Bangsa Indonesia Harus Hargai Budaya
Selasa, 9 September 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Di tengah problem kebangsaan yang hebat, bangsa ini perlu menghargai budayanya sendiri. Kekayaan budaya bangsa secara praktis bisa dijadikan solusi bagi problem bangsa ini. Bahkan, budaya yang mengakar kuat dalam diri bangsa ini, di tangan yang benar, akan memakmurkan bangsa.
Demikian, antara lain, isi dialog Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir di Jakarta, Minggu (7/9). ”Budaya kita bisa menjadi kekayaan arah pembangunan diri sebagai manusia Indonesia,” ujar Soetrisno.
Menurut Soetrisno, seluruh komponen bangsa perlu mencari solusi bagi jawaban atas persoalan bangsa jangka menengah, pendek, dan panjang. ”Kita harus bisa menyampaikan wacana baru untuk membangun peradaban baru bangsa Indonesia ini agar bangsa ini semakin kuat,” ujarnya.
Apalagi, menurut Soetrisno, bangsa ini sudah memiliki modal cukup besar untuk bisa mewujudkan kemakmuran rakyatnya. Bangsa ini memiliki kekayaan alam, sumber daya manusia yang besar, tetapi memang belum menjadi bangsa yang beruntung.
Perkuat persatuan
Abdurrahman Wahid mengingatkan, perkembangan masyarakat Eropa pun tidak melupakan dasar filosofi Yunani yang menjadi tempat lahir ideologi besar.
”Hidup berdasarkan rasio, yang kemudian memberikan penghargaan kepada kemanusiaan secara umum,” ujar Gus Dur.
Menurut dia, setelah ideologi dan nasionalisme habis, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bingung. Padahal, bangsa Indonesia memiliki budaya yang menjadi modal untuk memperkuat persatuan dan dasar untuk kemajuan.
Tentang kepemimpinan nasional, Gus Dur mengatakan, undang-undang saat ini mengharuskan presiden dicalonkan melalui partai politik. Itu sebabnya ia masih berada di PKB, yang menjadi partainya satu-satunya.
”Banyak yang mengatakan kepada saya bahwa PKB terlalu kecil buat saya, tetapi PKB merupakan partai saya,” ujarnya.
Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan PAN Sayuti Asyathri mengatakan, kemanusiaan Indonesia memang tinggi, tetapi tidak disertai elaborasi keilmuannya sehingga tidak punya pertanggungjawaban struktural dalam penerapannya.
”Malah berbalik menjadi terkenal sebagai bangsa yang memproduksi kekerasan, akibatnya terjadi ayunan balik, dikenal sebagai bangsa yang memproduksi kekerasan,” ujarnya.
Sudah saatnya penghargaan terhadap kemanusiaan diikuti penghargaan atas filsafat yang bisa dipakai sebagai alat untuk mengharumkan kemanusiaan.
”Kita punya modal untuk itu,” ujarnya. (MAM)
No comments:
Post a Comment