Wednesday, September 12, 2007

Kemandirian bangsa



Bermimpi Memiliki Teknologi Canggih Sendiri

B Josie Susilo Hardianto

Sepanjang pekan lalu, secara beruntun kita mendengar informasi tentang kedatangan kapal perang canggih dari kelas korvet, Sigma, penambahan pesawat tempur canggih buatan Rusia, Sukhoi, dan rencana penggunaan Bandara Frans Kaisiepo di Biak sebagai air launch system atau ALS.

Saat menyambut kedatangan korvet baru di Dermaga Madura, Markas Komando Armada RI Kawasan Timur Surabaya, mantan Kepala Staf TNI AL Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh sampai terharu.

Hal itu dapat dipahami. Di tengah-tengah keterbatasan dana yang dimiliki, ada kebutuhan mendesak untuk menjaga kewibawaan, keutuhan, dan kekayaan negeri ini. Harga 600 juta dollar AS yang dikeluarkan untuk membeli korvet itu menjadi sepadan dengan tanggung jawab yang diemban oleh awaknya.

Namun, sebuah korvet canggih tentu saja belum cukup— bahkan dengan empat korvet sejenis—untuk mengawasi lautan Indonesia yang demikian luas.

Di udara Indonesia juga masih dibutuhkan lebih banyak pesawat tempur, lebih banyak radar. Bukan untuk menghajar musuh, tetapi semua itu diperlukan untuk menjaga diri, menjaga kedaulatan negara.

Tengok saja Singapura. Mereka memiliki kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat tempur yang lebih canggih serta sistem pertahanan yang lebih unggul.

Kalau Indonesia kemudian juga memperkuat sistem pertahanan dan senjata, hal itu wajar karena sejak lama memang dibutuhkan. Hanya saja, apakah Indonesia akan selalu bergantung pada negara lain untuk mencukupinya?

Jejak sejarah

Jika mau berbalik ke tahun-tahun awal sejarah republik ini, ada jejak-jejak yang menunjukkan kemampuan anak negeri menyerap teknologi persenjataan yang terbilang canggih pada zamannya.

Sebut saja para perintis TNI AU yang mampu mengaktifkan pesawat Cureng peninggalan tentara Jepang untuk menghujani basis tentara pendudukan Belanda di Semarang dan Ambarawa dengan bom.

Ketika dihubungi, Jumat (7/9), mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Marsekal Muda (Purn) F Djoko Poerwoko mengatakan, pada tahun 1960-an Indonesia sudah mampu membuat pesawat sendiri. Kala itu, Indonesia membeli lisensi pesawat PZL-Wilga buatan Polandia dan memproduksinya sendiri dengan nama "Gelatik".

Pada era berikutnya, para teknisi dan ahli yang dimiliki TNI Angkatan Udara mampu mempersenjatai pesawat jet latih T-Bird buatan Lockheed, Amerika. "Amerika kaget dengan itu," kata Djoko.

Yang menarik dari peristiwa itu, tutur Djoko, pada dasarnya putra Indonesia memiliki kemampuan yang memadai sehingga pesawat latih dapat dipersenjatai. Mereka mampu mengembangkan sistem persenjataan sendiri dan menambahkannya pada pesawat yang ada.

Selanjutnya, pada era yang lebih modern, TNI AU mampu meningkatkan kemampuan pesawat tempur F-5E Tiger dan F-16 Fighting Falcon yang dimiliki melalui program Modernization of Avionics Capabilities for Armament and Navigation (MACAN) dan Falcon Up.

Riset dan penelitian

Pada prinsipnya, tutur Djoko, perlu dana yang cukup untuk mengembangkan riset dan penelitian karena sesungguhnya Indonesia mampu mengembangkan sistem avionik, sistem navigasi, sistem informasi, hingga sistem persenjataan sendiri. Ia mengemukakan, sebetulnya proses alih teknologi dari pabrik pembuat pesawat sangat terbuka. "Mereka menawarkan apa yang kita perlukan," tuturnya.

Di sisi lain, kita pun, tutur Djoko, mampu mengembangkan sendiri teknologi yang dirasakan lebih tepat untuk kebutuhan Indonesia. "Kadang kita diam-diam meng-upgrade-nya," kata Djoko menambahkan.

Dengan demikian, apa yang ada di dalam kokpit Hawk 109/209 yang dimiliki Indonesia tidak sama dengan apa yang ada di dalam kokpit Hawk 108 milik Malaysia.

Dulu, ketika Indonesia membeli puluhan Mig-17 dan pesawat tempur lainnya dari Rusia karena kebutuhan mendadak, negara itu bersedia memberikan semua teknologi yang mereka miliki terkait sistem senjata itu. Untuk itu, di Malang, Jawa Timur, didirikan Depo 10 guna merawat mesin-mesin pesawat itu.

Djoko menjelaskan, dalam kerja sama pembelian senjata, terutama pesawat terbang, ada tiga tingkat perawatan yang menunjukkan tingkat teknologi yang dialihkan, yaitu O-level atau flight line, internal line, dan depo level. Tingkat tertinggi adalah depo level di mana teknologi yang dialihkan mampu digunakan untuk merawat pesawat yang mengalami kerusakan parah. Namun, umumnya perbaikan mesin masih ditangani oleh pabrik pembuatnya.

Hanya saja, biasanya tingkat alih teknologi itu terkait juga dengan jumlah pesawat yang dibeli. Jika pesawat yang dibeli hanya dua atau empat saja, tentu berbeda jika pesawat yang dibeli jumlahnya puluhan.

Mantan Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi itu mengatakan, kalau jumlah pesawat yang dibeli sedikit, pembeli hanya akan menerima barang saja, artinya si pembeli akan menjadi pengguna saja. Untuk itu, diperlukan dana lain guna mengembangkan sendiri teknologi yang diperlukan agar sistem senjata itu dapat difungsikan dengan maksimal.

Hal itu pula yang dilakukan terhadap empat Sukhoi yang saat ini dimiliki Indonesia. TNI Angkatan Udara terus mengembangkan sistem senjata sendiri untuk mempersenjatai pesawat tempur itu.

Mandiri

Saat ini teknologi yang digeluti oleh Indonesia telah melaju jauh. Namun, di sisi lain, Indonesia masih berada pada taraf pengguna saja. Bahkan, untuk teknologi antariksa, saat ini Indonesia masih menjadi penyedia tempat saja.

Ada baiknya, semua investasi yang ditanam negara lain digunakan untuk mengembangkan riset dan penelitian di bidang serupa sehingga warga tidak hanya menjadi penonton dan pengguna saja.

China, Korea, dan India telah menunjukkannya. Kemajuan teknologi yang mereka miliki telah menjadikan mereka sebagai bangsa yang tidak lagi banyak bergantung pada negara-negara produsen teknologi.

Bahkan, China dan Korea, misalnya, telah mampu menjadi pesaing bagi negara produsen teknologi itu.

Dari jejak-jejak sejarah yang dimiliki, Indonesia sebenarnya mampu melakukan hal serupa. Hanya saja, mengapa itu belum juga terjadi?

No comments:

Post a Comment