Tuesday, June 26, 2007

Etika Global
Individualitas Barat vs Komunalitas Timur

Pengantar
Marina Silvia Kesumastuti, mahasiswa Teknik Industri ITB mewakili Indonesia pada ajang The International Student Festival in Trondheim (ISFiT) di Norwegia, antara tanggal 16-25 Februari 2007. ISFiT merupakan festival pelajar/mahasiswa terbesar di dunia yang membahas berbagai tema, umumnya mengangkat masalah sosial dan politik global. Festival tersebut diikuti lebih dari 400 pelajar/mahasiswa berbagai negara. Untuk festival kali ini mengangkat tema ”Global Boundaries” (Batas-batas Global). Berikut ini beberapa tulisan yang dibuat Marina S.K. untuk ”PR”.
Redaksi

PARA pelajar yang mengikuti workshop pada ajang International Student Festival in Trondheim (ISFiT), Norwegia sibuk berdiskusi. Sebanyak 26 pelajar yang berasal dari lima benua, yaitu dari negara Belgia, Kanada, Rumania, Afrika Selatan, Bahrain, Indonesia, Tunisia, Brasil, Spanyol, Georgia, Uzbekistan, Austria, Inggris, Cina, Singapura, Turki, Italia, Rusia, dan Serbia, kini diharuskan bertukar pendapat tentang budaya masing-masing negaranya berkaitan dengan agama.

Budaya yang dimaksud kini adalah etika berpakaian dan partnership. Para pelajar mengungkapkan cara berpakaian religius di negara-negaranya. Pelajar dari Cina menjelaskan pakaian biksu-biksu Buddha, dan pelajar dari Kanada menjelaskan cara berpakaian pendeta.

Pelajar Kanada sempat mengutarakan pemahamannya tentang jilbab. Jilbab adalah bagian dari budaya patriarkal yang membuat para istri menjadi ’kepemilikan’ pria, dan semacam tekanan pada kaum wanita, karena belum tentu wanita yang bersangkutan menghendakinya.

”Tidak selalu seperti itu,” ungkap penulis, ”menutup fisik kurang lebih keinginan kita-kita juga.” Seperti yang pernah tertera dalam slogan ISFiT berkaitan dengan gender: Manakah yang sebetulnya lebih teropresi, wanita dengan rok mini ala cheerleader atau wanita dengan burqa (busana yang menutup seluruh tubuh, kecuali wajah yang bisa melihat dari balik cadar-red.)?

”Banyak wanita Muslim yang saya temui mengatakan bahwa mereka lebih nyaman menutup tubuh. Karena ketika berhadapan dengan pria, mereka merasa menjadi ’manusia’ yang didengar pikiran dan ide-idenya, daripada menjadi objek penglihatan yang dapat dilihat dari atas hingga bawah,” kata penulis.

”Saya tahu apa maksudmu tentang melihat wanita lebih pada fisiknya,” balas pelajar Kanada yang disertai tawa dalam ruang itu.

Muncul pertanyaan-pertanyaan berikutnya, seperti apakah bentuk penutup yang sebaiknya? Mengapa harus seperti jilbab di Arab? Bahkan mengapa pula harus ada penutup kepala, jika contohnya seorang reporter CNN yang cukup berpakaian tertutup pun sudah cukup ”dianggap”?

Diskusi beralih ke masalah partnership. Antusiasme beredar di seputar hukum Islam tentang pernikahan. Di beberapa negara Islam, seperti Turki dan Tunisia, pernikahan antaragama dibolehkan oleh negara, tetapi tidak di negara-negara Islam lain, seperti Bahrain dan Indonesia (yang sebetulnya bukan negara Islam).

