Tuesday, June 19, 2007

Belajar dari Qaryah Thayyibah,
Pendidikan Alternatif yang Membebaskan


Keputusan di Tangan Siswa
Keberhasilan pendidikan tidak ditentukan oleh menterengnya gedung sekolah atau lengkapnya fasilitas. Kebebasan anak dalam berekspresi dan kepercayaan orang tua terhadap mereka justru yang paling utama.
--------

"PENDIDIKAN itu harus membebaskan. Bagaimana mungkin anak bisa tumbuh kreatif kalau warna kaos kaki saja ditentukan oleh sekolah," tutur Ahmad Bahruddin, Kamis (24/5) lalu. Pekan lalu, pria pengagas sekolah alternatif SMP dan SMA Qaryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah itu mengunjungi Surabaya untuk berdiskusi mengenai pendidikan alternatif. Dia diminta berbagi pengalaman dan menularkan ilmunya kepada mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Tentu tak hanya sekelompok mahasiswa Unesa saja yang penasaran dengan kunci sukses alumnus Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang cabang Salatiga itu. Para peserta diskusi lain juga bertanya-tanya, bagaimana Bahruddin mampu menyelenggarakan sekolah alternatif dan mencetak siswa-siswi mandiri kaya kreasi. Yang tak kalah penting, bagaimana mereka dapat berkarya dengan biaya yang murah.

Memang, pria berpenampilan santai itu adalah salah orang yang percaya pendidikan bermutu bukan bersumber dari fasilitas. Kemampuan ekonomi bukanlah segalanya. Buktinya, sebagian besar anak yang belajar di SMP dan SMA Qaryah Thayyibah adalah anak-anak petani. "Kami berinisiatif mendirikan sekolah alternatif lantaran biaya. Di sekolah umum, siswa harus membayar uang gedung, seragam, LKS, biaya transportasi dan lain-lain," papar pria kelahiran Salatiga, 9 Februari 1965 itu.

Sejak Juli 2003, Bahruddin memang membuka sekolah yang jauh dari definisi kebanyakan orang akan sekolah pada umumnya. Sekolahnya tak dibatasi tembok atau bangku-bangku kaku yang jamak ditemui di sekolah umum. Pun baju sekolah dengan model dan warna sama yang umumnya disebut seragam. Rumah dan alam luas adalah ruang kelas siswa-siswi Qaryah Thayyibah yang kini telah berjumlah 99 anak. Otomatis tak ada lagi biaya transportasi karena jaraknya teramat dekat.

Namun, dari sesuatu yang tampaknya "kebablasan" itu, luberan kreativitas siswanya seakan tak pernah habis. Mulai dari mereka yang pandai menulis, menggambar, hingga berbahasa. Bahruddin dengan bangga menunjukkan novel dan kumpulan gambar para siswanya. Empat di antaranya sudah dicetak dan dipasarkan. Tujuh novel lainnya segera menyusul.

Sebelum dicetak untuk pasar luas, Bahruddin biasanya rajin mencetak dan akhirnya membukukan sendiri novel karya-karya siswanya. Saat ini, sudah ada 11 novel handmade. Rata-rata mencapai 200 halaman dengan tema persahabatan dan cinta. Misalnya Inikah Cinta, Mungkin Nanti, Ekspresi, dan Bendera Setengah Tiang. Para siswa menulis novel tersebut di sela-sela kegiatan sekolah. Mereka bebas mengetik di komputer yang disediakan di sekolah dan di rumah mereka sendiri.

Lalu, bagaimana cara Bahruddin membuka keran kreativitas siswanya? Jawabannya sederhana, walau belum tentu mudah untuk dilaksanakan, "Kebebasan dan kepercayaan," katanya.

Selama ini, menurut dia, sekolah dan orang tua terlalu memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Padahal, dengan melakukan hal itu, tanpa sadar orang tua dan guru telah merampas kebebasan anak. Dia mencontohkan salah satu kelas menggambar yang jamak dilakukan oleh sekolah umum. Para siswa diminta menggambar, misalnya pemandangan. "Lantas semua harus menggambar pemandangan. Anak yang tak suka menggambar pun harus ikut menggambar. Nanti, kalau menurut guru jelek, nilainya juga jelek," katanya.

Menurut dia, siswa yang tak menikmati kegiatan menggambar seharusnya tidak dipaksa untuk mengikuti kelas menggambar. Mereka yang lebih memilih untuk melakukan kegiatan lain, misalnya musik atau olahraga, seharusnya dibebaskan dari kelas dan melakukan apa yang mereka senangi.

Dia mengakui, untuk melakukan hal tersebut memang tidak mudah. Kepercayaan orang tua dan guru juga tidak murah. "Tapi harus dilakukan. Apa kami pernah membayangkan anak-anak dapat menulis novel? Tidak sama sekali. Tapi buktinya anak-anak bisa," ungkap putra pendiri pesantren Hidayatul Mubtadi’in.

Kepercayaan penuh itulah yang diterapkan di Qaryah Thayyibah. Keputusan mutlak di tangan siswa. Seorang siswa boleh belajar biologi, seorang lainnya bebas belajar musik. Para siswa dapat melakukan kegiatan secara mandiri.

Guru adalah Teman Belajar

Saat ini, menurut Bahruddin, di SMA Qaryah Thayyibah terdapat 15 jurusan dari total 20 siswa. Ada yang memilih biologi, kimia, musik, hingga film. "Mereka bebas merancang materi dan metode pembelajaran," katanya. Istilah guru tak lagi ada. Mereka menggantinya dengan predikat teman belajar. Teman belajar itu beragam latar belakangnya. Mulai dari orang tua, relawan, hingga santri. Posisi mereka di kelas tak lebih tinggi dari pada para siswa. Tugas sekolah tak hanya dikerjakan oleh siswa, guru pun harus ikut mengerjakan.

Bahkan, kata dia, untuk mereka yang menginjak SMA, sudah tak diperlukan lagi teman belajar tersebut. Mereka asyik berkutat dengan aktivitasnya sendiri. Salah satu yang saat ini sedang digarap serius adalah film. Bahruddin mengatakan terdapat lima judul film yang tengah dimatangkan.

Yakni, Live is Rock n Roll, True Love, Funky Ghost, dan dua judul film dokumenter tentang Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah dan Borobudur. Mereka kini juga tengah membuat sebuah film berjudul LOVE yang dikerjakan secara sembunyi dengan konsep candid. "Menginjak kelas dua nanti, mereka akan membahas mengenai universitas alternatif," tuturnya.

Qaryah Thayyibah tak pernah membatasi kegiatan siswanya. Tak ada sistem penilaian semacam raport atau ulangan. Novel, gambar, penelitian, serta film yang mereka hasilkan adalah pencapain tersendiri bagi Qaryah Thayyibah. "Kami tidak membangun lembaga, kami tidak ingin membangun kerajaan lembaga Qaryah Thayyibah. Kami ingin membangun masyarakat," tegasnya. (anita rachman)/Jawa Pos

No comments:

Post a Comment