Wednesday, July 4, 2007

organisasi Advokat
Hanya Ramai Saat Munas, lalu Konflik...

Tri Agung Kristanto

Terus terang, tak mudah mencari kegiatan yang dilakukan organisasi advokat di negeri ini, selain menggelar musyawarah nasional atau munas dan "bersaing" mengadakan pendidikan profesi advokat. Sama tak mudah ketika mencari lontaran pemikiran dari advokat, terkait kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang pembaruan hukum, selama 10 tahun terakhir.

Justru dalam benak sebagian orang, termasuk yang terekam dalam dokumentasi pemberitaan di media massa, adalah "buram"-nya perilaku advokat yang kian memperburuk citra peradilan di negeri ini. Advokat dianggap sebagai makelar perkara, membela yang bayar, dan belum diterima sepenuhnya menjadi penegak hukum.

Lebih dari sembilan tahun lalu, advokat senior Adnan Buyung Nasution mengingatkan, advokat seharusnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Tetapi, advokat terkadang malah mengkhianati kliennya, antara lain dengan memperdagangkan perkara demi keuntungan sendiri (Kompas, 17/4/1998).

Bahkan, Ketua Umum (kala itu) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Yan Apul Girsang secara lugas mengakui, kebanyakan pengacara (advokat) melakukan praktik dagang perkara. Bahkan, banyak advokat hanya menjadi broker perkara. Kondisi ini tidak bisa dihindari karena dalam praktik hukum di Indonesia, pengacara bukan penegak hukum. Pengacara dalam tugasnya tak dijamin dengan undang-undang (UU) (Kompas, 18/4/1998).

Akhirnya, setelah berjuang lama, advokat memiliki perlindungan hukum dalam praktiknya, yakni dengan disahkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Advokat ditetapkan sebagai penegak hukum. Tetapi, harus diakui, sampai kini citra pengacara belum sepenuhnya berubah. Bahkan, diakui Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) periode 2003-2007 Otto Hasibuan, saat membuka Munas IV akhir Mei lalu di Balikpapan, Kalimantan Timur, citra advokat sebagai pembela masyarakat, pejuang keadilan dan kebenaran, secara perlahan memudar.

Bahkan, menurut Otto, advokat tidak lagi mengisi hati masyarakat. Kebanyakan pengacara pun kurang peduli dengan nasib rakyat. Kedudukan advokat sebagai penegak hukum diragukan karena ia dibayar klien. "Apakah bisa advokat menjadi penegak hukum jika ia menjadi pembela kliennya," katanya lagi.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Indra Sahnun Lubis mengakui, profesi advokat di negara mana pun memang sering menjadi pembicaraan kontroversial. Dalam penegakan hukum, peranan advokat tergantung dari sisi mana memandangnya.

Walau begitu, Indra yang juga Ketua Umum Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) secara tidak langsung mengakui, betapa masih tingginya peran advokat untuk "membalikkan" keadilan dan kebenaran. Dicontohkan, di Amerika Serikat (AS), Bill Clinton dari sisi kekayaan lebih kaya sebelum menjadi presiden.

Dari pelacakan, ternyata gaji dan penghasilan lainnya selama dua periode menjabat presiden habis untuk membayar biaya pengacara saat ia menghadapi skandal dengan sejumlah wanita, termasuk Monica S Lewinsky, yang bisa mengancam kedudukannya. Clinton pun lolos.

Besarnya peran advokat di AS untuk meloloskan klien dari jeratan hukum juga terjadi dalam kasus pembunuhan yang diduga melibatkan atlet football ternama AS, OJ Simpson. Meski bukti yang ada cukup kuat, Simpson akhirnya dinyatakan tak terbukti membunuh mantan istrinya, Nicole Brown, serta temannya, Ronald Goldman, tahun 1994. Namun, lagi-lagi Simpson dikabarkan jadi "miskin" karena kekayaannya habis untuk membayar advokat yang "piawai".

Bagaimana di negeri ini? "Walau susah untuk dibuktikan, terdapat dugaan keras kedudukan dan fungsi independensi advokat dimanfaatkan salah satu atau bersama-sama ketiga unsur catur wangsa lainnya sebagai broker atau pengatur skenario vonis dalam suatu perkara ’peradilan semu’, seperti halnya ’transaksi semu’ di Bursa Efek Jakarta," kata Indra Sahnun. Catur Wangsa penegak hukum adalah polisi, jaksa, hakim, dan advokat.

