat menghentikan layanan Askeskin. Juga ada perusahaan ataupun pedagang besar farmasi yang mengancam tidak memasok obat sebelum tagihan dibayar.

Tak semua rumah sakit nyaris kolaps. Operasional Rumah Sakit Hasan Sadikin, menurut direkturnya, Cissy Rachiana, tidak terganggu karena pasien Askeskin hanya 30 persen.

RS Kanker Dharmais (RSKD), menurut Direktur Medik Tato Heryanto, menyediakan 30 persen total jumlah tempat tidur bagi peserta Askeskin. Dengan demikian, meski tagihan Askeskin yang rata-rata Rp 600 juta per bulan belum terbayar, operasional rumah sakit tidak terganggu. RSKD bahkan mampu menyisihkan Rp 2 miliar-Rp 3 miliar per tahun untuk subsidi pasien tidak mampu dari subsidi silang pasien VIP dan super-VIP.

Rumah sakit lain, seperti RSUD Abdul Moeloek, Bandar Lampung, walau 65 persen pasiennya peserta Askeskin, RS tersebut mendapat dukungan finansial dari pemerintah provinsi. Wakil Direktur Bidang Umum RSUD Abdul Moeloek Arief Effendi menyatakan, tagihan obat-obatan bagi pasien Askeskin dibayar Pemprov Lampung.

Hal senada dituturkan Direktur RS Haji Surabaya Prof Rochmad Romdoni. Selama ini biaya obat-obatan masyarakat miskin ditalangi dari APBD Jatim.

Pencairan dana

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Departemen Kesehatan Ida Bagus Indra Gotama menjelaskan, mekanisme pencairan dana adalah rumah sakit mengajukan klaim kepada PT Askes. Tagihan diverifikasi, jika berkas dinyatakan lengkap dan lolos verifikasi, PT Askes menyerahkan tagihan ke Depkes.

Selanjutnya Depkes membuat surat pengantar ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) berisi persetujuan agar klaim tagihan Askeskin dibayar ke PT Askes. "Proses ini paling lambat tujuh hari sejak Depkes menerima klaim," kata Indra.

KPPN lalu mengeluarkan surat perintah pembayaran kepada bank yang ditunjuk untuk mengirimkan dana Askeskin ke rekening Kantor Pusat PT Askes paling lambat dua hari sejak surat perintah dari Depkes diterima.

Orie menyatakan, PT Askes melakukan verifikasi selama satu bulan sampai satu minggu sesuai dengan kelas rumah sakit (tipe A sampai D). "Kendalanya, banyak rumah sakit terlambat mengajukan klaim. Ada juga klaim yang dikembalikan karena tidak lengkap atau butuh pendapat komite medik rumah sakit," ujarnya.

Masalah yang krusial, menurut Orie, adalah data penduduk miskin. Saat ini pemerintah kabupaten/kota memiliki data rakyat miskin berdasar Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, sedangkan program Askeskin didasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Akibatnya, pemkab/pemkot harus melakukan sinkronisasi data. Hal ini mempersulit proses validasi data peserta. Sampai akhir 2007 baru 208 dari sekitar 444 kabupaten/kota yang selesai melakukan validasi data.

Orie berpendapat, kepesertaan Askeskin harus jelas, baik dari jumlah, nama, maupun alamat. Selain itu, ada kejelasan manfaat yang diberikan, kasus apa saja yang ditanggung Askeskin, tak bisa secara tak terbatas.

Menurut Orie, premi sebesar Rp 5.000 per orang per bulan tidak cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan paripurna. "Premi seharusnya dihitung secara aktuaria. Aspeknya banyak, misalnya rawat inap, obat, pemeriksaan penunjang," ujarnya.

Di lapangan masalah telah terjadi. Sekretaris Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya Hendro Riyanto menuturkan, harga obat yang diperlukan untuk menangani pasien epilepsi, yakni diasepam dan phenetoin, di pedoman pelaksana (manlak) tidak sesuai dengan harga barang di pasaran. "Di manlak, harga phenetoin Rp 300 per butir, tetapi kenyataan Rp 600. Diasepam di manlak Rp 980, di pasaran Rp 3.000," katanya.

Libatkan pemerintah daerah

Menurut guru besar pembiayaan dan asuransi kesehatan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Prof Ali Ghufron, untuk mengatasi kesulitan validasi peserta Askeskin serta mempercepat pencairan dana ke rumah sakit, pemerintah pusat perlu melibatkan pemkab/pemkot secara aktif.

Dana Askeskin sebesar 65 persen seyogianya dibagi ke kabupaten/kota sesuai dengan jumlah keluarga miskin berdasarkan data BPS. Jika dana kurang, pemerintah kabupaten/kota harus memberikan dana pendamping dari APBD. Uang disimpan di bank atas nama dinas kesehatan dan hanya bisa digunakan untuk Askeskin.

Selanjutnya, 15 persen dana Askeskin disimpan oleh pemerintah pusat dan 15 persen lain dibagikan ke provinsi. Sisanya, lima persen, digunakan untuk membayar jasa verifikasi.

Setelah klaim rumah sakit diverifikasi oleh verifikator, dinas kesehatan membuat surat perintah kepada bank untuk membayar ke rumah sakit bersangkutan. Dengan demikian, pembayaran klaim bisa cepat. "Verifikator tidak harus PT Askes, tetapi bisa juga Jamsostek atau badan jaminan kesehatan daerah," kata Ali Ghufron.

Uang yang diserahkan ke pemprov digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan penduduk yang dirawat di rumah sakit rujukan provinsi atau di rumah sakit kabupaten di luar domisili pasien terkait. Adapun uang yang disimpan pemerintah pusat digunakan untuk membayar klaim dari rumah sakit rujukan nasional atau pasien yang dirawat di rumah sakit provinsi lain.

Sementara itu, guru besar ekonomi kesehatan yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany berpendapat, sebaiknya sistem tidak banyak diubah agar pengelola tidak bingung menyesuaikan dengan sistem baru.

Menurut Hasbullah, tersendatnya pembayaran klaim rumah sakit tahun ini karena Askeskin tidak dianggarkan secara memadai. Untuk mencegah masalah pada tahun depan, selain alokasi anggaran harus sesuai dengan jumlah peserta yang dicakup, unit cost (satuan biaya pelayanan kesehatan) perlu dihitung kembali. Hasbullah memperkirakan premi yang memadai sekitar Rp 8.000-Rp 12.000 per orang per bulan, atau setidaknya Rp 5,6 triliun untuk 76,4 juta penduduk miskin. Hal senada dikemukakan Ali Ghufron.

Ali Ghufron dan Orie berpendapat, agar lebih menjaga kesehatan serta peduli terhadap biaya pengobatan, peserta Askeskin perlu berpartisipasi dalam bentuk iur biaya. "Kalau perlu Rp 1.000 per pelayanan," ujar Ali Ghufron. (evy/hln/ynt/ina/atk)

No comments:

Post a Comment