Tuesday, September 11, 2007

Politik Maaf

Radhar Panca Dahana

Saat menjelang puasa seperti saat ini, saya sering tercenung bukan pada kesucian dan keistimewaan bulan itu. Namun, pada klimaksnya di hari raya Id, hari bersyukur, hari berterima kasih, yang entah kenapa juga hari bermaafan. Supaya kita pun kembali suci, bersih, dan murni, katanya. Namun, siapa pernah dapat kembali suci-murni?

Karena, beberapa saat setelah hari baik itu manusia tampaknya tak berubah. Apa yang dilakukannya sebelum bulan suci diulanginya lagi, bahkan sebelum bau ketupat hilang dari sela gigi kita. Yang pencuri, yang mengkhianati, yang korupsi, yang dengki. Maaf di kala itu tinggal menjadi simbol selebrasi, yang artifisial, tanpa efek esensial, apalagi radikal.

Namun, dalam Lebaran, maaf sudah menjadi imperatif dalam tradisi kita. Yang kemudian berusaha saya mengerti sebagai sebuah rutinitas dari disiplin purifikasi, semacam shalat bagi anak kecil. Semacam belajar malam atau tidur siang saat dulu kita kanak-kanak. Maaf jadi imperatif karena kita perlu menyesali diri, mengosongkan sebagian diri, dan memberi tempat/respek pada orang lain.

Maka ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, ia tak bisa meminta Pemerintah Malaysia meminta maaf atas kejadian pemukulan wasit karate nasional Indonesia (juga puluhan kasus mengenaskan yang menimpa TKI kita, bahkan hingga kehilangan nyawa), saya merasa—setidaknya—sang presiden membiarkan dirinya (juga bangsa yang diwakilinya) kehilangan respek alias tidak dihargai oleh orang lain.

Pasifitas yang hampir mengesankan ketidakberdayaan itu akan memberi peluang orang lain untuk terus melecehkan, menghina, dan mengasari kita. Atau sang presiden hendak menampilkan (maqam spiritual) dirinya sebagai resi. Bahwa dunia ini fana, wayang belaka, semua cuma komedi, tiada beda caci dan puji.

Sungguh luar biasa jika itu yang terjadi. Bagaimana pemimpin politik sebuah negeri bekerja bagai seorang sufi. Bisa dibayangkan. Kacaunya. Namun, syukurlah tidak. Sang presiden bisa diyakini bukan seorang resi atau sufi. Ia juga bisa marah dan kesal serta membalas serangan yang sifatnya pribadi. Banyak contohnya. Termasuk saat Zaenal Ma’arif, mantan Wakil Ketua DPR itu, meminta maaf atas tuduhannya yang dianggap menghina presiden, sang presiden tidak bereaksi—menerima maaf itu, misalnya—tetapi justru mempertahankan tuntutan hukumnya yang sudah ia laporkan ke polisi.

Maka penolakan Malaysia untuk meminta maaf, kongruen dengan sikap tetap merasa benar, seperti Zaenal tetap dengan tuduhannya. (Belakangan memang PM Malaysia konon dikabarkan menelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf—setelah demo anti-Malaysia marak di berbagai kota). Terhadap Zaenal, presiden menunjukkan diri sebagai pribadi yang tak mudah begitu saja dipermainkan. Dalam kasus Malaysia, ia mewakili kita sebagai bangsa yang "dihina atau diperlakukan apa saja" ya oke-oke saja.

Kekuatan maaf

Dalam sejarah politik internasional, posisi negara yang lemah dan subordinatif seperti di atas akan membuat negara tersebut terus mendapat tekanan hingga ke tingkat ia terdominasi penuh. Dengan hard power maupun soft power. Oleh karena itu, tak satu pun negara membiarkan dirinya tersentuh sedikit pun harkat dan martabatnya—juga sebagai sebuah bangsa—yang akan memberi peluang baginya terjurang ke dalam lembah pariah.

