Wednesday, September 12, 2007

ALUTSISTA


Manfaat bagi Rakyat adalah Kunci Keamanan

Pandangan mata Mananuir Jusuf Mampioper menerawang mengingat masa kecilnya, mengenang kehancuran kota Manswam yang terjadi 63 tahun lalu.

"Kota itu dibangun sendiri oleh orang Biak, tanpa campur tangan Belanda. Orang Biak dari berbagai tempat, seperti Padua, Biak Timur, Biak Utara, bersepakat membangun kota Manswam di tepi Pantai Ambroben. Tetapi, pada 10 Oktober 1943, Jepang datang dan membakar habis kota itu," katanya.

Penderitaan orang Biak tidak berhenti di sana. Setelah membumihanguskan Manswam, Jepang memaksa penduduk Biak menjalani romusa, membangun lapangan terbang di barat Manswam.

"Lapangan terbang itu dibangun dengan tangan manusia, tanpa alat berat apa pun. Banyak orang mati kelelahan. Jika berhenti bekerja, orang dipukul. Orang yang tidak mau kerja paksa akan dibawa ke lubang besar yang ada di Korido dan dipancung di sana," kata mantan Asisten I Sekretariat Pemerintah Kabupaten Biak Numfor itu.

Itulah sejarah awal pengambilalihan tanah ulayat enam marga yang secara bersama- sama menjadi pemilik tanah ulayat Swaporibo, yaitu marga Rumaropen, Wakum, Ronsumre, Rumbiak, Simopieref, dan Yarangga.

Ia masih ingat bagaimana pasukan Sekutu di bawah pimpinan Letnan Jenderal L Eichelburger mengusir Jepang pada 15-27 Juni 1944.

"Saat itu, banyak bom dijatuhkan di Biak. Akhirnya, Jepang kalah dan Sekutu menguasai lapangan terbang yang dibangun Jepang. Bandara kemudian dikuasai Belanda, kemudian diambil alih oleh United Nation Temporary Executive Administration (UNTEA), dan dikuasai Indonesia pasca-Penentuan Pendapat Rakyat 1969, dan kini menjadi Bandar Udara Frans Kaisiepo," ujarnya.

Pagar yang mengelilingi Bandara Frans Kaisiepo berlubang di sana-sini. Jumlahnya mencapai 144 lubang. Pagar tersebut selalu dibobol karena warga dua kampung di utara landasan pacu, Kampung Sburia dan Manswam, selalu mengambil jalan pintas menuju Pantai Ambroben dengan melintasi landasan pacu sepanjang 3.570 meter.

Menyusul kerja sama pertahanan Indonesia-Rusia, lapangan terbang itu bakal dijadikan fasilitas peluncuran satelit, air launch system (ALS).

Nilai investasi pembangunan fasilitas peluncuran satelit itu mencapai 250 juta dollar AS. "Selama ini tak pernah ada sosialisasi yang diberikan kepada kami," kata Ronsumbre yang mempertanyakan manfaat dari proyek itu.

Wajar jika Ronsumbre khawatir karena hingga kini orang Biak masih tersisih di tanahnya sendiri. Jangankan bersaing dalam teknologi antariksa, untuk berjualan di pasar tradisional saja mereka tersingkir, kalah bersaing dari para pendatang yang berdagang di Biak.

Tuntut keterbukaan

Baik Ronsumbre, Mampioper, maupun tokoh wilayah adat Swaporibo, Mananuir Yan Pieter Yarangga, sama-sama menginginkan keterbukaan informasi proyek ALS.

"Kami ini para pemilik ulayat. Jika mau melakukan sesuatu atas tanah kami, ajak kami bicara. Jika orang Biak tak merasakan manfaat keberadaan fasilitas peluncuran satelit di Biak, benih kecemburuan sosial akan muncul. Dan, itu bisa memunculkan konflik sosial di Biak," kata Yarangga.

General Manager Bandar Udara Frans Kaisiepo, Purwanto, menyadari, salah satu pekerjaan rumah terberatnya untuk menyiapkan proyek ALS adalah membuat masyarakat lokal punya rasa memiliki terhadap kehadiran bandara.

"Selama mereka tak mendapat manfaat langsung dari keberadaan Bandara Frans Kaisiepo, tentunya banyak persoalan yang akan muncul. Ini pekerjaan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Biak-Numfor, bagaimana memberdayakan masyarakat sehingga mereka bisa menarik keuntungan dari meningkatnya kegiatan di Bandara Frans Kaisiepo," kata Purwanto. (ROW)

No comments:

Post a Comment