Tujuh Problem Pendidikan S-1 Oleh A. CHAEDAR ALWASILAH SETIAP tahun lebih dari 300.000 lulusan SMA dan sekolah yang sederajat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) dan pada tahun 2007 ini tersedia 96.066 kursi yang akan diperebutkan. Selain itu, ribuan orang masuk PTS lewat tes tersendiri. Kini tercatat sekitar 2.600 PT termasuk 100 PTN, menawarkan sekitar 13.894 program studi. Setiap tahun PT itu meluluskan sekitar 500.000 orang. Umumnya mereka berharap mendapatkan gelar akademik untuk mengubah nasib agar mendapat pekerjaan yang layak. Dalam hal ini, PT selalu diperhadapkan dengan tuntutan atau pilihan orientasi pendidikan yang seringkali bertentangan, yaitu antara (1) pemenuhan tuntutan pragmatik dari dunia kerja, dan (2) pemenuhan tuntutan pendidikan umum, yakni terbentuknya warga negara yang baik. Pendidikan S-1 atau undergraduate dalam tradisi Amerika menurut Derek Bok --mantan Rektor Harvard University-- didesain untuk menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis, terbebas dari dogma, namun terbina oleh nilai-nilai kemanusiaan. Jadi ada dua kata kunci dalam pendidikan S-1, yakni (1) pikiran kritis, dan (2) kemanusiaan. Yang pertama sebagai potensi perorangan yang dianugerahkan Tuhan yang membedakannya dari binatang, sedangkan yang kedua adalah potensi sosial untuk hidup berkelompok. Dua hal ini tidak akan memuaskan dunia kerja yang selalu lantang menuntut profesionalisme atau spesialisasi tertentu. Dengan demikian, yang ideal adalah lahirnya para sarjana yang memiliki spesialisasi tertentu, mampu berpikir kritis, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan Kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan ini semakin kuat tatkala kita melihat dampak globalisasi dan upaya internasionalisasi PT. Yang paling dicemaskan oleh para orang tua dan para pendidik pada umumnya adalah tergerusnya budaya nasional dan kearifan lokal, padahal pendidikan diharapkan mampu mempertahankan dan mewariskan nilai-nilai budaya nasional. Mereka waswas jangan-jangan internasionalisasi pendidikan malah berdampak negatif, yakni mengikis nilai-nilai budaya nasional itu. Ada dua kategori manfaat pendidikan, yaitu manfaat ekonomi dan nonekonomi. Manfaat ekonomi mencakup persiapan atau pelatihan lulusan menjadi pelaku poduktif dalam dunia profesi, juga penelitian yang mendatangkan produk atau teknologi yang dapat dipasarkan. Manfaat nonekonomi misalnya pencerdasan dan peningakatan kesadaraan sosial. Tarik-menarik antara dua kategori ini memunculkan sejumlah masalah yang sulit dihindari. Penelitian yang dilakukan oleh The Carnagie Foundation for the Advancement of Teaching (1987) ihwal pendidikan S-1 menemukan tujuh persoalan mendasar dalam pendidikan S-1 di Amerika. Dalam pengamatan saya, ketujuh persoalan itu berlaku universal dan layak diperhatikan dalam mengelola program S-1 di Indonesia. Pertama, diskontinuitas antara dunia SMA dan PT yang cenderung asyik dengan dunianya sendiri. Berbeda dengan kontinuitas kurikulum SD, SMP, dan SMA, kontinuitas kurikulum SMA dan PT agak terputus. Hal ini terkait dengan berbagai hal seperti registrasi, tes seleksi masuk, migrasi ke kota, pemondokan, tujuan kuliah, dan kesiapan belajar. Masa transisi ini sangat membingungkan mahasiswa dan belum banyak diantisipasi oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, muncullah kesenjangan antara harapan guru SMA dan dosen PT. Pada umumnya (calon) mahasiswa kurang menguasai strategi atau keterampilan belajar (study skill) seperti membaca kritis, menulis