Monday, July 23, 2007

Biaya Sekolah
Kebijakan Pendidikan yang Memiskinkan

Anton Novenanto

"Seperti biasa," begitu kata berita di sebuah stasiun televisi swasta, "menjelang tahun ajaran baru kantor pegadaian banyak didatangi orang." Diceritakan kemudian, di Banten, ibu-ibu rumah tangga mendatangi kantor pegadaian sambil membawa beberapa lembar kain yang dimilikinya. Satu lembar kain dihargai Rp 5.000.

Jika mereka membawa sepuluh lembar kain, uang Rp 50.000 sudah di tangan. Ada juga yang membawa panci/rantang untuk digadaikan. Harga barang yang terakhir ini sedikit lebih mahal dibandingkan selembar kain.

Uang hasil menggadaikan barang itu akan digunakan sebagai tambahan modal untuk mendaftarkan anak-anak mereka masuk ke sekolah. Memang sedikit hasil yang didapat, namun bagi mereka ini cukup berarti daripada tidak ada tambahan dana sama sekali.

Perihal pendanaan pendidikan masih menjadi akar dari tidak tuntasnya problem pendidikan di Indonesia. Masih banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa sekolah, atau harus putus sekolah, hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah.

Beragam usaha pun dilakukan untuk meminimalkan angka putus sekolah ini. Di beberapa daerah sudah muncul inisiatif dari pemerintah setempat untuk menekan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di sekolah-sekolah negeri menjadi serendah mungkin. Bahkan, ada yang menggratiskan SPP untuk sekolah negeri.

Kebijakan menggratiskan SPP bisa dilihat sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap pentingnya akses atas pendidikan. Namun, rupanya kebijakan semacam ini masih belum menyentuh pada akar masalah kesulitan pendanaan pendidikan keluarga miskin, apalagi menyelesaikan masalah. Di Jakarta, meskipun sebagian besar warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan pemerintah daerah yang menggratiskan SPP, namun mereka masih khawatir tidak bisa membiayai sekolah anak-anaknya (Kompas, 13/6).

Kebijakan menggratiskan SPP memang cukup efisien bagi pemerintah dan kepala daerah untuk menarik perhatian publik, sekaligus mendongkrak citra dan popularitasnya. Akan tetapi, SPP bukanlah komponen utama (dan terbesar) ketika berbicara tentang biaya pendidikan. Ada komponen biaya pendidikan lainnya yang menghantui warga masyarakat. Ironisnya biaya pendidikan yang menghantui ini muncul akibat kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri.

Dari buku hingga UN

Tentang buku pelajaran, misalnya. Sekarang bukan zamannya kakak kelas bisa mewariskan buku kepada adik kelasnya. Mulai tahun ajaran 2007/2008 nanti, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sudah berganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Artinya, buku pelajaran yang digunakan pun harus ganti. Buku yang dipakai tahun ini tidak bisa dipakai untuk tahun berikutnya.

Kondisi semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Hampir setiap tahun buku pelajaran harus ganti, seiring dengan berubahnya kurikulum yang diberlakukan pemerintah. Meskipun kurikulum tidak berganti, namun buku pelajaran harus direvisi untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kesesuaian dengan kurikulum yang berlaku. Setelah beberapa tahun berjalan, ketika buku sudah sesuai dengan kurikulum, pemerintah pun membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum.

Logika buku pun tak kalah dengan prinsip yang dipakai oleh produk-produk instan, "sekali pakai langsung buang". Pergantian kurikulum memang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita, namun pemerintah seperti tidak pernah jera melihat efek domino dari pergantian kurikulum itu.

Hal ini dilihat sebagai peluang proyek bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari siswa. Tak jarang pihak sekolah pun terlibat dalam proyek pengadaan buku dengan mewajibkan siswanya untuk membeli buku pelajaran melalui sekolah. Namun, pengadaan buku kolektif oleh pihak sekolah pun tidak membuat harga buku jadi lebih murah dibandingkan harga di toko buku. Tak jarang, harga buku yang ditawarkan sekolah jauh di atas harga "normal".

Lalu, siapa yang bisa membeli buku? Ya, tentu saja, anak yang berasal dari keluarga mampu, sementara anak-anak dari keluarga miskin hanya bisa gigit jari. Buku sebagai gudang ilmu pun semakin jauh dari kelompok yang terakhir, pengetahuan pun semakin sulit terjangkau.

Kebijakan lain yang juga berdampak pada masalah membengkaknya dana pendidikan adalah ujian nasional (UN). Sistem UN telah mendorong para siswa, guru, dan orangtua untuk terikat dengan layanan jasa yang ditawarkan lembaga bimbingan belajar (baca: bimbingan tes). Peran guru sebagai pendidik pun digantikan oleh para pengajar bimbingan tes. Siswa dilatih agar terampil mengerjakan soal secara benar, tanpa perlu mengetahui substansi dari mata ajar yang dikerjakan.

Akibatnya, bisa jadi siswa yang memiliki cukup uang dan bisa ikut bimbingan tes punya kesempatan yang lebih besar untuk lulus UN karena mereka bisa menjawab soal-soal UN secara lebih cepat dan tepat. Nasib kurang beruntung dialami siswa dari keluarga pas-pasan yang tak memiliki kelebihan uang untuk ikut bimbingan tes. Akibatnya, semakin sedikit dari kelompok ini yang menjadi terampil dalam mengerjakan soal-soal UN. Kesempatan untuk lulus pun semakin jauh.

Salah satu tujuan pendidikan adalah kesempatan untuk menaikkan status sosial keluarga miskin. Akan tetapi, dari fakta kebijakan pendidikan yang ada justru mengarah pada hal yang sebaliknya. Sekolah sebagai sarana meningkatkan martabat keluarga miskin hanyalah mitos belaka. Sekolah telah menjadi sarana utama untuk mengisap modal-modal ekonomi masyarakat, berlaku juga bagi keluarga miskin. Maka benarlah yang ditulis sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, sekolah pun hanya berfungsi untuk mereproduksi perbedaan dalam masyarakat.

Pendidikan yang berkualitas butuh biaya yang tidak murah. Kondisi ekonomi keluarga memang kerap tidak bersahabat bagi anak-anak dari keluarga miskin yang ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Pertanyaannya, apakah biaya pendidikan itu harus ditanggung sendiri oleh anak-anak dari keluarga miskin? Tak bisakah pemerintah membuat kebijakan yang memang memerhatikan kepentingan anak-anak ini?

anton Novenanto Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya

1 comment:

  1. huhui..

    bagus juga artikelnya..

    tapi.. perkara kesempatan lulus Un karena tu anak bimbel, nggak sepenuhnya bener sih...

    ReplyDelete