Tuesday, June 19, 2007

Sederhana tapi Kreatif
Jawa Pos


KESEDERHANAAN bukanlah ketertinggalan. Itulah yang juga berusaha dibuktikan oleh siswa-siswi Qaryah Thayyibah (QT). Karena itu, mereka juga menempatkan internet sebagai salah satu kebutuhan utama, meski tak mau disebut tergantung.

Mulanya, 12 siswa angkatan pertama QT memulai kebiasaan berinternet itu. Mereka menyisihkan uang jajan untuk menabung sebelum akhirnya mampu membeli komputer. "Rata-rata para siswa mengantongi uang Rp 3.000. Uang saku tersebut sengaja disamakan dengan rata-rata kebanyakan anak yang bersekolah di Kalibening," kata Ahmad Bahruddin, penggagas QT.

Namun, bagi anak-anak QT, Rp 3.000 itu cukup banyak. Mereka tak perlu mengeluarkan ongkos transportasi. Karena itu. sebagian bisa ditabung.

Pertama kali, Bahruddin akan menghitung berapa rupiah yang dibutuhkan anak-anak untuk membeli sebuah unit komputer. Katakanlah Rp 2 juta, maka anak-anak ditarget menyisihkan Rp 1.000 setiap harinya.

Menurut dia, anak-anak lantas akan menabung bersama-sama untuk membeli komputer. Komputer pertamanya mampu dibeli dalam jangka waktu tiga bulan. Jadi, tegas dia, jangan heran apabila melihat rumah-rumah dengan kandang sapi juga memiliki komputer.

Alokasi Rp 2.000 dari uang saku kembali pada asupan gizi siswa, termasuk makanan dan buku. Gizi yang berhubungan dengan asupan tubuh dikedepankan pula oleh QT. Dana Rp 1.000 setiap siswa, apabila dikumpulkan, dapat diolah menjadi makanan dan minuman bergizi. Bahruddin menyebutkan salah satunya adalah susu madu. "Sebagaian uang yang terkumpul untuk membeli susu dan madu. Kami tinggal memasaknya dan anak-anak bebas minum. Bergizi toh," ungkapnya.

Begitu juga dengan buku. Walau menurut Bahruddin koleksi buku mereka belum banyak, namun pria gondrong tersebut tak mengelak apabila para siswanya enggan lepas dari buku. Tapi, internetlah yang membikin siswanya kecanduan informasi. Maklum, di rumah Bahruddin, para siswa dapat mengakses internet bebas selama 24 jam.

Di luar semua usahanya tersebut, bapak tiga anak itu tak membantah apabila sering terdapat kesulitan dan hambatan. Datangnya beragam, termasuk dari keraguan masyarakat. "Tapi kami menggunakan strategi pro-active, bukan re-active. Kami selalu berpositif thinking," tegasnya.

Apabila terdapat kesulitan QT selalu mencari sumber daya yang tersedia yang dapat dioptimalkan. Misalnya tak ada meja kursi, bisa melakukan pembelajaran sambil lesehan. Tak ada dana besar untuk membayar listrik, maka semaksimal mungkin proses pembelajaran dilakukan di siang hari.

Diakui Bahruddin, ada satu dua yang merasa tak cocok dan memutuskan keluar. "Mungkin yang diutamakan masih soal ijazah. Sedang bagi kami, ijazah bukanlah segalanya," katanya.

Dia mendidik para buah hatinya, tegas dia, bukan untuk membekali dengan selembar ijazah yang digunakan untuk mencari pekerjaan. Dia ingin siswa QT dapat mandiri dan menciptakan pekerjaan. (ara)

No comments:

Post a Comment