Monday, November 19, 2007

726 Bahasa Daerah Terancam Punah



Bisa Dipelihara Melalui Komunitas

Bandar Lampung, Kompas - Sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa tersebut. Bahkan, kini hanya tersisa 13 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta orang, itu pun sebagian besar generasi tua.

"Anak muda sekarang cenderung memakai bahasa asing dan bahasa nasional daripada bahasa daerah di dalam kehidupan sehari-harinya," kata Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa Mustakim di sela-sela Kongres Bahasa-bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandar Lampung, Selasa (13/11).

Menurut Mustakim, sebanyak 13 bahasa daerah yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta penutur adalah Bahasa Jawa, Bahasa Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Bahasa Sasak.

Bahkan, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta bahkan hanya tinggal puluhan penutur saja. Di antaranya bahasa di daerah Halmahera, Maluku Utara, yang jumlah penuturnya sangat terbatas.

Salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan jumlah penutur adalah akibat pengaruh budaya global. Pengaruh budaya itu menyebabkan generasi muda lebih suka berbicara dengan menggunakan bahasa nasional Bahasa Indonesia, sesekali diselingi dengan menggunakan bahasa asing, daripada dengan bahasa daerah.

Cinta bahasa daerah

Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Dhanardana mengatakan, untuk menumbuhkan dan melestarikan bahasa daerah, Pusat Bahasa bekerja sama dengan balai-balai bahasa di setiap provinsi di Indonesia menggiatkan kembali kecintaan generasi muda pada pemakaian bahasa daerah. Selain itu, pemakaian bahasa daerah bisa digarap melalui komunitas-komunitas sastra, lembaga-lembaga bahasa, ataupun jalur pendidikan formal di sekolah.

Akan tetapi, tindakan yang lebih konkret untuk mempertahankan bahasa daerah adalah dengan menerapkan langsung bahasa daerah itu dalam kehidupan sehari-hari.

Mustakim mencontohkan, bahasa daerah juga bisa dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesia.

Lebih lanjut Mustakim mengatakan, pemerintah sebetulnya juga telah menunjukkan keberpihakannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. "Peraturan itu seharusnya bisa menjadi pedoman setiap kepala daerah melestarikan bahasa daerah masing-masing," kata Mustakim.

Meski demikian, menurut Mustakim, peraturan yang paling mengikat untuk bisa melestarikan bahasa daerah dan menghindarkan dari kepunahan adalah diterbitkannya undang-undang bahasa. (HLN)

No comments:

Post a Comment