Saturday, June 30, 2007

Pendidikan
Humaniora yang Kian Tersisih

K Bertens

Dalam pendidikan modern, humaniora semakin terdesak. Proses ini sudah lama berlangsung dan tampak di segala tahap pendidikan. Di sini kita membatasi diri pada pendidikan tinggi saja.

Dalam universitas-universitas pertama di Eropa (sejak abad ke-13), humaniora memainkan peranan sentral. Saat itu humaniora dimengerti sebagai artes liberales atau the liberal arts yang diajarkan dalam Fakultas Artium (the Faculty of Arts).

Intinya adalah filsafat, terutama di Universitas Paris. Semua mahasiswa harus menjalani pendidikan di Fakultas Artium dulu, sebelum diterima di fakultas lain (waktu itu masih sebatas fakultas teologi, hukum, dan kedokteran).

Semakin sempit

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi pada zaman modern, jumlah fakultas di perguruan tinggi bertambah besar dan sekaligus peranan humaniora berkurang terus. Kini, dengan humaniora dimengerti ilmu sejarah, filsafat, ilmu bahasa serta sastra, dan ilmu-ilmu budaya lain, ruang gerak untuk mereka menjadi semakin sempit. Sekarang hal itu tampak lagi dengan jelas di Eropa. Di situ selama kira-kira sepuluh tahun terakhir diupayakan restrukturisasi pendidikan tinggi dalam rangka Persetujuan Bologna.

Negara-negara Eropa yang menjadi partisipan sepakat untuk menciptakan struktur pendidikan tinggi yang sama, sehingga kerja sama dan pertukaran antaruniversitas sangat dimudahkan. Hasilnya adalah struktur "bama" (bachelor-master). Dalam program bachelor (3 tahun) orang muda sudah disiapkan untuk masuk pasar kerja. Diberi tekanan besar pada profesionalisme, keterampilan, dan keahlian. Dalam program master (umumnya 1 tahun) dapat ditambah lagi sebuah spesialisasi atau, kalau ingin, bahkan dapat diambil beberapa program master.

Pembaruan pendidikan tinggi di Eropa itu tentu ada banyak aspek bagus, tetapi suatu akibat negatif adalah bahwa humaniora lebih banyak lagi disingkirkan dari kurikulum.

Beberapa waktu lalu, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda Profesor Frits van Oostrom mengkritik keadaan dalam pendidikan tinggi di Belanda itu (NRC-Handelsblad, 9-1-2007). Tujuan pendidikan tinggi di Belanda adalah menghasilkan profesional yang unggul dan piawai, tapi kurang diperhatikan bahwa dengan demikian para mahasiswa memperoleh pandangan yang agak sempit.

Dididik insinyur, ekonom, biolog, ahli hukum, dan profesional lain yang pandai, tapi kurang diberikan visi dan kreativitas kepada orang-orang muda itu. Banyak bakat mereka tidak dikembangkan. Pendidikan mereka bersifat berat sebelah. Jika kita bandingkan dengan keadaan di Amerika Serikat, di situ pendidikan tinggi masih memberi banyak kesempatan kepada humaniora yang justru berasal dari Eropa (liberal arts).

Universitas-universitas di Amerika dalam tahap pertama (bachelor) memberikan suatu pendidikan luas dulu, sebelum mahasiswa mengambil spesialisasinya. Hal itu tampak dalam kurikulum inti di banyak universitas Amerika. Misalnya, dalam pedoman studi Universitas Harvard dikatakan: "Filsafat Kurikulum Inti bertumpu pada keyakinan bahwa setiap lulusan Harvard harus terdidik secara luas dan serentak, juga terlatih dalam suatu spesialisasi atau konsentrasi khusus".

Lebih lanjut dituliskan, "Diandaikan bahwa para mahasiswa membutuhkan bimbingan tertentu dalam mencapai tujuan tersebut dan bahwa korps dosen mempunyai kewajiban mengantar mereka kepada pengetahuan, keterampilan intelektual, dan kebiasaan berpikir yang merupakan ciri khas pria dan wanita yang terdidik". Lalu menyusul sebuah daftar dengan lebih dari 100 mata kuliah pilihan tentang topik-topik sejarah, kesenian dan sastra, filsafat dan etika, analisis sosial, dan lain-lain. Setiap mahasiswa wajib mengambil sejumlah mata kuliah dari topik-topik humaniora tersebut.

