Saturday, October 6, 2007

Masalah Sosial
Perdamaian Masyarakat yang Konsumtif

Cyprianus Lilik KP

Sejak kapankah partisipasi dari keterlibatan politik berakhir menjadi keterlibatan konsumen? Sejak teknokrasi developmentalis mengubah keputusan politik menjadi keputusan saintifik. Sejak kekuasaan tidak dimulai dari proses sosial di ruang publik, tetapi di kampus-kampus dan ruang-ruang birokratik.

Juga, sejak warga negara hanya menjadi konsumen dari fungsi-fungsi negara dan kehilangan hak-haknya sebagai aktor sejarah. Sejak instrumentalisme menjadi satu-satunya hubungan antarlembaga negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sejak hubungan negara dan warga adalah hubungan penyedia barang/jasa dan klien/konsumennya.

Adalah sebuah kesalahan besar untuk menyatakan kultur konsumtif itu baru lahir di era MTV. Kultur konsumtif itu sudah ada sejak negara menjadi developmentalistik. Sebuah mesin sosial besar yang mereproduksi paket-paket kewargaan yang siap dibeli warga negara dengan kepatuhan, pajak, kerusakan alam, dan penipisan berlanjut modal sosial. Kita sudah lama berlatih dan sudah sangat terlatih menjadi warga "negara-bangsa", di mana developmentalisme di dalamnya adalah pendidikan terbaik bagi masyarakat konsumen.

Negara inti dan pinggiran

Di balik developmentalisme negara terdapat nalar neoklasik tentang bagaimana konstruksi manusia modern. Hakikat kemanusiaan terpenuhi ketika di aras sosial ia memiliki kebebasan mutlak, dan di aras biologis terpenuhi segala kebutuhan kesejahteraannya. Pemenuhan tugas-tugas ini menjadi syarat mutlak untuk mengukur kinerja negara modern.

Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga di mana kemiskinan menjadi citra keseharian, penundaan kebutuhan yang pertama pun dianggap sah dan dimungkinkan secara etis. Fungsi-fungsi negara kemudian dibentuk, diletakkan, dan dikembangkan di atas dasar kebutuhan-kebutuhan ini. Fungsi melayani kebutuhan menjadikan negara sebagai sebuah sistem. Negara bukan lagi peristiwa, bukan pula dialektika pemerdekaan, negara adalah mesin sosial. Res publica berakhir di tangan nalar instrumental kekuasaan.

Sementara secara historis perkembangan developmentalisme di dunia tidak terlepas dari upaya AS membangun ruang pengaruh ekonomi politik di masa Perang Dingin. Di sana, konsep developmentalisme sebagai dasar pertumbuhan ekonomi negara ditentukan oleh definisi dan kategorisasi negara-negara inti (core) dan pinggiran (periphery). Konsep ini mengatur bagaimana pertumbuhan dan kemajuan negara-negara pinggiran tidak mengancam dominasi negara-negara inti. Untuk sentralitas diperlukan, dengan dukungan bantuan pelatihan dan pendidikan Barat melalui program-program beasiswa atau bantuan militer mereka.

Secara struktural, elite lokal (sipil, militer, birokrat, dan pengusaha) dibuat kian dependen pada struktur kekuasaan negara-negara inti. Elite nasional negara-negara Dunia Ketiga pun hanya menjadi perpanjangan dari struktur yang dominatif dari negara-negara inti terhadap bangsa-bangsa pinggiran.

Bahkan, hingga negara-negara bekas komunis sekalipun, proses developmentalisme yang membuat Dunia Ketiga menjadi negara pinggiran berlangsung mulus nyaris tanpa perlawanan. Perlahan, etos pemerdekaan yang menggelora di paruh pertama abad ke-20 dijinakkan. Pada mulanya melalui pengakuan atas kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga, disusul dengan bantuan dan "asistensi" pembangunan ekonomi dan pemberian utang jangka panjang. Lalu diakhiri dengan reintegrasi bangsa-bangsa pinggiran kembali ke struktur imperialis para neokolonialis. Sebuah proses rekolonialisasi yang lembut dan sistematis.

