Senin, 11 Februari 2008 | 03:24 WIB
OLEH : ALFONS TARYADI
Kata yang paling memukau minat saya saat membaca buku Goenawan Mohamad (GM), Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai (2007), ialah ”tatal”. Serpih-serpih kayu yang habis diserut itu biasanya dibuang, jadi santapan api tungku di dapur, atau dibiarkan membusuk sebagai pupuk tanaman. Baru kali ini barang seremeh itu saya jumpai diangkat dalam sekumpulan esai, yang, seperti bunyi judulnya, bersifat serius.
Dalam prakata buku terbitan Penerbit KataKita ini, GM bertutur bahwa buku ini merupakan ikutan Percikan Permenungan Roestam Effendi (1925). Kata ”percikan” atau ”tatal”, kata GM, bisa dipakai di sini sebab ini bukan sebuah risalah yang utuh. Yang menarik, ”tatal” di sini menjadi sebuah metafor kefanaan.
Takjub
”Saya bayangkan dengan takjub: sebuah masjid yang ditopang oleh yang terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata-bukan sebuah pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan takhta.” Begitu tulis GM pada akhir permenungan 1, yang mengusung legenda tentang Masjid Demak yang tiangnya disusun dari ”tatal” oleh Sunan Kalijaga. Takjub! Ya, buku setebal 166 halaman ini merupakan ungkapan ketakjuban pada kehidupan di dunia ini: keajaiban yang mencuat dari relasi kefanaan dengan keabadian, kematian dengan kehidupan, yang kotor dengan Yang Suci, yang terbatas dengan Yang Tak Terhingga.
Dari refleksi atas pengalaman di dunia, orang sadar bahwa hidup bukan seutas garis dalam peta (11), tak diketahui kapan perjalanan ini usai (13), bahasa adalah sejarah yang penuh cerita sesat, makna yang berkelok dan ambigu, rambu-rambu palsu (55), ”jalan” atau syariat adalah proses, bukan penyelesaian (73), berhala menampik yang tan kasatmata (hal 78), Tuhan tidak mati, tetapi Ia mati sebagai berhala (86).
Sebagai makhluk terbatas, manusia mengalami senggolan dengan Yang Tak Terbatas, Yang Maha Lain. Itulah saat terjadi pewahyuan (12). Namun, wahyu punya makna pada saat-saat tersendiri yang konkret. Saat pemaknaan itu tiap kali sebuah kejadian yang tak bisa diulang. Tuhan berkata bukan dalam klise (13). Begitu pun, gambaran tentang Tuhan, juga kutipan tentang Sabda-Nya, mau tak mau bertolak dari dunia kata- kata yang terikat, meski bergerak untuk menyambut Yang Tak Tepermanai (14).
Begitu pun, bahasa lahir dari konvensi masyarakat, dan karenanya represif terhadap pengalaman-pengalaman unik. Roland Barthes menyebut bahasa sebagai ”fasis”. Jika pengalaman religius bergantung pada alfabet, ia akan menjadi kepercayaan yang akan tampak kuat, teratur, tetapi seperti tentara berseragam: sebuah mesin pertahanan dan agresi (16).
Yang remeh dan yang dahsyat
Tatal bisa menggugah permenungan manusia karena dari tampilannya yang rombang- rambing itu membersit Yang Tak Terhingga. Bagaimana dengan segala yang besar, megah dan hebat?
Hal-hal yang disebut belakangan itu tidak dengan sendirinya mengundang kekaguman berkat kualitas dirinya. ”Selama sejarah berabad-abad,” tulis GM, ”manusia selalu memberikan yang terbaik dan termahal untuk memuja Tuhan. Tapi juga di pucuk Gunung Corcordo Vado,”—di mana tubuh Kristus menjulang 38 meter ke atas —”kita tak tahu apa yang kita rayakan: kebesaran Tuhan, atau kebesaran manusia yang membangun yang dahsyat tentang kebesaran Tuhan.” Pertanyaan ini dikomentari sendiri oleh penulisnya: ”Mungkin karena saya hidup di zaman ketika kesalehan tampak di mana-mana tapi bersama itu juga berkerumuk kekuasaan manusia…” (94).
Adalah kekuasaan yang membuat peradaban menggandeng kebiadaban, bahkan seperti tulis GM, ”tiap kisah peradaban sekaligus kisah kebiadaban” (69). Seperti disaksikan oleh penyair Pablo Neruda, dari sisa-sisa kejayaan Machu-Pichu, batu-batu yang bagaikan mawar yang kekal itu dibangun dan ditopang oleh begitu banyak kematian. Peradaban dan pembinasaan tak pernah terpisahkan. Seperti disaksikan dan dituturkan oleh Walter Benyamin, bangsa-bangsa dibuat rapi dengan menegakkan tembok dan menyiapkan kamp konsentrasi (53).
Akan tetapi, kebiadaban tidak selalu muncrat dari intensi jahat. Terkadang ia bersumberkan niat suci, seperti niat untuk bergegas meraih keabadian. Ini terjadi di zaman ketika, seperti kata GM, manusia menampilkan subyektivitasnya dari dalam kedahsyatan, siap setia sampai hancur dalam kedahsyatan. Gambaran ini mengacu pada Peristiwa 11 September 2001, ketika sejumlah orang ”dengan yakin membunuh diri dan menghabisi hampir 3.000 manusia dengan menabrakkan dua pesawat terbang besar ke sepasang gedung jangkung Kota New York” (54).
