Senin, 11 Februari 2008 | 02:53 WIB
Sapardi Djoko Damono
Dalam pengantarnya untuk antologi Puisi Baru yang disusunnya, Sutan Takdir Alisjahbana atau STA memberi gambaran ringkas perkembangan pemikiran zaman yang melahirkan romantisisme di Barat.
Mengacu ke pembicaraan itu, tegas dinyatakan, ”...perubahan terbesar, yang terjadi di negeri ini dan yang penting untuk memahamkan puisi baru sebagai pancaran masyarakat baru, yaitu perubahan yang disebabkan oleh pertemuan masyarakat kita dengan masyarakat Eropa.”
Ia menjelaskan, serangkaian perubahan terjadi di benua itu sejak abad pertengahan. Pada dasarnya, hakikat perubahan masyarakat agraris menjadi industri pada gilirannya menimbulkan serangkaian perubahan besar di bidang filsafat, agama, seni, ilmu pengetahuan, dan politik.
Usai menjelaskan hubungan kebudayaan kita dan Barat, STA menegaskan, timbulnya puisi yang diberi label baru itu dengan langsung dipengaruhi bahasa dan puisi Eropa, atau yang disebut puisi internasional. Alasan STA sederhana, yakni angkatan muda yang saat itu duduk di sekolah berkenalan dengan anggapan masyarakat Barat tentang bahasa dan puisi, dan hal itu ternyata sesuai dengan jiwa masyarakat kita yang sedang berubah.
Karangan itu adalah pengantar untuk sebuah antologi puisi. Namun, pada dasarnya apa yang disampaikan merupakan inti dari gagasan dasar tentang perubahan kebudayaan. Ia menjadikan Eropa sebagai model yang sudah seharusnya ditiru oleh, atau mau tidak mau akan berpengaruh terhadap, perubahan yang sedang dan akan terjadi atas masyarakat kita.
Berbagai bidang
Berbicara tentang tokoh yang satu ini tentu bisa ke mana-mana sebab perhatian STA tidak hanya pada bidang penulisan kreatif, tetapi juga berbagai bidang pemikiran. Tidak ada bidang humaniora dan ilmu sosial yang tidak disentuhnya. Namun, saya berpandangan, inti gagasannya sebagian besar tersirat dan tersurat dalam pengantar antologi yang disusunnya itu. Antologi itu terbit pertama kali tahun 1946, tetapi gagasan yang tercantum di dalamnya sudah dikandung sejak tahun 1930-an, ketika dengan amat bersemangat—sebagai orang muda—ia menjadi pusat dari sebuah perbantahan yang kini kita kenal sebagai Polemik Kebudayaan.
Ia tidak pernah ragu-ragu menjelaskan dan menempatkan posisi dirinya dalam sejarah perkembangan masyarakat modern, sebut saja masyarakat kapitalis, yang tidak bisa dibendung bahkan harus diupayakan percepatan perkembangannya di negeri ini. Perubahan dari masyarakat agraris menjadi industri dianggapnya sebagai suatu yang tidak bisa dielakkan sebab teknologi yang menunjang industri akan memaksa semua masyarakat bersaing mendapatkan keuntungan materi.
Namun, disiratkan, perjuangan untuk mencapai kekayaan itu juga memberi pengetahuan dan kesadaran baru tentang kemungkinan terjadinya proses saling memengaruhi di antara berbagai kebudayaan yang tidak hanya ada di Eropa, tetapi juga di benua lain yang menjadi ”sasaran” kegiatan perdagangan mereka. Katanya, kegelisahan, perjuangan, dan persaingan yang terjadi akibat timbulnya gagasan industrialisasi itu merambah ke ”politik, agama, seni, ilmu pengetahuan, dan filsafat”.
Pikiran semacam itu, yang menyinggung agama, menimbulkan reaksi yang bisa negatif. Ia dianggap memiliki pemikiran sekuler yang tidak sesuai ”kepribadian” kita. Sebenarnya ia berbicara tentang kebudayaan di Eropa yang Katolik saat menyatakan, karena kegagalan Perang Salib, ”Tuhan terdesak dari dunia dan dari hidup manusia; kepada Tuhan hanya diberi tempat pada permulaan dan akhir dunia dan manusia. Baik buruk keadaan dunia bergantung manusia sendiri.”
Kalimat itu sama sekali tidak terkait individualisme, yang disebutnya dalam beberapa karangan lain. Namun, pada hakikatnya menyiratkan, masalah Tuhan adalah sepenuhnya pribadi. Masa itu disebutnya masa kebangunan: manusia insaf akan tenaga dan kecakapannya.
