Friday, July 20, 2007

Nasib Guru yang Memilukan

Agus Suwignyo

Ribuan guru berunjuk rasa lagi, Kamis (19/7). Mereka antara lain menuntut perbaikan nasib dan kejelasan profesi.

Sehari sebelumnya guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) sekolah negeri mengadukan belum adanya surat keputusan pengangkatan sebagai tenaga honorer ke DPRD (Kompas Yogyakarta, 19/7/2007).

Masalah kesejahteraan guru merupakan masalah kompleks dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Bukan hanya status kepegawaian yang tak jelas, penghasilan guru pun amat rendah sehingga banyak guru honorer tak mampu menyekolahkan anak mereka. Nasib guru sungguh pilu.

Mengapa pemerintah tak berdaya menyelesaikan masalah kesejahteraan dan kepegawaian guru? Sejauh mana Undang- Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mampu mendorong pemerintah meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan para guru?

Kepastian

Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan kesejahteraan. Pertama, penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan biaya hidup.

Kedua, status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam unjuk rasa di Yogyakarta, GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Amat sederhana!

Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu. Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Pertama, anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru. Kedua, proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru.

Zaman Belanda

Ketika jumlah sekolah desa meningkat tajam di Jawa (1907) dan Sumatera (1917), para guru pribumi di sekolah desa resmi menuntut status guru bantu. Bersamaan dengan itu, para guru berbangsa Belanda yang penghasilannya nyaris 10 kali lipat penghasilan guru pribumi menuntut kenaikan gaji.

Pemerintah kolonial Belanda menanggapi, meski siang-malam telah menjadi guru di desa-desa, para guru pribumi yang rata-rata tamatan Sekolah Kelas 2 harus lulus kursus guru bantu lebih dulu untuk dapat diangkat. Selain itu, gaji guru tidak dapat dinaikkan karena anggaran tersedot proyek transmigrasi dan perang.

Setelah Indonesia merdeka, masalah guru-guru pribumi tak banyak berubah. Banyak guru SD lulusan Sekolah Guru B-Puteri Ungaran tahun 1950-an yang dijanjikan formasi begitu menyelesaikan pendidikan, misalnya, terkatung-katung sebelum akhirnya diangkat sebagai guru pemerintah. Dengan penghasilan rata-rata Rp 280 per bulan, para guru ikatan dinas itu mengajar di pelosok-pelosok desa sebagai tulang punggung gerakan pemberantasan buta huruf.

Lebih tragis, para guru di institusi yang pada zaman Belanda disebut sekolah liar (wilde scholen), yaitu mereka yang menentang kebijakan pendidikan kolonial dan berjuang demi sistem pendidikan nasional Indonesia, tidak diprioritaskan diangkat sebagai guru negeri oleh Pemerintah Indonesia. Prioritas formasi pegawai pada tahun-tahun pertama setelah proklamasi Indonesia justru para guru yang pada masa Belanda adalah guru Pemerintah Belanda.

Kini meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api.

Pertama, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru.

Kedua, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya, dana terbatas.

Ketiga, yang paling apes adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.

Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan, dan beban biaya hidup kian berat, mampukah para guru menjadi sumber inspirasi pengembangan diri bagi murid-murid? Realistiskah menuntut mereka mengajar dengan profesionalitas dan kesungguhan.

Langkah nyata

Tak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah kesejahteraan guru.

Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.

Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.

Ketiga, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam, Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru

No comments:

Post a Comment