Konflik antar-advokat

Kondisi ini memang memprihatinkan. Karena itu, hampir semua organisasi advokat selalu mengusung tema profesionalisme dan reposisi advokat dalam sistem peradilan di Indonesia ketika menggelar munas. Mereka membicarakan keberpihakannya pada pencari keadilan dan mendorong mewujudnya kebenaran dalam setiap perkara yang ditangani. Advokat juga harus peduli pada rakyat miskin yang mencari keadilan. Tetapi, harus diakui itu masih baru wacana.

Realitasnya, Otto dalam Munas IV Ikadin mengakui, kebanyakan advokat belum mampu menunjukkan kualitasnya sebagai penegak hukum. Ia juga menyerukan agar advokat diwajibkan membela pencari keadilan dari kalangan tak berpunya.

Namun, ironi yang ditampilkan dalam Munas IV Ikadin. Jangankan membela rakyat kecil, justru organisasi advokat terbesar itu "terkoyak". Munas Ikadin berakhir dengan konflik yang melahirkan kepengurusan ganda: di bawah Otto Hasibuan di satu sisi dan di sisi lain ada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang dipimpin Teguh Samudera. Keduanya hingga Selasa (3/7) belum bisa dipersatukan kembali.

Konflik di tubuh Ikadin kembali mengingatkan "perpecahan" yang senantiasa menyertai sejarah organisasi advokat di negeri ini. Tahun 1927 terbentuk Persatuan Pengacara Indonesia (Perpi). Tetapi, seperti tertulis dalam buku Pembentukan Organisasi Advokat Indonesia, Keharusan atau Tantangan? (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004), bukannya merumuskan cara menjalankan organisasi, kongres organisasi advokat malah menjadi titik perpecahan organisasi advokat.

Advokat negeri ini sejak awal menginginkan wadah tunggal. Ide ini hampir mewujud dalam Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Tetapi, konflik lagi-lagi membuat cita-cita itu tak terwujud. Organisasi advokat baru bermunculan, seperti Himpunan Penasihat Hukum Indonesia (HPHI), Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (Pusbadhi), serta Forum Studi dan Komunikasi Advokat. Ikadin yang dilahirkan tahun 1985 pun diharapkan menjadi wadah tunggal.

Namun, munas advokat Indonesia di Jakarta tahun 1985 berakhir ricuh. Bukannya wadah tunggal, justru lahir organisasi advokat yang beragam. Tahun 1991, pemerintah membentuk Organisasi Kemasyarakatan Profesi dan Fungsi Bidang Pelayanan Hukum serta menggelar munas di Cipanas, Jawa Barat. Lagi-lagi konflik yang terlahir.

Sosiolog hukum, Satjipto Rahardjo, mengakui, banyak kepentingan ekonomi, politik, pribadi, dan golongan bermain dalam bidang hukum. Ini membuat advokat sulit dipersatukan (Kompas, 4/4/1998).

Bahkan, advokat senior Kamal Firdaus pun menilai, visi dan misi organisasi advokat kini bergeser dari organisasi perjuangan menjadi organisasi yang mengejar kepentingan materi. Mereka lebih mengedepankan kehidupan glamor, jauh dari pembelaan rakyat kecil (Kompas, 15/1). Sebab itu, wajar jika advokat berebut menjadi pimpinan organisasi advokat dan melupakan niat perjuangan.

Sekjen Peradi Harry Ponto tak menampik masih adanya sorotan negatif dari masyarakat kepada advokat dan organisasi advokat. Namun, sebenarnya advokat bukan tak melakukan apa-apa. Sejumlah advokat, misalnya, sudah mendeklarasikan komitmen antisuap.

Di sisi organisasi, wadah tunggal advokat pun sudah mewujud dalam Peradi. Kedudukan Peradi yang didukung delapan organisasi advokat sangat kuat karena dijamin UU No 18/2003. Munas I Peradi akan digelar tahun 2010. Ini menjadi ujian pertama, apakah "tradisi" organisasi advokat yang hanya ramai saat munas dan diwarnai konflik akan terus berlanjut atau tidak.

No comments:

Post a Comment