Inovatif

Setelah membandingkan sistem pendidikan tinggi di Eropa dengan sistem di Amerika Serikat, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda itu mengajukan pertanyaan yang menarik. Ia mengatakan: secara umum diketahui bahwa Amerika Serikat memiliki perekonomian paling inovatif di dunia. Perekonomian ini mempunyai kemampuan untuk bertahan dan menyesuaikan diri di tengah banyak perubahan.

Inovasi menuntut pemikiran kreatif dan kesanggupan senantiasa mencari jalur-jalur baru. Apakah sifat perekonomian Amerika ini tidak berhubungan dengan sistem pendidikan tinggi di sana? Pertanyaan ini tidak pernah dapat dijawab dengan pasti. Sulit untuk dibuktikan bahwa suasana ini disebabkan oleh peranan humaniora di sana. Lebih mudah dapat diakui bahwa suasana ini sesuai dengan apa yang dimaksudkan dengan humaniora.

Orang modern sering bersikap utilitarian. Minatnya terarah kepada manfaat dan prestasi yang nyata. Di sini humaniora mau tidak mau harus mengecewakan. Berbekal humaniora saja, para lulusan perguruan tinggi tidak bisa membangun jembatan dan gedung bertingkat. Tetapi, melalui humaniora dapat dihasilkan sesuatu yang penting juga. Humaniora memberikan wawasan yang luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan untuk implikasi sosial dan kultural, kemampuan untuk melihat the whole picture. Dengan demikian, sifat berat sebelah pendidikan teknis dan ilmiah dapat diimbangi.

Melalui humaniora dapat dikembangkan juga bakat untuk memimpin. Akhir-akhir ini beberapa universitas memasukkan mata kuliah leadership dalam kurikulum. Namun, selain isinya kurang jelas, dapat diragukan juga apakah dengan satu mata kuliah saja kita dapat mendidik pemimpin. Sebaliknya, bila mahasiswa telah belajar berpikir kritis, bernuansa, kreatif, dan holistik, ia dipersiapkan juga sebagai pemimpin (asalkan ada cukup bakat alamiah). Syaratnya tentu bahwa humaniora diberikan dengan cara berbobot dan dekat dengan aktualitas.

Kasus di Indonesia

Dalam hal kualitas, keadaan humaniora di Indonesia rupanya justru sebaliknya dari keadaannya di dunia Barat. Di universitas-universitas Eropa dan Amerika, humaniora masih mempunyai kedudukan kuat.

Mereka mempunyai tradisi yang sudah panjang. Mereka memiliki juga infrastruktur akademis yang kukuh, seperti perpustakaan. Mereka juga kuat dalam kerja sama internasional. Kesulitan mereka adalah jumlah mahasiswa yang berminat untuk studi humaniora semakin kecil, dan kesempatan untuk mengajar humaniora di tempat lain semakin sempit.

Di Indonesia, posisi humaniora masih lemah. Infrastruktur akademis yang mendukung juga lemah. Universitas memberi prioritas mutlak kepada pengembangan ilmu dan teknologi. Fakultas yang berkecimpung di bidang itulah dapat mengirim dosennya untuk studi lanjut di luar negeri. Dosen humaniora yang memiliki gelar S-3 dari universitas terkemuka di luar negeri hampir tidak ada. Mutu mahasiswa humaniora juga tidak meyakinkan.

Depresiasi terhadap humaniora sebenarnya sudah mulai di SMA, di mana jurusan IPA dianggap identik dengan siswa yang berbakat. Namun, jangan kita lupa, diukur dengan standar IPA, orang seperti William Shakespeare mungkin mendapat penilaian jelek sekali! Jadi, perjuangan untuk memajukan humaniora menjadi lebih berat lagi di Indonesia.

K Bertens Anggota Staf Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya, Jakarta

No comments:

Post a Comment