Mulyanto
Kasus blue energy, energi alternatif berbasis air, sempat menghebohkan kita beberapa waktu lalu. Kini, kita dihebohkan kontroversi padi Super Toy HL-2.
Blue Energy dikembangkan Joko Suprapto, yang difasilitasi Heru Lelono, Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun padi Super Toy HL-2, benih unggul yang didaku dapat panen tiga kali tanpa menebar benih dengan produktivitas lebih dari 20 ton per hektar. Padi yang dikembangkan Tuyung Supriyadi bersama Heru Lelono, yang pada panen perdana dihadiri Yudhoyono dan para menteri itu, kini menuai kritik.
Ratusan petani Desa Grabag, Purworejo, pada panen kedua di areal sawah seluas 96,2 ha mengamuk karena padi Super Toy HL-2 itu kopong (Kompas, 7/9/ 2008). Wakil Presiden Jusuf Kalla berkomentar, pengusaha yang terlibat harus bertanggung jawab. Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok meminta Heru Lelono mundur sebagai anggota Staf Khusus Presiden.
Sebenarnya, pro-kontra atas suatu temuan ilmiah atau teknologi adalah hal lumrah. Tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi kita memiliki aturan main, bagaimana suatu ide kreatif inovatif muncul, masuk wacana ilmiah, lalu bergerak dalam skala pilot untuk uji coba tekno-ekonomi, sampai diproduksi massal sebagai barang ekonomi yang memiliki nilai tambah dan daya saing. Namun, dalam kasus padi Super Toy HL-2, blue energy, juga Nutrisi Saputra—semua terkait produk tim Riset Cikeas dan Heru Lelono—ini agak unik.
Keterlibatan Istana
Ada beberapa faktor yang membuat isu ini berdaya tarik politis. Pertama, kesan adanya keterlibatan Istana. Dalam kasus Super Toy HL-2, selain pengembangannya difasilitasi Heru Lelono, panen perdana padi ini diekspos dan dihadiri Presiden serta para menteri. Dalam kasus blue energy, Heru Lelono memperkenalkan penemu awal kepada Presiden. Ketua tim pengembang adalah Staf Khusus Presiden. Menurut rencana, lokasi pabrik blue energy ada di dekat Cikeas, kediaman pribadi Presiden, di atas lahan seluas 10 hektar di bawah kontrol Tim Riset Cikeas dengan nama Center for Food, Energy, and Water Studies (CFEWS).
Istana terkesan mendukung dan memfasilitasi kemunculan konsep ini kepada publik dalam International Conference on Climate Change di Bali lalu, maupun pertemuan dengan pakar energi, yang akhirnya urung.
Kasus Nutrisi Saputra juga serupa. Penemu dapat berpresentasi di Sidang Kabinet sehingga terkesan Istana memberi restu. Akibatnya, Nutrisi Saputra cepat beredar di masyarakat.
Kedua, pemberitaan yang bombastis, harapan yang menggunung, sementara prosedur pengujian teknis-ilmiah belum sempurna dijalani. Simak pemberitaan tentang padi Super Toy HL-2, blue energy, dan Nutrisi Saputra. Apalagi, akhir bidikan produk adalah masyarakat. Bagaimana tidak heboh jika ada pupuk yang dapat menyuburkan tanaman dan meningkatkan produktivitas secara menakjubkan. Itulah yang dipromosikan dengan Nutrisi Saputra.
Begitu pula benih unggul Super Toy HL-2. Benih ini dipromosikan dapat panen tiga kali tanpa menebar benih lagi dengan produktivitas lebih dari 20 ton/ha. Padahal, di Jawa, rata-rata produktivitas padi 5-6 ton/ha.
Adapun temuan blue energy muncul di tengah harga BBM dunia yang meroket, dengan bahan dasar air yang di sini amat berlimpah. Isu-isu ini menjadi spektakuler, sensasional, dan mengundang histeria publik.
Padahal, pengujian produk, termasuk scale-up ekonominya masih berproses dan perlu waktu. Kita belum mendengar Super Toy HL-2 secara intensif diuji untuk mendapat sertifikat pelepasan varietas, apalagi didaftar untuk perlindungan varietas tanaman. Juga dengan blue energy apakah sudah diuji di UPT LTMP-BPPT Puspiptek Serpong secara sistematis dan akurat? Nutrisi Saputra saat diuji Balitbang Departemen Pertanian, ternyata tidak ditemui keunggulan apa pun. Bahkan, dalam jangka panjang pupuk kontroversial ini dapat mengeraskan dan merusak tanah. Bisa dibayangkan bagaimana kecewa dan menderitanya petani jika harus tertipu oleh kepalsuan teknologi ini.
Sebaiknya Tim Riset Cikeas tidak perlu banyak publikasi. Lakukan riset intensif dengan melibatkan lembaga riset pemerintah agar lebih meyakinkan. Tidak perlu terburu-buru melibatkan Yudhoyono atau membawanya ke Sidang Kabinet. Jika secara ilmiah-teknis sudah terbukti, dilakukan promosi dan aksi ekonomi. Dengan pola yang ada, wajar jika muncul kontroversi, menjadi sasaran tembak politisi, dan tuduhan bisnis KKN. Apalagi ada Ciputra di balik Nutrisi Saputra atau PT Sarana Harapan Indogrup dibalik blue energy dan padi Super Toy HL-2.
Pelanggaran
Faktor ketiga, pelanggaran. Ini yang disesalkan karena mencoreng Yudhoyono. Kasus Nutrisi Saputra, misalnya, pupuk ini telah menyebar di Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan lainnya. Padahal, produk itu belum mendapat izin dari lembaga berwenang. Untung pemerintah cepat bertindak sehingga dapat ditarik dari peredaran. Padahal, beberapa DPRD akan menganggarkan pengadaan pupuk ini dalam APBD mereka.
Pertanyaannya, bolehkah Yudhoyono memiliki tim riset seperti CFEWS ini?
Status organisasi dan anggarannya bersifat swasta. Lalu apa yang dilanggar?
Tim ini sebenarnya memiliki tujuan mulia, mencari terobosan inovatif, solusi praktis atas masalah dasar yang dihadapi bangsa, seperti pangan, energi, dan air. Tetapi, karena implementasinya merembet ke fasilitas negara dan istana, secara publik terkesan negatif. Belum lagi tokoh yang muncul secara ilmiah-teknis tidak sebanding dengan mendasarnya masalah yang dihadapi, sehingga terkesan irasional, klenik, nirilmiah.
Seandainya ”menjadi” Heru Lelono, sejak awal saya berkantor dekat LIPI atau BPPT, berkoordinasi dengan dua lembaga iptek nasional. Menyeleksi berbagai inovasi dari masyarakat dan mengujinya dengan teliti. Jika sudah terbukti secara ilmiah teknis, lalu ditingkatkan untuk skala ekonomi sehingga tidak ”masuk angin”. Siapa tahu dari sekian banyak inovasi masyarakat, satu-dua ada yang berkualitas untuk diteruskan ke tingkat aplikasi guna menyelesaikan aneka masalah bangsa. Kalau seperti ini terus, jangan salahkan publik kalau Tim Riset Cikeas terus menuai kontroversi.
Mulyanto Peneliti di Institute for Science and Technology Studies (Istecs); Penulis Buku ”Iptek Nasional Pasca Habibie”
No comments:
Post a Comment