Segala bidang
Perkembangan sosial-budaya yang dinilai positif itu dianjurkan untuk ditiru bangsa kita. Terkait pelaksanaan gagasan itulah, ia menulis sebuah karangan di majalah Panji Pustaka tahun 1933 yang menyerang balik para pengkritik kebijakan majalah itu. Dalam serangan yang disampaikan oleh pengkritik itu dikatakan, majalah itu diterbitkan oleh pemerintah kolonial karena itu berkiblat ke Barat. Itu sebabnya keindahan tradisi lisan seperti pantun sama sekali disingkirkan sehingga ”anak-anak muda zaman sekarang yang buah tangan dan perasaannya berlumuran darah Barat yang mengejikan dan menjemukan kita sambil menggelengkan kepala karena sampai hati mereka berkepanjangan ’memerkosa’ cara susunan syair dan pantun kita yang dari dahulu, dari ada dan timbulnya suci adanya.”
Penulis itu menjelaskan, cara itu adalah pemerkosaan yang ”sedemikian halus dan tajam (gevoelig)”. Serangan terhadap majalah itu merembet ke kebijakan yang katanya ”memperteguh imperialisme”.
Perbantahan tentang asas kesusastraan itu mewakili gagasan perubahan sosial budaya di zaman itu, yang hingga kini masih terasa, mungkin tidak akan pernah selesai. Atas kritik itu STA menjawab, bentuk-bentuk sastra itu sudah ada jauh sebelum Panji Pustaka. Jika mengikuti pemikiran pengkritik itu, seharusnya kita mempersoalkan pendidikan Barat yang juga diikuti pengkritik itu. Gagasan tentang keharusan berkiblat ke Barat tidak hanya disampaikan dalam tulisan nonfiksi, tetapi juga fiksi, antara lain Layar Terkembang, dengan membiarkan tokoh novel itu menyerang landasan pemikiran Sanusi Pane seperti disiratkan dan disuratkan dalam drama Sandhyakalaning Majapahit, yang dianggapnya melemahkan semangat.
Dengan ”rekan gerombolan”-nya di Pujangga Baru, ia menerapkan gagasan tentang keharusan semangat pembaruan, suatu tendensi yang harus menggarisbawahi tiap karya sastra. Ia menginginkan Faustus, bukan Arjuna; gagasan Sanusi Pane ”mengawinkan” dua tokoh itu ditolak.
Perkembangan bahasa
Dalam rangka ulang tahun ke-16 Pujangga Baru, ia menjelaskan lagi gagasannya yang tumbuh sejak masih muda, bahkan lebih tegas lagi. Tulisan itu sekaligus merupakan jawaban atas berbagai hal yang—meski tampaknya menolak gagasannya—ternyata merupakan kelanjutan pemikirannya. Ia menyerang sikap ’bunglon’ sastrawan dan budayawan yang pada masa sebelum perang tampaknya sejalan pikirannya.
Teman-teman dekatnya, seperti Armijn Pane (yang karyanya diakui STA sebagai tak tertandingi, bahkan oleh sastrawan setelah Kemerdekaan), Sanusi Pane, dan HB Jassin (yang pernah menjadi sekretaris redaksi Pujangga Baru), langsung atau tak langsung dikaitkan sifat ”bunglon” di zaman Jepang, zaman yang menghentikan penerbitan Pujangga Baru.
STA telah mengembara jauh ke Barat. Ia kokoh dalam hal yang satu, tetapi dalam tulisannya di Pujangga Baru tahun 1934 tentang kedudukan bahasa Melayu-Tionghoa dikatakan, ”Saya yakin, bahwa perasaan yang setinggi-tinggi dam semulia-mulia mana sekalipun akan dapat dijelaskan dalam bahasa Melayu-Tionghoa, seperti dalam bahasa mana yang lain sekali pun di dunia ini... Ubahlah sedikit saja ejaannya dan kita akan mendapat daripada bahasa Melayu-Tionghoa ini bahasa Indonesia yang seindah-indahnya mungkin.”
STA memang berjalan jauh ke Barat, tetapi terkait gagasan tentang kenyataan yang ada dalam perkembangan bahasa, kakinya tetap di tanah tempat ia berpijak. Dalam rangka 100 tahun kelahirannya, ada baiknya kita mengenangnya sebagai tokoh seperti itu.
Sapardi Djoko Damono Penyair
No comments:
Post a Comment