Thursday, June 28, 2007

Seni Rupa
"Sumeleh" dan "Gojekan" di Waktu Berlalu

Radhar Panca Dahana


Ini pengalaman kecil yang tersimpan dalam bayang, menguntit sepanjang kenang. Sebuah kontrakan sederhana di Cilandak, Jakarta Selatan. Seorang bocah es em pe, aku, dan lima orang seniman: tiga pelukis, satu pengarang, satu teaterawan.

Semua tertidur, malam gulita. Sekonyong seseorang berteriak, "Maling!" Semua manusia, yang kurus, gondrong, kucel, dan bermata riang itu, melompat, keluar dari kontrakan sederhana, hanya dengan satu ambin itu.

Tidak penting maling itu tertangkap atau tidak kemudian. Yang tertangkap sebenarnya adalah aku. Seorang pelarian dari rumah pensiunan kepala sekolah Taman Siswa yang menjadi pegawai negeri, kini berada dalam lingkaran seniman urban yang melihat Jakarta tumbuh seperti lahan ladang baru bagi padi yang mereka semai di tempat lahirnya semula.

Sebagai cecunguk yang dibidani dan disemai Jakarta, aku mendapatkan sebuah dunia yang sesungguhnya asing di antara mereka: seniman-seniman yang kala itu menggabungkan dirinya dalam Komunitas Garajas (akronim: Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, Bulungan).

Bersama mereka aku mengenali banyak hal yang tidak bakal kudapat dalam keluarga, juga dalam kesempatan hidup lainnya. Bagaimana dunia lokal yang begitu jauh dan terasa mati dalam tubuhku menjadi kecambah dalam alam intelektual, spiritual, bahkan penghayatan tubuhku.

Dan, begitulah Garajas yang kuketahui sejak mula. Sebuah dunia jauh yang datang untuk mengakrabi kota, urban, Jakarta, dengan kewajaran, pikiran sederhana, dan tubuh yang rileks. Jakarta bahkan menjadi permainan, menjadi game, bahkan lawakan segar di tengah impitan keras hidup mereka.

Sementara aku, yang meninggalkan rumah dengan sejumlah ide-ide "besar" yang menghuni kepalaku lewat berbagai buku, begitu tegang menghadapi semua. Alhasil, setiap hari, setiap waktu, kegiatanku hanya marah, marah dan marah. Kepada siapa saja, terutama "mereka" yang lebih tua, "orang tua". Dan, sahabat-sahabat Garajas hanya tersenyum, tertawa, nggojeki, saat aku merasa "mengalahkan" mereka dalam debat.

"Kamu tuma buku, textbook thinking," Komentar Muchlis. "Tingking trisna jalaran saka kulina," sambung Adri Darmaji Woko dalam plesetan.

Di gerbong belakang

Menjelang 19 tahun, aku tahu "kulina" itu. Aku tak memilikinya. Aku harus mengalaminya. Mengalaminya dengan rileks dan rendah hati, dengan gojekan dan komedi. Memahami hidup bukan hanya dalam pemaknaan rasional dan leksikal, tetapi juga dengan penghayatan fisikal dan spiritual. Tak perlu berlebihan. Apa yang kau miliki dan daya gunakan, itulah dasar apa yang akan kau dapatkan.

Dengan itu aku memahami karya-karya mereka. Termasuk para pelukisnya, yang mengisi sebagian besar keanggotaan dari Garajas, satu di antara komunitas awal di Bulungan. Hampir semua memiliki gaya dan bentuk kreatifnya sendiri, yang dapat dikatakan "klasik".

Bentuk-bentuk ilustratif, figuratif, realis, naturalis, atau simbolis beberapa menjadi panorama utama. Mungkin disebabkan kebutuhan awal mereka untuk mengisi kolom-kolom ilustrasi di berbagai media, sebagai modus pemenuhan ekonomi.

Dan, mereka merasa enyak, gembira, bahkan aktual dengan itu. Tidak ada pretensi berlebih yang melampaui bekal tradisi mereka sendiri: semeleh! Karena itu, ketika dunia lukis dan rupa berkembang pesat pada tahun dan dekade sesudahnya, para pelukis itu pun seperti penumpang yang tidak pernah kebagian bangku di kelas bisnis, apalagi eksekutif. Namun, sungguh, mereka tidak keberatan di gerbong belakang, ekonomi, main gaple, beli nasi bungkus, kopi tubruk atau teh poci dan segalau dua galau gojekan lama.

Ketika 2007 ini, entah lantaran badai atau kemajuan adab yang mana, sekonyong gerbong belakang itu hendak maju ke muka, delapan pelukis Garajas memaklumatkan diri dalam sebuah pameran bersama, sepanjang 16-24 Juni, di Galeri Kita, Bandung. Saya merasakan itu bukan sekadar angin yang berembus lembut dari belakang. Akan tetapi, juga daya hidup yang selama ini saya salah mengira luput dari kerumunan tradisi dan klasisisme atau kelokalan mereka.