Pelajar dari Bahrain kemudian menjelaskan bahwa seorang wanita Islam harus dinikahkan dengan pria Islam. Karena pria adalah kepala keluarga sehingga ia diharapkan dapat mewariskan pengetahuan agamanya kepada istrinya. Akan tetapi, kemudian pelajar-pelajar dari Eropa menantang, bahwa di negara mereka, rumah tangga tidak dikepalai suami ataupun istri, tapi keduanya. Bagaimana hukum yang bersangkutan masih relevan? Apalagi dengan persamaan gender yang kini makin merebak di seluruh dunia. Pria tidak lagi menjadi sumber pengetahuan karena wanita sekarang memiliki derajat pengetahuan sejajar, termasuk pengetahuan agama. Dialog terus berlanjut. Kami semua saling cerita akan tradisi agama di negara masing-masing. Semua berusaha mendengarkan dan memahami walaupun tidak selalu setuju oleh tradisi yang berbeda-beda tersebut.

Etika globalisasi

Tidak lama kemudian, diskusi terhenti oleh kuliah yang diberikan oleh seorang dosen filsafat The Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Prof. Bjorn Myskja, berjudul ”Religion and Universal Ethics”.

Ia memulai kuliah dengan satu slide bergambar simbol-simbol agama dunia. ”Agama adalah salah satu sumber etika dan moralitas dunia ini, yang bagi jutaan pengikutnya merupakan sumber etika yang terkuat dalam hidupnya. Masing-masing agama tersebut berbeda secara signifikan, seperti yang kita tahu,” paparnya.

Profesor Bjorn melanjutkan tampilan slidenya ke sebuah peristiwa yang sangat familier bagi banyak orang, dua pesawat menabrak gedung WTC di New York, AS. ”Nah.. kini, semua tradisi tersebut, termasuk non-tradisi (ateisme) yang banyak dianut Barat, terpaksa bersinggungan satu sama lain, sebagai efek globalisasi. Eropa dan Amerika menghadapi sebuah ’masalah’, arus imigrasi yang membeludak dari negara-negara dunia ketiga, yang masing-masing membawa tradisi dan budaya lokalnya. Semua etika dan moralitas yang berbeda secara signifikan tadi, suka tidak suka harus hidup bersama kini,” katanya lagi.

Hidup bersama pun tidak selalu harmonis. Samuel P. Huntington pada tahun 1993 melempar sebuah istilah ”clash of civilization”, yang menurut dia akan mendominasi layar globalisasi, seperti peristiwa WTC tadi. Walaupun banyak kritik dan revisi terhadap teorinya itu, persentuhan budaya yang dimaksudnya terus kita rasakan setiap hari. ”Yang paling sering terdengar,” lanjut Prof. Bjorn, ”Adalah individualitas Barat versus komunalitas Timur.” Di berbagai daerah, konflik pun masih sering didasari oleh prinsip budaya atau agama.

”Maka,” lanjut Prof. Bjorn, ”bagaimana caranya kita dapat hidup bersama dengan semua perbedaan etika dan moralitas itu?” Ia pun kemudian menampilkan sebuah slide, ”Relativisme?”

Para relativis menyatakan, kita tidak dapat menyalahkan atau membenarkan sebuah budaya karena kita semua berasal dari budaya dan agama yang berbeda-beda. Semuanya itu relatif. Wirch (1964) menyatakan, budaya itu seperti sebuah game. Kebenaran tergantung oleh aturan-aturan internal game itu sendiri. ”Kita tidak memiliki posisi yang independen dan netral dari mana kita dapat mengevaluasi dan menghakimi budaya lain sebagai benar atau salah.” Di luar penilaian semacam ’temperatur hari ini adalah 2�C’, tidak ada penilaian yang dapat dibenarkan secara universal.

Masalah yang muncul dengan penerapan filsafat semacam ini, jelas Prof. Bjorn, adalah kecenderungan untuk tidak menganggap serius budaya lain. ”Wajar saja anak kecil berlaku seperti itu, namanya juga anak kecil.” Sehingga menjadi potensi konflik selanjutnya.

