Tuesday, September 4, 2007

Pendidikan dan Karakter Kebangsaan

Komaruddin Hidayat

Perayaan 62 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia baru saja selesai kita peringati, tetapi bangunan bangsa kian rapuh sehingga mengakibatkan kemerosotan, terutama di dunia global. Sebabnya, lagi-lagi pendidikan yang terbengkalai.

Padahal, di belahan dunia yang lebih maju, generasi muda bukan saja semakin berperan, tetapi juga semakin kaya dan berkuasa. Sebut saja Sergei Brin dan Larry Page, dua pemuda berumur 28 dan 30 tahun yang mendirikan Google kurang dari sepuluh tahun yang lalu dan saat ini berada di jajaran orang paling kaya di dunia.

Demikian juga dengan Tom Anderson dan Chris deWafe yang mendirikan MySpace, situs social networking paling populer yang akhir tahun lalu dibeli oleh Intermic Media senilai 580 juta dollar AS hanya dalam waktu dua tahun sejak situs tersebut pertama kali diluncurkan.

Sebut lagi Steve Chen (28), Chad Hurley (29), dan Jawed Karim (28), yang mendirikan Youtube, situs video networking dua tahun yang lalu. Ketiga pemuda itu baru-baru ini menjual Youtube senilai 1,65 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10 triliun kepada pihak Google.

Fenomena ini harusnya membuka mata kita bahwa dunia dan kehidupan tidak lagi berjalan, tumbuh, dan berkembang secara tradisional. Setiap hari harus ada inovasi baru yang diperkenalkan dan diterapkan yang pada akhirnya mengubah cara dan gaya hidup secara drastis.

Agar kita bisa ikut tumbuh dan berkembang secara optimal, seorang manusia apalagi suatu bangsa membutuhkan kemauan dan kemampuan adaptasi yang tidak saja baik, tetapi juga kompetitif.

Budaya yang kuat

Bangsa yang maju memiliki budaya yang kuat atau bahkan ekspansif karena mampu menularkan budayanya kepada bangsa lain. Dengan kata lain, tanpa budaya yang kuat, suatu bangsa bisa jadi hilang ditelan, dipengaruhi, dikuasai, atau bahkan ditinggalkan oleh peradaban yang lebih besar dan lebih kuat.

Dalam rangka perayaan 62 tahun kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan, mari kita bertanya, budaya Indonesia yang mana yang kita miliki dan perlu kita kembangkan untuk meningkatkan peran dan kontribusi Indonesia di peradaban Asia atau bahkan dunia saat ini? Susah menjawabnya.

Mengapa karakter kebangsaan Indonesia semakin luntur atau setidaknya ’kabur’ sampai kita sendiri susah untuk mengenalinya?

Itu tidak lain karena sistem pendidikan di Indonesia tidak dikemas dan ditujukan untuk membangun suatu karakter budaya yang kuat. Sistem pendidikan nasional masih berorientasi pada pembangunan fisik, bukan pembangunan jiwa dan karakter kebangsaan.

Akibatnya, dana pendidikan belum dapat mengikuti amanah UUD 45 yang seyogianya mencapai 20 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan nasional. Namun, demi kepentingan masa depan anak cucu bangsa dalam 30 tahun ke depan, Indonesia butuh solusi, yang pragmatis, kreatif, dan segera.

Pragmatis dalam arti solusi tersebut harus betul-betul mengatasi masalah pembiayaan yang dibutuhkan sektor pendidikan nasional.

Kreatif dalam arti solusi tersebut tidak boleh lagi-lagi membebani keuangan negara yang sudah hampir lumpuh dibebani utang.

Segera dalam arti solusi tersebut ada di sekitar kita dan dapat segera diciptakan, diterapkan, dan disempurnakan terus- menerus.

Melibatkan pihak swasta

Caranya adalah dengan melibatkan dan mengarahkan pihak swasta. Perusahaan swasta, terutama multinasional, memiliki kemampuan dan kepentingan untuk membiayai peningkatan kualitas pendidikan anak bangsa. Selain itu, swasta justru lebih peka dan lebih cepat bertindak dibandingkan dengan pemerintah dalam hal mengenali dan mengatasi permasalahan sosial di sekitar wilayah usahanya.

Terakhir, perusahaan swasta, baik lokal maupun multinasional, memiliki pengaruh profesionalisme, konsistensi, dan semangat bersaing yang sangat penting untuk ditularkan terhadap insan pendidikan di seluruh Tanah Air.

Contohnya adalah kegiatan "Berbagi 1.000 Kebaikan" yang diadakan oleh PT Unilever Indonesia (ULI) melalui merek es krim Walls yang akan menyumbangkan Rp 1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma dan varian lainnya terjual. Dana yang terkumpul dari konsumen Vienneta Kurma akan disumbangkan kepada anak-anak putus sekolah melalui Dompet Dhuafa.

Unilever Indonesia, sebagai salah satu perusahaan multinasional terbesar, justru memilih cara yang sangat lokal untuk tetap memimpin di pasar global, yaitu dengan memilih kebutuhan lokal untuk dipenuhi dengan cara lokal pula.

Kegiatan sosial yang telah dilakukan oleh Vienetta Kurma layak untuk dicontoh. Akan lebih baik lagi bila banyak perusahaan yang memiliki kepedulian yang sama sehingga dapat berbagi 1.000 kebaikan bagi pendidikan.

Sementara itu, bila Walls fokus kepada perkembangan dan pertumbuhan anak-anak dalam pendidikan, barangkali dapat menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk memikirkan guru-guru sebagai orang yang memiliki peran penting dalam mendidik generasi kita di masa mendatang.

Guru juga perlu untuk diberikan pendidikan dan pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kualitas dan motivasi mereka dalam mengajar.

Hal ini penting karena nasib guru di Indonesia sangat menyedihkan, baik dari segi pendapatan maupun pelatihan. Akibatnya, banyak guru yang merasa minder dan tidak memiliki kepercayaan diri yang positif ketika menghadapi anak muridnya, terutama yang datang dari kalangan menengah atas.

Oleh sebab itu, sistem pendidikan nasional tidak pernah berfungsi seperti filosofi "busur panah" yang diperkenalkan Kahlil Gibran. Artinya, sistem pendidikan seharusnya bisa menjadi busur yang membuat setiap anak panah melesat sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya ke jantung tujuan.

Ke depan, kepedulian dan komitmen terhadap peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional harus menjadi ukuran keberhasilan dari setiap elemen masyarakat, baik tokoh agama, bisnis, politik, sosial, maupun pemerintahan.

Selain itu, perusahaan lokal dan multinasional yang memang menunjukkan komitmen nyata, pragmatis, dan solution-oriented terhadap masalah pendidikan harus diberi beragam insentif.

Suka atau tidak, pengertian kompetisi semakin bergeser ke arah penciptaan, perlindungan, dan penerapan kemampuan intelektual atau human capital di seluruh dunia. Siapkah Indonesia untuk itu?

Jawabannya adalah, pemerintah bersama pihak swasta harus bersama-sama memprioritaskan pendidikan... pendidikan... pendidikan.

Komaruddin Hidayat Rektor Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah Jakarta

No comments:

Post a Comment