Partisipasi konsumtif

Negara konsumen, bangsa konsumen, lengkap dengan partai-partai penggemar fanatik sebuah produk merupakan bentuk evolusi paling mutakhir dari pengisapan negara-negara inti terhadap pinggiran. Dengan dipandu kultur konsumsi plus ilusi-ilusi identitas, sensasi kegembiraan, dan kepuasan yang direkayasa, konsumen pun menjadi satu bentuk kewarganegaraan masyarakat yang baru; masyarakat neoliberal.

Bentuk kepuasan dan jati diri masyarakat konsumen tidak hanya ditentukan dengan berapa banyak kapital yang dibelanjakan, tetapi juga sejauh mana dan secepat apa ia bisa dialirkan ke pusat-pusat empirium ekonomi. Semakin canggih dan cepat teknologi sirkulasi kapital (kartu kredit, transaksi elektronik), semakin tinggi pula gengsi seseorang dalam masyarakat konsumen. Akses kepada pusat-pusat kekaisaran modal menjadi amat penting. Kalau ini belum berhasil untuk diwujudkan, peniruan atas pusat bisa menjadi bentuk alternatif untuk membangun identitas diri dalam belantara peradaban konsumsi ini. Itulah "negara teater", menurut istilah Clifford Geertz.

Partisipasi konsumtif menjadi kunci dari politik kehidupan yang baru. Konsumsi sebagai sebentuk partisipasi, sebentuk cara dan akses, bukan hanya pada status sosial dan identitas, tetapi juga kebermaknaan dan eksistensi masyarakat baru. Kuasa imperialisme baru dimulai dengan penjungkirbalikan logika- logika sosial, seluruh sistem referensi kita tentang kebenaran dan keutamaan hidup bersama.

Apa yang dulu memberi, yakni hidup sebagai produsen dengan keterlibatan politis sebagai kerja produktif, telah diubah menjadi hidup sebagai konsumen dengan praksis konsumsi sebagai bentuk partisipasi tertinggi. Dari memberi dan mencipta, menjadi mengambil dan membeli.

Maka, kompetisi pun berlangsung dalam kegiatan konsumtif, tidak partisipatif. Alhasil, yang terjadi bukanlah prestasi, melainkan eksploitasi tanpa henti. Kita hidup di zona kelam kebudayaan yang mengisap, yang membuat konflik horizontal, perusakan warisan antropologis, dan penghancuran sumber daya alam yang kontinu. Semua bentuk eksploitatif yang terus mengakumulasi kapital ke tangan segelintir orang.

Kritik sosial: perdamaian

Di titik konsumerisme yang kian jenuh ini, kerinduan akan pembebasan pun kian menjadi. Setidaknya kerinduan akan alternatif, hidup dengan tawaran sistem yang lain. Sayangnya, pikiran atau tawaran kritis tentang itu masih amat langka. Masih dibutuhkan lebih banyak lagi pembongkaran terhadap jaringan halus hegemoni dan dominasi struktural semacam di atas.

Mungkin hal itu bisa dimulai dengan membalikkan logika konflik dalam adab yang konsumtif di atas menjadi logika relasional yang penuh damai, secara ekonomis, ekologis, dan kultural. Melakukan transformasi sosial, mengubah konflik jadi perdamaian. Dari sini mungkin alternatif baru dapat dirintis.

Yakni, sejauh mana kita bisa menjadikan pengalaman dan kesadaran hidup bersama sebagai basis moral untuk saling memberi dan berbagi. Sejauh mana pula kita bisa menjadikan kelangkaan sumber daya—yang akan kian jadi teror—sebagai dasar untuk hidup dalam nasib yang sama; mengembangkan apa yang ada jadi kelimpahan yang mendamaikan. Suatu kedamaian yang korektif dan kritik terkuat bagi semua bentuk eksploitasi, dan tentu imperialisme.

Cyprianus Lilik KP Pemerhati Sosial, Tinggal di Yogyakarta

No comments:

Post a Comment