Bagaimanapun, sebuah masyarakat yang multikultural membutuhkan satu standar moral. Kita tidak dapat lagi berbicara mengenai bangsa Jerman yang hidup terpisah dengan bangsa Turki, sehingga nilai-nilai budaya Turki dapat dibiarkan terpisah dari nilai-nilai budaya Jerman. Menyatakan standar moral ”netral”, artinya menerima praktik-praktik yang kontroversial dari satu pihak. Misalnya, masyarakat Inggris harus menerima praktik arranged marriage dari sebuah keluarga India, walaupun anak yang bersangkutan tidak menyetujuinya. Di lain pihak, jika masyarakat Inggris memaksakan HAM kepada seluruh keluarga di Inggris, yang dengan kata lain melarang praktik arranged-marriage, maka keluarga India tadi akan merasa budayanya terjajah di sana.

Oleh karena itu, menurut Profesor Bjorn, disarankan sebuah alternatif lain: menemukan titik temu dari budaya-budaya tersebut. ”Titik temu itu harus ditemukan, tidak bisa ada nilai sendiri-sendiri karena ia akan diimplementasikan pada keseluruhan.”

Permasalahannya kini, bagaimana mendefinisikan titik temu tersebut? Bagaimana membuat seluruh lapisan dan budaya setuju akan sebuah standar moral bersama?

Satu alternatif yang memungkinkan, adalah bahwa standar moral tersebut harus merupakan minimum core, sesuatu yang dapat ditemukan pada semua budaya yang bersangkutan. Contohnya, prinsip keadilan berdasarkan treat cases as like (individu mendapatkan apa yang telah dikerjakannya, bukan berdasarkan identitas inheren tertentu). Alternatif lain yang mungkin adalah deklarasi hak asasi manusia, tetapi seringkali hak asasi manusia juga dinilai sebagai produk Barat yang mengancam budaya-budaya Timur. Prof. Bjorn menyatakan, bahwa hak asasi manusia bagaimanapun tetap harus diutamakan karena paling menguntungkan bagi semua. Akan tetapi, ia tidak menutup kemungkinan adanya adaptasi terhadap budaya-budaya Timur demi mencapai sebuah titik temu. Individualitas Barat harus mulai memikirkan reconnection dengan nilai-nilai sosial dasar masyarakat. Begitu pula budaya Timur pun harus mulai membuka diri pada hak-hak individu.

Permainan pertama

Itu adalah teori-teori etika yang idealnya muncul dalam arena globalisasi. Kini permasalahannya adalah, mungkinkah itu benar-benar terjadi? Dapatkah seluruh dunia benar-benar mencapai persetujuan akan suatu tatanan nilai bersama?

Diadakan eksperimen untuk melihat kemungkinan itu. Eksperimen pertama, kami dibagi menjadi tiga kelompok dan ditunjukkan sebuah daftar sumber etika di layar depan kelas. Tugas kami semua, adalah memilih dari banyak sumber etika (organisasi) tersebut, lima sumber etika yang pantas dijadikan sumber nilai yang akan diimplementasikan di seluruh dunia.

Bermacam-macam sumber etika ada di sana, dari PBB, Greenpeace, hingga kitab-kitab suci agama. Ketiga kelompok itu pun berdiskusi, masing-masing terdiri dari orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda.

Dari kelompok penulis, tercapai sebuah kesepakatan bahwa lima sumber nilai yang dipilih harus mewakili lima aspek yang paling berpengaruh dalam kehidupan internasional saat ini: ekonomi, politik, hak asasi manusia, lingkungan, dan agama.

Setelah melalui perdebatan, akhirnya diputuskan, untuk bidang ekonomi kami memilih Uni Eropa. Pilihan itu karena kami anggap EU merupakan sistem ekonomi yang paling maju di seluruh dunia saat ini, sehingga kami berharap sistem serupa dapat menular ke sistem ekonomi area lainnya.