Negeri-negeri, seperti Korea, bahkan negeri besar macam China atau yang berkembang, seperti Filipina, tak pernah berhenti meminta Jepang untuk meminta maaf atas apa yang pernah mereka lakukan semasa Perang Dunia II. Indonesia? Tak terdengar lisannya mengucapkan tuntutan yang sama. Apalagi melakukan taktik diplomatis yang keras seperti dilakukan para tetangga.

Kita seperti tak berdaya. Kita butuh Jepang, butuh uang dan teknologinya. Soal maaf, itu perkara kepribadian, katanya. Maka kepada Belanda pun kita tak pernah mendesak mereka minta maaf. Bahkan untuk membuat mereka mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945, kita pun tak bisa. Hingga hari ini. Karena, Belanda kan pendonor utama kita.

Urusan pragmatis, perut, atau "kampung tengah" kita lebih utama ketimbang martabat dan harga diri. Satu pendirian dan posisi mental yang pasrah bongkok’an, orang kalahan/jajahan yang takluk kepada kegetiran, hampa akan daya berkorban bagi sebuah perjuangan. Sangat mengherankan bila elite dan sikap politik kita seperti itu, negeri ini mampu memerdekakan dirinya dari dominasi atas imperialisasi. Seperti masa revolusi dulu. Nyata sungguh, para pemimpin saat ini tidak mewarisi sama sekali kekuatan mental, akal, dan spiritual para founding father-nya.

Politik tak berdaya

Sebagaimana umum dipahami, psikologi manusia yang "kalahan" itu memperlihatkan jiwa yang ciut saat menghadapi manusia lain, tetapi seakan garang dalam ruang individual (internal)-nya. Di dalam negeri, politik pemerintah tampak begitu sensitif dan defensifnya dalam menanggapi kritik, protes, atau serangan-serangan dari lawan-lawan politisnya. Keluar, kita terus berada pada posisi yang minor dan tertekan.

Perjanjian terakhir dengan negara-mini Singapura, antara lain, melukiskannya. Sampai hari ini pihak Indonesia seperti tak punya daya untuk mengubah perjanjian yang ternyata lebih banyak merugikan itu. Negara-mini itu bergeming dengan kalem, membuat bola selalu di tangannya. Sementara itu, kita terus sibuk dan ribut sendiri. Departemen Pertahanan terus mengutak-atik revisi. Tak mau mengakui, revisi semacam itu hanya mengindikasikan kelemahan diplomasi, tepatnya "kekalahan" politik kita.

Siapa pun kini dapat memeriksa dengan teliti, dengan karakter politik seperti di atas, bisa jadi kita selalu menjadi pihak yang minor, takluk, atau terdominasi dalam banyak perjanjian (bilateral, khususnya) dengan negeri lain. Dalam EPA dengan Jepang, misalnya, di mana kita "menyerah" dengan tuntutan di luar naskah bahwa EPA akan berhasil bila kita lebih dulu "membenahi iklim investasi dan penegakan hukum yang konsekuen".

Dalam kompetisi global yang kian keras kini, tampaknya kita harus siap pada kerapnya pelanggaran internasional terjadi di wilayah domestik kita, di kedaulatan tanah, ekonomi-sosial-politik kita, di kedalaman jiwa dan harga diri kita. Dan kita tak merasa perlu menuntut mereka minta maaf. Itu tergantung kepribadian (sebuah over-personification, seolah negara dan politik adalah pribadi yang personal).

Seperti Lebaran kita, maaf tinggal sebagai proforma yang artifisial, palsu. Lalu kita anggap tak perlu. Sungguh berbahaya bila attitude kita yang hipokrit, kita implementasikan pada diplomasi internasional. Bahkan di dalam negeri pun, politik harus tetap punya dignity. Karena, saya pun harus minta maaf, tertulis, bahkan terpublikasi di koran nasional hanya karena menjual sandal yang mereknya sama dengan satu brand terdaftar. Saya tak bisa menganggap remeh kata "maaf". Dan bila sebaliknya, huh... tiada maaf bagi saya sendiri.

Radhar Panca Dahana Esais

No comments:

Post a Comment