akademik, dan keterampilan menggunakan komputer (computer literacy) yang merupakan kunci sukses belajar di PT. Pada umumnya PT tidak menyediakan program remedial untuk mahasiswa baru. Kedua, tidak jelasnya tujuan atau misi PT. Bila yang dikejar PT adalah kebutuhan pasar (market driven) dan mahasiswa sebanyak-banyaknya, misi suci PT bisa jadi terabaikan, yakni menghasilkan manusia terdidik (educated person). PT menawarkan petak-petak disiplin keilmuan (baca: program studi) yang terputus satu sama lain. Dalam kenyataannya, pendekatan petak-petak ini tidak relevan dengan kehidupan. Dalam kehidupan sosial petak-petak itu lebur sehingga yang sangat berperan dan menentukan kualitas hidup adalah life skill secara keseluruhan. Oleh karena itu, muncullah dikotomi careerism dan liberal arts, yakni antara dunia kerja atau profesionalisme yang spesifik dan kecakapan berbudaya secara umum. Bisa jadi program studi malah menjadi penjara bagi mahasiswa, yakni menjadikannya manusia robot dengan keterampilan sempit tanpa kecakapan hidup. Tanpa life skill, kepakaran vokasional atau hard skill menjadi tidak bermakna. Tantangannya adalah bagaimana memadukan liberal arts dalam kurikulum program studi, kurikulum fakultas, atau kurikulum universitas secara proporsional. Liberal arts atau pengetahuan budaya adalah studi bahasa, filsafat, sejarah, sastra, dan sains abstrak yang diniati untuk membangun pengetahuan umum atau kemampuan intelektual secara umum, yakni membangun kemampuan bernalar dan kemampuan menimbang atau memberikan judgment benar-salah, indah-buruk, menguntungkan-merugikan dalam kehidupan sehari-hari. Studi ini lazim dianggap sebagai kebalikan dari keterampilan vokasional atau profesional. Ketiga, konflik yang dihadapi dosen antara kewajiban mengajar dan kewajiban meneliti. Tugas utama dosen adalah mengajar mahasiswa S-1 dengan efektif dan melayani mahasiswa dengan baik. Dalam pada itu, dosen juga harus meneliti dan memublikasikan penelitiannya dalam jurnal ilmiah, buku teks, dan media massa. Persoalannya bagaimana menjaga keseimbangan antara keduanya. Banyak juga dosen yang mendapat jabatan struktural. Jadi mereka harus belajar menjadi manajer yang baik. Biasanya sulit bagi seorang dosen untuk sukses (sama baiknya) sekaligus dalam ketiga bidang ini. Yang lazim ditempuh adalah --sesuai dengan perjalanan usia dan karier dosen-- berkonsentrasi pada pengajaran, penelitian, dan terakhir pada kepemimpinan. Karena tidak semua dosen memiliki kesempatan menjadi birokrat, seyogianya penghargaan finansial dan nonfinansial atas prestasi penelitian dan penulisan buku teks tidak lebih kecil daripada prestasi birokratis. Keempat, sulitnya menumbuhkan kreativitas di kalangan mahasiswa. Kultur akademik di SMA, yaitu sikap pasif dan menunggu masih terbawa ke bangku kuliah sehingga sulit bagi dosen untuk menumbuhkan kreativitas. Mahasiswa serius mempelajari suatu topik manakala diberi tahu bahwa topik itu akan diujikan. Sistem kerja semalam dalam mengerjakan tugas perkuliahan adalah strategi belajar yang salah. Dalam perkuliahan sulit ditemukan adanya dialog cerdas dan interaktif. Idealnya perkuliahan terjadi dalam kelas-kelas kecil sehingga setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk berpartisipasi secara cerdas. Di situlah tradisi ditantang, kejumudan dihalau, gagasan diuji, kepercayaan diperdebatkan secara ilmiah, dan kreativitas ditumbuhkan. Kelima, sulitnya menciptakan PT sebagai laboratorium kehidupan. Yang marak malah PT sebagai menara gading. Banyak orang tua yang