Untuk bidang politik, kami memilih PBB, karena bagaimanapun PBB masih merupakan organisasi politik yang paling mendunia, sehingga dapat mencakup aspirasi banyak bangsa. Untuk bidang hak asasi manusia, kami memilih Amnesti International sebagai organisasi yang mendunia, sehingga dapat menampung aspirasi banyak orang.

Untuk bidang lingkungan, kami memilih Greenpeace, juga untuk alasan yang sama. Untuk bidang agama, kami memilih Red Kristal, karena merupakan sebuah contoh bagaimana dua organisasi yang didasari atas dua ajaran agama: Red Cross (Palang Merah) dan Red Crescent (Bulan Sabit Merah) dapat berasimilasi dan bekerja sama dengan baik, atas nama kemanusiaan.

Kedua kelompok lainnya mempresentasikan pilihan mereka. Kebanyakan organisasi yang dipilih sama: organisasi yang paling dapat mencakup aspirasi banyak orang dari seluruh dunia dalam kelima aspek yang paling berpengaruh bagi dunia saat ini. Perbedaan yang sempat muncul adalah, apakah bidang agama seharusnya direpresentasikan atau tidak.

Satu kelompok memilih mengosongkan sumber etika bagi aspek agama, karena memilih satu sumber etika bagi agama seperti menciptakan ’agama baru’ bagi seluruh dunia. Seorang workshop leader kemudian menambahkan, bahwa telah ada forum yang bukan merupakan organisasi, tapi lebih merupakan ’ruang’ di mana tokoh-tokoh agama dapat berkumpul dan berdialog: World Religion Kongres, yang disambut baik oleh semua anggota workshop.

Permainan kedua

Kami dibagi menjadi empat kelompok dan diminta untuk menjatuhkan hukuman sebagai juri kepada seorang penjahat perang internasional. Kasusnya, secara singkat adalah pembantaian kepada 8.000 orang beretnis sama (genocide). Setelah melalui berbagai perdebatan dalam kelompok masing-masing, keempat kelompok secara serempak menyatakan bahwa hukuman yang akan dijatuhi adalah penjara seumur hidup, bukan hukuman mati, walaupun sebelumnya beberapa orang lebih menyetujui hukuman mati. Persetujuan dicapai setelah mempertimbangkan bahwa hukuman mati sebetulnya tidak menyelesaikan apa pun (tidak pernah ada bukti bahwa tingkat kejahatan menurun jika hukuman mati diberlakukan dalam sebuah negara), dan bahwa seorang penjahat jika tetap hidup dapat lebih dijadikan pelajaran bagi dunia luar daripada jika dia mati.

Perbedaan kemudian lebih mengenai bagaimana perlakuan yang akan dilalui dalam penjara. Isolasi total, pemberian pekerjaan, atau kewajiban kompensasi bagi keluarga yang ditinggalkan 8.000 orang korban tadi?

Empat kelompok lagi-lagi diminta untuk memilih kalimat yang dapat dijadikan pernyataan nilai yang dapat diberlakukan di seluruh dunia. Protes terdengar ketika kami melihat daftar statement yang tersedia, ”Kalimat-kalimatnya terdengar sama semua!”

Di akhir eksperimen, kalimat-kalimat yang dipilih keempat kelompok relatif berbeda, walaupun terdapat beberapa kalimat yang paling banyak dipilih: right to marriage (termasuk lintas ras, bangsa, dan agama), right to freedom of speech, dan ”cintailah tetanggamu sebagaimana kamu mencintai diri sendiri.”

Para leader meminta kami untuk menebak asal kalimat-kalimat itu. Para pelajar dalam workshop ”Religion in A Changing World” itu pun kemudian sedikit terkesima, menyadari kalimat-kalimat yang terdengar sama semua itu, berasal dari lima sumber yang ’berbeda’: deklarasi hak asasi manusia, Injil, Taurat, Quran, Upanishad, dan Sutra Buddha. (Marina Silvia K.)***

No comments:

Post a Comment