Mungkin kedahsyatan niat suci semacam itulah yang ditakutkan oleh Nelson Mandela. Saat datang ke Washington Square pada hari kedua setelah World Trade Center hancur, GM melihat pada deretan rangkaian bunga, dan kertas-kertas yang ditulisi, secarik kertas bertuliskan ucapan Nelson Mandela. Kutipan itu berbunyi: ”Ketakutan kita yang terdalam bukanlah karena kita tak memadai. Ketakutan kita yang terdalam adalah kekuatan kita tak tepermanai. Cahaya terang kita, dan bukan kegelapan kita, itulah yang mengerikan kita” (87).
Ini senada dengan ide GM, bahwa ”siapa yang merasa tak bisa tersentuh oleh busuk, serakah, dan sengsara adalah bahaya bagi abad ke-21” (83). Inilah zaman, ketika ide dan kutipan kitab suci berulang kali terjerumus di kelokan (85). Tapi manusia beruntung: teropong dan peta tak pernah menangkap dan menggambarkan segalanya. Ada pantai, ada tepi, juga ambang pintu. Di tiap tepi selalu ada sesuatu yang lain yang menyentuh (97). Ini, tafsir saya, merupakan metafor tentang adanya berbagai kemungkinan, adanya harapan, termasuk harapan akan kejayaan ”tanah air” yang penganggitannya melibatkan nyawa, tubuh, keyakinan awal, dan harapan terakhir (99).
Kebuasan
Perihal kota Yeriko Alkitab berkisah bahwa Yosua bersama pasukannya ”menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang ada di kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda….” Tentang hal ini GM menulis: ”Kebuasan ini tidak dikutuk. Jika ia juga akan disebut ’perang yang adil’ kita tahu kenapa: di saat Yeriko dibinasakan, nilai-nilai adalah sejumlah garis dari Yahweh. Sumber itu dinyatakan tunggal. Di bawah ketertiban-Nya, tak kita temukan cerita tentang bawah sadar yang payau dalam diri pendekar Kitab Suci” (88).
Kiranya, orang Kristiani pun banyak yang sulit memahami keganasan semacam itu. Yang mereka pegang hanya bahwa Kristus datang untuk memperbarui hukum ”mata ganti mata”, ”gigi ganti gigi” dalam Kitab Perjanjian Lama dengan hukum cinta kasih dalam Kitab Perjanjian Baru.
Selain itu, GM bertutur: ”Kita hidup dalam sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib” (84). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, nasib adalah sesuatu yang ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang. Jodoh dan usia, orang bilang, di tangan Tuhan. Di mana lalu kehendak bebas manusia? Ini rupanya misteri yang terkait dengan Yang Maha Lain. Jika kau memahaminya, kata St Agustinus, itu bukan Allah. Dalam istilah GM, ”iman bukanlah memercayai apa yang terang tanpa memercayai apa yang gelap” (21).
Berendah hati
Secara umum, buku, yang diterjemahkan oleh Laksmi Pamoentjak ke dalam bahasa Inggris, ini merupakan tatal permenungan yang mencerahkan. Salah satu contoh ialah permenungan 73. Di situ Ito, penafsir ajaran Konghucu dari abad ke-17, menyatakan bahwa kebajikan tak lahir dari jiwa yang serba cukup, melainkan dalam persentuhan dengan orang lain. Kebajikan bukan soal mudah. Jiwa tak bisa sepenuhnya mengatur badan. Maka berendah hati bukan sebuah pedoman normatif, tetapi keharusan dalam perjumpaan antara masing-masing diri yang tak memadai.
Di mana tempat yang pas buat berkomunikasi? Kafka, novelis Cheska, yang karya-karyanya meramalkan datangnya totalitarianisme dan alineasi, dalam sebuah dialog pendek menyebut digalinya liang Babel. Kenapa? Karena pos di atas dirasa terlalu tinggi. ”Liang” dan bukan ”menara”, menurut GM, adalah kiasan untuk sesuatu yang rapat ke bumi, seperti kubur, lorong yang akrab dengan mereka yang tercampak. Di sinilah, bukan di ketinggian saja, di langit, komunikasi berlangsung sebagai empati, bahkan di antara sesama yang berbeda sejarah. ”Di sini,” tulisnya, ”bahasa adalah sesuatu yang tak selesai, dan sebab itu terbuka” (66).
Pada akhir permenungan 66, tergelar suatu peristiwa yang amat menggetarkan hati: suatu adegan dalam film Babel karya Alejandro Gonzales. Di sebuah rumah buruk di sebuah kota kecil Meksiko, perempuan tua penghuni rumah itu membelai rambut si wanita Amerika yang luka dan terbujur ketakutan. Ia merawatnya, ia menenangkannya, ia membisikkan Surat Alfatihah di dekat kupingnya, meski wanita tersebut tidak dikenalnya.
Betapa fasih adegan ini dalam mewedarkan cinta kasih mengatasi batas-batas yang biasa membelenggu puak-puak manusia, makhluk yang tak selesai.
(Alfons Taryadi, Pengamat Perbukuan)
No comments:
Post a Comment