Evy Rachmawati
Terik matahari terasa menyengat. Sejumlah warga tampak memasuki halaman Puskesmas Sanathal, Blok Sanand, Distrik Ahmedabad, Gujarat, India. Di atas bangku panjang, sejumlah perempuan yang mengenakan kain sari duduk menanti giliran diperiksa. Sebagian dari mereka tengah hamil.
Satu per satu mereka ditangani oleh dokter spesialis kandungan dan kebidanan atau ginekolog. Mereka juga mendapat suplemen zat besi dan makanan penambah gizi. Semua layanan itu dapat dinikmati masyarakat miskin secara gratis, termasuk biaya persalinan dengan komplikasi yang ditangani tenaga kesehatan terlatih. Mereka malah diberi uang 200 rupee (setara Rp 50.000) oleh pemerintah setempat, 50 rupee di antaranya untuk transpor orang yang mengantar.
Hal itu merupakan bagian dari skema Chiranjeevi Yojana (seseorang hidup panjang umur) yang diluncurkan Pemerintah Gujarat, India, tahun 2005 dengan proyek percontohan di lima distrik. Skema ini untuk melindungi ibu dan bayi dari komplikasi saat melahirkan, mencegah kematian ibu selama kehamilan dan persalinan, serta menghindari kematian bayi baru lahir sampai satu bulan pasca- persalinan.
Sulit mengakses
Di Gujarat, sekitar 25.000 ibu meninggal saat melahirkan dan mayoritas tinggal di daerah terpencil. Setiap 1.000 kelahiran, dua ibu meninggal saat bersalin. Penyebabnya, antara lain, perdarahan dan infeksi. Angka kematian bayi baru lahir juga tinggi. ”Banyak ibu sulit mengakses fasilitas kesehatan saat melahirkan karena tak punya biaya dan terbatasnya sarana transportasi,” kata Chief Minister Pemerintah Gujarat Shri Narendra Modi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Negara Bagian Gujarat meluncurkan skema Chiranjeevi untuk menjamin ibu hamil yang miskin dapat melahirkan dengan aman di klinik bersalin atau rumah sakit rujukan pemerintah. Pelayanan itu termasuk pemeriksaan kehamilan, USG, persalinan, dan la- yanan kesehatan dasar bayi baru lahir.
Layanan ini diberikan di rumah sakit dan klinik swasta yang ikut dalam skema itu. Setiap ginekolog yang ikut dalam skema ini menandatangani perjanjian dengan Kepala Distrik Bidang Kesehatan untuk menangani persalinan minimal 100 pasien miskin. Kepada para dokter spesialis kandungan dan kebidanan itu, pemerintah membayar 1.795 rupee (setara Rp 500.000) per kelahiran. Dalam waktu kurang dari dua tahun, jumlah ginekolog meningkat drastis dari 7 orang di daerah terpencil menjadi 868 dokter spesialis.
Di lima distrik yang menjadi proyek percontohan, sampai September 2006 tercatat 26.969 perempuan yang mendapat layanan dari skema itu. ”Dengan peningkatan akses dan kualitas layanan persalinan, angka kematian ibu (AKI) dan bayi baru lahir turun drastis. Dari perkiraan AKI 101 jiwa, setelah skema itu dijalankan hanya tercatat angka kematian ibu dua orang,” kata Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Pemerintah Gujarat Rita Teaotia.
Keberhasilan itu membuat skema tersebut dikembangkan dari 5 distrik menjadi 25 distrik di Negara Bagian Gujarat pada akhir September 2008. Data terakhir menunjukkan, 235.289 persalinan di bawah skema Chiranjeevi. Dari total jumlah itu, 205.922 adalah persalinan normal, 14.535 dengan operasi cesar (6,18 persen), persalinan dengan komplikasi 14.832 (6,30 persen). Adapun keterlibatan dokter spesialis sebesar 868 per 2.000 persalinan.
Skema Chiranjeevi juga menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan perempuan lainnya di antaranya pencegahan penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual, pap smear untuk mencegah kanker serviks, dan pelayanan kontrasepsi. Atas terobosan itu, pada tahun 2006 Wall Street Journal menganugerahkan Penghargaan Inovasi Asia kepada Pemerintah Gujarat, India.
Adapun pemerintah pusat India memberi dukungan dana nutrisi 500 rupee dan uang transpor ke fasilitas kesehatan 200 rupee untuk setiap ibu. Dengan skema Chiranjeevi dan sejumlah program inovatif lain, angka kematian ibu melahirkan turun drastis. Dari perkiraan angka kematian 941 ibu melahirkan, ternyata angka kematian yang dilaporkan di bawah skema Chiranjeevi hanya 46 jiwa. Ini berarti 895 jiwa ibu berhasil diselamatkan.
Angka kematian bayi baru lahir juga turun drastis. Dari perkiraan angka kematian 8.941 jiwa, ternyata jumlah bayi baru lahir yang meninggal 987 bayi. ”Ini membuktikan kerja sama pemerintah dan dokter spesialis memberi peluang pasien miskin di daerah terpencil untuk mendapat pelayanan kesehatan yang bagus,” kata dr Amarjit Singh, Sekretaris Jenderal sekaligus Komisioner Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Pendidikan Kedokteran dan Riset Pemerintah Gujarat.
Inovasi
”Kemitraan pemerintah dan swasta di Gujarat merupakan inovasi bagus untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir dalam mencapai sasaran pembangunan milenium,” kata Direktur Kesehatan Keluarga dan Komunitas WHO Regional Asia Timur dan Selatan (SEARO) Dini Latief, pada pertemuan tingkat tinggi WHO SEARO di Ahmedabad, Gujarat, India.
Sejauh ini, 11 negara anggota WHO SEARO memberi kontribusi populasi 1,7 miliar jiwa atau seperempat dari populasi dunia yang berjumlah 6,6 miliar penduduk. Dari 536.000 kasus kematian ibu di dunia tahun 2005, hampir 32 persen atau 170.000 di antaranya ada di kawasan tersebut. Secara global ada 9,7 juta kasus kematian anak balita pada tahun 2006 dan 28 persen di antaranya di Asia Timur dan Selatan.
Prof K R Nayar dari Universitas Jawaharlal Nehru, India, memaparkan, ada perbedaan nyata angka kematian ibu, bayi baru lahir, dan anak balita di negara maju dan berkembang. Contohnya, angka kesakitan tuberkulosis di India 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Untuk itu, kemitraan pemerintah dan swasta sebagaimana dilakukan di Gujarat merupakan salah satu jalan mempercepat peningkatan derajat kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak balita.
Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Suryono Santoso optimistis berbagai inovasi dalam pemeliharaan kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak balita juga bisa dilakukan di Indonesia.
No comments:
Post a Comment