masih melihat ke(pasca)sarjanaan sebagai simbol status sosial. Buktinya, banyak orang yang sudah memiliki status terhormat pun, seperti kiai, jenderal, atau birokrat--tertarik membeli gelar-gelar akademik. Ia mengisolasi diri sehingga apa yang terjadi di ruang kuliah sedikit kaitannya dengan dunia di luar kampus. Persoalannya, bagaimana agar kegiatan di luar kampus mendukung visi dan misi PT. Bagaimana mengatasi ketegangan antara kebebasan mahasiswa di kampus dan kewenangan lembaga. Juga bagaimana agar PT memberikan kesempatan munculnya kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di kampus. Dalam konteks globalisasi sekarang ini, bagaimana PT menyiapkan mahasiswa agar siap bertahan hidup dalam kompetisi global. Keenam, ihwal tata kelola (governance) PT. Secara internal para dosen lazimnya lebih setia kepada disiplin keilmuan, yaitu pada tingkat program studi daripada kepada PT tempat mereka mengajar. Tidak heran banyak dosen pintar menjadi kutu buku, tetapi tidak mengetahui atau tidak hirau ihwal visi dan misi PT. Mahasiswa pun seringkali menuntut secara berlebihan, seperti menuntut hak memberikan suara dalam pemilihan rektor, dekan, atau ketua jurusan. Hal yang disebut terakhir ini agak keterlaluan karena demokrasi politik praktis di luar kampus dicobaterapkan dalam manajemen PT. Secara eksternal PT dituntut untuk lebih terbuka dan akuntabel kepada publik. Selama ini PT khususnya mendapat subsidi besar dari pemerintah. Ketika pemerintah menyadari terbatasnya dana ini, PT dipaksa untuk belajar mencari dana sendiri. Budaya korporat demikian itu adalah sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan kita. Kehadiran lembaga baru seperti Majelis Wali Amanah, Senat Akademik, Satuan Penjaminan Mutu, Dewan Audit, dan Satuan Audit Internal masih dirasakan sebagai uji coba dalam manajemen kampus. Tujuh PTN, yaitu ITB, UI, UGM, IPB, USU, UPI, dan Unair sudah berubah status menjadi PT BHMN, dan sesuai dengan kebijakan Depdiknas semua PTN disarankan mengikutinya. Ketujuh, ihwal evaluasi hasil pendidikan. Prestasi akademik mahasiswa sangat bergantung kepada dosen per mata kuliah. Nilai akhir atau IPK (indeks prestasi kumulatif) dalam rentang 1,00-4,00 adalah ukuran keterdidikan manusia (educated person). Bila pendidikan dimaknai sebagai upaya membentuk sarjana sebagai manusia seutuhnya, persoalannya: Bagaimanakah kualitas kemanusiaan yang begitu kompleks disederhanakan dengan sebuah IPK. Sementara itu, tidak semua dosen adalah penilai yang baik. Tampaknya, dalam menentukan IPK mahasiswa perlu dikembangkan berbagai format penilaian yang tidak hanya mengukur potensi intelektual, tetapi juga potensi nonintelektual atau soft skills, seperti diniati oleh perkuliahan pengetahuan budaya. Ketujuh persoalan di atas merupakan persoalan yang selalu ada dan mesti dihadapi secara strategis oleh setiap PT. Namun, urgensi dan kekritisan ketujuh problem itu berbeda dari satu PT ke PT lainnya. Bahkan dalam satu PT pun senantiasa terjadi perbedaan antara fakultas dan bahkan antara program studi. Oleh karena itu, PT harus selalu mawas diri --lewat mekanisme evaluasi diri-- terhadap keunggulan dan kelemahan komparatif dari setiap program studi, fakultas, lembaga, dan PT secara kolektif. Tanpa mekanisme ini, PT tidak mungkin dapat menyusun rencana strategis secara berkelanjutan.*** Penulis mengajar di UPI, koordinator nasional APCEIU (Asia Pacific Center of Education for International Understanding), di bawah UNESCO, berpusat di Seoul, Korea Selatan. |
No comments:
Post a Comment