Geger Riyanto
Tahun lalu, sebuah survei global yang dilansir Times Higher Education Supplement atau THES menunjukkan, UI merupakan perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
Survei yang sama menunjukkan, kini peringkat UI terjerembab di bawah UGM dan ITB. UI yang sebelumnya di peringkat 250 di antara universitas-universitas di dunia, tahun ini melorot ke peringkat 395. Bagaimana mungkin hanya berselang setahun reputasi akademik institusi ini merosot?
Rupanya tidak hanya UI. Hasil survei tahun 2005, UI pada peringkat ke-420, UGM ke-341, dan ITB ke-408. Tahun 2006, semua meningkat. UI di peringkat 250, ITB ke-258, dan UGM ke-270. Dan, tahun 2007, tiga universitas itu merosot, UGM ke peringkat 360, ITB ke-369, dan UI ke-395.
Tidak netral
Rupanya, tak hanya di Indonesia. Banyak universitas lain di dunia yang seketika mencuat atau melorot puluhan hingga ratusan peringkat (http://uniranks.unifiedself.com). Hanya sejumlah universitas tersohor, seperti University of Oxford, University of Cambridge, dan Harvard University, yang peringkatnya relatif tetap. Mustahil rasanya kualitas pendidikan pasang naik dan surut semudah tertiup angin. Lalu apa yang salah? Tak lain, kacamatanya.
Dalam penelitian THES, peringkat universitas ditentukan dari empat kriteria.
Pertama, kualitas penelitian yang didapat dengan menyebarkan angket kepada para akademisi (peer review, bobot 40 persen), dan dari seberapa banyak penelitian universitas terkait dikutip (citations per faculty, bobot 20 persen).
Kedua, kesiapan kerja lulusan (graduate employability, bobot 10 persen). Ketiga, jumlah program internasional (bobot 5 persen) dan mahasiswa internasionalnya (bobot 5 persen); Keempat, rasio staf pengajar dan mahasiswanya (bobot 20 persen).
Dalam peer review, para akademisi diminta menyebutkan 30 universitas terbaik di wilayahnya. Masalahnya, peer review mendapat jatah bobot paling besar, sementara respons para akademisi amat riskan akan bias. Bukankah dimungkinkan, responden bersikap tidak netral dan menjawab berdasar sentimen dan kedekatan terhadap institusi tertentu?
Dari survei THES tahun 2007, ada 21 universitas yang mendapat nilai 100 dalam kriteria ini, tetapi tak semuanya layak. Alex Usher dari Educational Policy Institute di AS berpendapat tidak mungkin kualitas McGill University melebihi UPenn, Stanford, Berkeley, University of Tokyo, dan Ecole Normale Superieur (Educational Policy, 9/11/2007). Usher berkomentar blak-blakan karena ia alumnus McGill.
Pihak THES tidak pernah memaparkan teknik penarikan sampel, tetapi sampel dari penelitian itu jelas tidak merepresentasikan pengenyam pendidikan dari wilayah terkait. Dari 190.000 kuesioner yang dikirimkan, hanya 3.703 yang ditanggapi pada penelitian tahun 2006. Dan, jumlah tanggapan dari suatu negara lebih ditentukan dari tingkat kemampuan warganya untuk mengakses internet. Dari 101 negara yang menanggapi, jumlah penanggap paling banyak dari AS dan Inggris, AS 532 responden dan Inggris 378 responden. Namun, di China hanya 76 penanggap. Di Malaysia (112 penanggap), Singapura (92), dan di Indonesia hanya 93.
Alternatif
Para pengamat memandang, penelitian Shanghai Jiao Tong University (SJT) jauh lebih tepercaya ketimbang milik THES. Pemeringkatan SJT ditinjau dari sejumlah indikator, antara lain: Nobel dan penghargaan yang diterima alumni universitas (bobot 10 persen); Nobel dan penghargaan yang diterima staf akademik (20 persen); jumlah staf yang karyanya dikutip (20 persen); jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal (20 persen); jumlah kutipan terhadap karya-karya itu (20 persen); dan jumlah staf pengajar yang bekerja full-time (10 persen).
SJT menggunakan indikator-indikator yang konkret, sehingga hasil penelitiannya dapat lebih diandalkan. Selain itu, hasil pemeringkatan SJT lebih memacu untuk mengembangkan penelitian dan kultur akademik.
Notabene universitas-universitas di Australia menempati peringkat tinggi dalam survei THES—jumlahnya melebihi Jepang, Perancis, Jerman, Belanda dan negara-negara maju lainnya—bukan karena kualitas pendidikan dan penelitiannya, tetapi karena banyak membuka program internasional.
Meskipun selama ini banyak dikritik, THES tak kunjung merevisi metodologinya. Dan, agak miris rasanya, saat mencari di Google, saya menemukan banyak universitas dari berbagai negara yang berbangga diri karena termasuk universitas tersohor dalam versi THES. Publik negeri ini pun sempat dibuat terkesima karenanya.
Dilihat dari dampaknya, penelitian THES cenderung penelitian yang bermakna politis ketimbang akademis. Meskipun sebuah penelitian tidak bisa sepenuhnya akurat dengan kenyataan, tetapi sebuah pakem etika dalam melakukan penelitian mutlak dibutuhkan. Sebab etika akademik menuntut peneliti untuk selalu awas terhadap penelitiannya, terlebih saat hasilnya berpotensi memengaruhi aspirasi publik.
Bila tidak, sebuah penelitian dapat menyebabkan delusi publik. Lihat, ketika Universiti Malaya anjlok dari peringkat ke-89 pada tahun 2004 ke peringkat 169 tahun berikutnya, publik Malay- sia tersentak. Bermunculan editorial yang mensinyalir menurunnya kualitas pendidikan di negeri Jiran, bahkan sempat menjadi wacana dalam Parlemen.
Bagi kita, akan lebih arif jika kita lebih mawas, mengkaji lebih dulu survei semacam ini secara teliti. Dari sanalah kita menentukan, tolakan manakah yang paling tepat untuk memacu kita mengembangkan pendidikan tinggi di negeri ini.
Geger Riyanto Alumnus Sosiologi, Universitas Indonesia