Tuesday, June 19, 2007

Jajak Pendapat "Kompas"
Beban Baru di Tahun Ajaran Baru

PALUPI PANCA ASTUTI

Pendapatan bulanan menjadi satu-satunya sumber dana yang paling umum dipakai oleh orangtua murid untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran kebutuhan sekolah anak-anak mereka di tahun ajaran baru mendatang. Membiayai sekolah anak dari sumber dana lainnya, seperti tabungan atau asuransi, tampaknya masih jauh dari angan-angan.

Kesimpulan ini didapat dari hasil jajak pendapat Kompas, 13-14 Juni 2007, yang secara khusus menyoroti persiapan tahun ajaran baru di negeri ini. Masyarakat, khususnya para orangtua, menganggap bahwa pendanaan pendidikan anak hanya bisa diatasi dengan mengorbankan sebagian penghasilan dan gaji bulanan mereka. Bahkan, ada juga responden yang mengandalkan utang/pinjaman atau menggadaikan barang sebagai sumber dana tahun ajaran baru.

Dalam jajak pendapat ini, misalnya, sebagian besar responden (80,5 persen) menyatakan, menggunakan gaji bulanan tetap untuk membayar kebutuhan tahun ajaran baru anak. Taruhlah seperti buku, seragam sekolah, biaya masuk, ataupun biaya daftar ulang. Hanya sebagian kecil (9,8 persen) responden yang sudah bisa memanfaatkan sumber pembiayaan lain seperti tabungan atau asuransi pendidikan.

Terkait pembiayaan di atas, responden juga memberikan penilaian seputar beban berbagai biaya yang harus dikeluarkan di tahun ajaran baru. Mengenai biaya masuk sekolah baru atau yang lebih dikenal dengan uang pangkal, mayoritas responden (63,4 persen) berpendapat besaran jumlahnya memberatkan keuangan keluarga mereka. Selain biaya masuk, pengeluaran untuk buku pelajaran juga dianggap memberatkan, seperti yang dikatakan oleh 52,3 persen responden.

Pembiayaan yang dianggap tidak terlalu membebani bagi sebagian besar orangtua adalah uang seragam dan kegiatan ekstrakurikuler. Hanya 28,6 persen responden yang merasa berat terhadap biaya seragam sekolah. Demikian pula biaya kegiatan ekstrakurikuler sekolah anak, hanya 26,2 persen responden yang mengeluhkan besarnya biaya untuk dua pengeluaran tersebut.

Meskipun dianggap memberatkan, mau tak mau orangtua mesti "rela" membayar uang pangkal sekolah anak jika tidak ingin anaknya kehilangan kesempatan mengecap pendidikan. Karena, untuk saat ini, institusi sekolah masih dipandang sebagai satu-satunya organisasi yang berpengalaman dalam hal penyelenggara pendidikan untuk anak-anak mereka.

Jika dikaitkan antara kebutuhan bersekolah dan pendapat tentang pembiayaan sekolah, bisa digambarkan dari data mengenai hubungan angka partisipasi sekolah dengan angka putus sekolah.

Angka partisipasi murni (APM) pendidikan dasar di tingkat sekolah dasar (SD) tahun 2006 mencapai 94 persen, sementara di tingkat sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) baru 62 persen. Angka putus sekolah tingkat SD berkisar di angka 3 persen, sementara SMP juga berkisar di angka yang sama. Faktor ekonomi di keluarga menjadi penyebab utama terputusnya kegiatan pembelajaran anak.

Kualitas guru

Dalam sebuah sistem pendidikan, guru berperan sebagai agen perubahan utama. Meski demikian, hal itu tidak bisa diartikan guru adalah subyek sementara murid adalah obyek. Konsep pendidikan modern menempatkan guru dan murid sama-sama sebagai subyek pembelajaran. Bukan hanya guru yang harus aktif di kelas dan membiarkan murid pasif mendengarkan. Saat ini, guru dituntut untuk lebih kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga murid tergugah untuk mengonstruksi pemikirannya.

Senada dengan itu, orangtua menganggap kualitas guru sebagai pilar utama pendidikan anak-anak mereka. Tentang pemilihan sekolah, misalnya, satu dari tiga responden (33,3 persen) menyatakan memilih sekolah untuk anak berdasarkan kriteria kualitas guru. Selain kualitas guru di sekolah, sebagian responden (16 persen) juga mempertimbangkan mutu lulusan dari sekolah yang hendak dipilih.

Orangtua saat ini memang dibayang-bayangi ketakutan akan nasib anak mereka saat duduk di tingkat akhir sekolah. Keberadaan ujian nasional (UN) sebagai salah satu penentu kelulusan siswa menjadi semacam ancaman bagi masa depan anak-anak mereka. Oleh sebab itu, sekolah yang memiliki jumlah lulusan yang signifikan dianggap sebagai sekolah yang memiliki mutu lulusan yang baik.

Sementara itu, uang pangkal sekolah ternyata hanya menjadi perhatian ketiga para orangtua setelah kualitas guru dan lulusan. Hanya satu dari tujuh responden (14 persen) yang menempatkan biaya masuk sebagai saringan pertama pemilihan sekolah anak. Rupanya, bagi para orangtua, pengorbanan pengeluaran biaya untuk uang pangkal tidak sebanding jika harus merelakan anaknya mendapatkan pendidikan dari guru-guru yang tidak bermutu.

Dari kondisi di atas terlihat kegamangan orangtua dalam menghadapi setiap tahun ajaran baru. Di satu sisi, mereka menganggap biaya-biaya yang harus dikeluarkan sebagai beban yang cukup memberatkan. Namun, di sisi lain, mutu pendidikan pun tidak boleh dikorbankan. Ini terlihat dari pilihan mereka yang mengutamakan kualitas guru di sekolah anak.

Mau tak mau para orangtua harus tetap memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka, apa pun kondisinya. Lalu, di mana peran negara yang seharusnya menjamin keberlangsungan pendidikan jika masih banyak orangtua yang merasakan beratnya biaya sekolah anak?

Palupi Panca Astuti Litbang Kompas

No comments:

Post a Comment