Tampak dalam sedikit karya Kamso Kholiban, pejuang tangguh, dengan garis yang tekun, sedisiplin ia menghayati obyeknya; dari tokoh pewayangan hingga buah yang ranum dengan seluruh detailnya (Burung dan Bunga). Semua mencipta universum, universum "Jawa" dengan kerumitan teks yang ada di dalamnya.

Beberapa karya Q’bro Pandamprana, lelaki penuh santun dan kerendahhatian, yang tampaknya mencari aksentuasi lebih pada putih ketimbang kelebat hitam yang mencari-cari bentuk (Kalap dan Katanyua Cinta), seperti sebuah tradisi yang tak berhenti mencipta ruang dan mengaktualisasi waktu yang ada di dalamnya.

Atau Muchlis Sardjana, bergelut dengan dekorasi yang bermula ilustratif menjadi simbolik (Awas dan Godaan), seperti menyodorkan piring pemahaman yang lebih lapang dari sekadar pemaknaan anatomik. Ada ingatan purba di balik semua yang terlihat kasatmata.

Begitu pun Harisman, yang mencoba menguji publik dan dirinya sendiri: menyerap eksotika tubuh yang kerap membuat kita tak bisa membuat jarak dengannya. Realisme yang dihadirkannya menjadi senyum bidadari (Chinese Girl dan Japanese Girl) yang berusaha mengatakan, "hidup masih terlalu indah untuk bisa kita nikmati". Betapa pun, jebakan keindahan tetap saja menganga ketika ia membuat kita lupa.

Bergaya bianglala

Peringatan-peringatan semacam ini yang terasa di hampir keseluruhan pameran bergaya bianglala ini. Dengan gaya abstraknya, Nobon dan Taufan S Chandranegara melihat ruang kanvas sebagai penegas garis dan warna kegalauannya sendiri: kegalauan yang setia menguntit waktu. Nobon, yang juga insinyur sipil, membangun ruang lewat garis-garisnya yang kuat dan terlatih untuk memberi kita dinamika garis yang kukuh justru dalam dunia yang mengoyak dan tak pasti.

Taufan, senioren Teater Koma, juga tak kenal letih menerbitkan taufan kegelisahan—bahkan bagi dirinya sendiri—dengan eksplorasi tiada henti dari kebasan-kebasan kuat warnanya. Paduan warnanya (Untitled I dan Untitled II) menggiring kita kepada kekuatan hati. Tepatnya, mengingatkan kita kepada kekuatan hati, yang senantiasa bergerak, maju, segalau apa pun di sekelilingnya.

Dalam arus serupa, dengan bentuk yang lebih surealistik, May Soebiakto serta Indra Kusuma ngelangut dalam suasana jiwa yang lebih kontemplatif. May alias Si Toto seperti menciptakan lubang-lubang yang menenggelamkan di perjalanan batin yang tak selesai (Masih Ada I dan Masih Ada III). Sementara Indra, dalam Perjalanan 1 dan 2 serta Rumah Batu-nya, memberi kita peringatan puncak pada aras kematian yang begitu kuat suasananya bicara: semacam tragik dari kekinian hidup kita saat ini.

Lalu dulu, lalu kini

Semua adalah jejak yang dalam, yang tak hanya membekas saat ini, tetapi juga mem-print out jejak baru; daya hidup yang banyak kita menyangkanya telah menjadi mumi. Bukan. Bukan zombie. Namun, manusia yang selalu teraktualisasi dan berkembang. Berkembang? Tentu saja. Kelokalan dan etnisitas kini tidak lagi bisa dianggap sesuatu yang sudah fixed, bahkan baku, beku, kaku, dan jumud. Ia terus memperbarui diri, menciptakan elastisitas tanpa kelembaman, mengadopsi semua yang datang dalam hidupnya, menjadikannya satu rekreasi yang segar dan berkarakter. Membuat tradisi selalu kontemporer.

Mungkin itu salah satu pesan kuat dari "Pameran Yes" ini. Bentuk dan gaya boleh jadi masih menerbitkan sesuatu yang berdiam lama. Namun, dalam isi serta misi mereka menunjukkan kedalaman sebuah penghayatan terhadap dunia baru, kekinian yang juga mereka alami.

Mereka mendaratkan konteksnya pada persoalan mutakhir. Memperlihatkan kematangan, bukan hanya dalam stroke (sapuan), penciptaan ruang, dan pengolahan warna, tetapi juga sublimasi dari makna benda dan suasana yang coba mereka hadirkan. Maka, dalam "masa lalu" yang hadir tanpa sengaja, dalam kontemplasi yang terhasil dengan sengaja, kita bukan hanya terhibur lantaran romantisme belaka. Akan tetapi, juga pemaknaan dari tubuh-jiwa yang rileks dan rendah hati menghadapi kompleksitas zaman yang tali-menali.

Radhar Panca Dahana Sastrawan

No comments:

Post a Comment