Monday, November 19, 2007

Kehidupan Sosial


Pondok Indah dan Perubahan

Rhenald Kasali

Perlawanan orang-orang Pondok Indah, Jakarta, terhadap pembangunan busway, meski terbilang peristiwa kecil di negeri ini, mencerminkan betapa rumitnya bangsa ini menghadapi perubahan.

Pemimpin dan yang dipimpin sama-sama keukeuh dengan pendiriannya dan menutup pintu percakapan. Padahal, tidak perlu diragukan lagi, semua orang menginginkan perubahan. Seperti warga Jakarta lainnya, penduduk Pondok Indah (PI) juga ingin punya jalan yang lebih bagus, fasilitas publik yang memadai, pelayanan kesehatan yang maju, pusat belanja yang lengkap, dan tentu saja investasi rumah yang nilainya terjaga. Dan, seperti warga perumahan lainnya, yang terjadi warga justru membangun portal dan menutup akses. Padahal, untuk perubahan semua harus berani berkorban. Namun, perubahan memerlukan lebih dari sekadar pengorbanan, yaitu dialog, kebersamaan, dan akal yang jernih.

Pengorbanan rakyat

Jauh sebelum PI ada, bagi saya ujung selatan Kota Jakarta adalah Kebayoran. Tahun 1960-an saya menghabiskan masa kanak-kanak saya di Jalan Radio Dalam yang jalannya belum beraspal. Kalau hujan turun, Jalan Radio Dalam selalu penuh lumpur dan banyak orang terpeleset.

Ujung Kebayoran Baru ada di ujung jalan itu, tepatnya di kawasan dekat kebun-kebun karet tempat kegiatan pramuka. Namanya Margaguna. Setelah itu, tidak ada jalan tembus sebelah selatannya. Sekarang Margaguna masih ada, namun ia bukan ujung lagi karena pada akhir tahun 1970-an sebuah kawasan mewah telah berdiri di sebelahnya, yaitu PI. Kawasannya sangat luas dan rumahnya besar-besar.

Untuk menghidupkan kawasan PI, mau tidak mau akses jalan di sekitarnya harus dibuka. Jalan Radio Dalam pun dilebarkan dan diaspal. Seingat saya, lebih dari separuh luas halaman rumah kami diambil negara demi pelebaran jalan dan jadilah kami korban gusuran.

Pengorbanan penduduk tidak terbatas hanya itu saja. Kawasan permukiman yang tadinya akrab, berubah menjadi kawasan dagang yang resmi, berjarak, bising dan macet, namun harga tanahnya melonjak.

Bukan ujung Jakarta lagi

Akses Jalan Radio Dalam yang dibuka menjadikan kawasan itu bukan ujung lagi. PI-lah ujungnya. Namun, sekarang PI sudah bukan ujung Jakarta lagi. Di sebelah selatannya telah berkembang kawasan-kawasan permukiman yang lebih baru. Bahkan, ia menjadi jalan utama bagi sepak bola mania yang akan menuju Stadion Lebak Bulus. Namun, jalan PI tetap ramping dan asri dengan jalan-jalan perumahan.

Dari posisinya yang semula di ujung, PI berubah menjadi titik sentral penduduk kawasan selatan Jakarta. Pusat perbelanjaannya berubah menjadi sangat besar dengan fasilitas fitness dan bioskop yang modern. Rumah sakitnya juga besar. Bank, kafé, laundry, lapangan golf, boling, dan hotel semua ada di sana. Aksesnya pun terbuka pada berbagai sisi. Semua itu menjadikan harga rumah di Pondok Indah menjadi sangat tinggi dan digemari bukan hanya oleh para eksekutif dan politisi, melainkan juga artis-artis muda yang sedang populer.

Perubahan yang terjadi perlahan-lahan tentu saja tidak begitu terasa kalau Anda bukan orang lama yang mengenal kawasan itu. Yang mereka tahu cuma jalanan makin hari makin macet, tempat usaha makin banyak, dan sebagian penduduknya mulai merasa tidak nyaman.

Dengan permukiman baru yang melingkarinya, mau tidak mau penduduk harus berbagi jalan. Tetapi, bukannya dibuka, banyak akses jalan alternatif di situ malah ditutup dengan portal-portal besi. Bagi pengguna jalan ini sungguh keterlaluan. Adapun sebagian jalan yang menghubungkan ke luar menuju jalan tol, diberi banyak polisi tidur sehingga mobil harus berjalan perlahan-lahan. Di sana tertulis: Bukan Jalan Umum.

Percakapan perubahan

Apa yang terjadi di sini tentu saja bukan hanya monopoli warga PI. Di mana-mana di negeri ini terdapat kecenderungan masyarakat untuk menutup akses bagi orang lain. Mereka menutup jalan menuju sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, tempat belanja, jalan tembus, dan permukiman penduduk lama. Para pendatang itu merasa, merekalah yang paling berhak memakai dan menguasai kawasan karena mereka pulalah yang merawat dan membiayainya.

Benturan yang terjadi di jalan akses PI, saat Pemprov DKI akan membangun busway sebenarnya bukan masalah kecil. Rasa kepemilikan yang begitu besar di kawasan permukiman tentu berbeda dengan rasa kepemilikan penduduk di sekitar jalan-jalan protokol/perkantoran yang saat dijalankan proyek busway tidak menimbulkan protes warga sekitar. Sikap dasar manusia sebenarnya sederhana saja, yaitu ingin tempat tinggalnya asri dan aman.

Pembangunan busway, meski menimbulkan banyak perdebatan, sebenarnya didasari niat yang baik, yaitu memperbarui transportasi massal. Pembaruan atau perubahan tentu saja memerlukan kesepahaman dan energi yang sangat besar. Keterdesakan (sense of urgency) untuk mengatasi kemacetan telah mendorong gubernur bekerja cepat. Tetapi, kala ia menembus kawasan permukiman, perubahan fisik saja tidaklah cukup. Perubahan itu harus menyentuh mindset, sikap mental atau cara berpikir masyarakat dan aparat. Sebab, saat satu komponen berubah, keseluruhan sistemnya pun dituntut berubah.

Kita tidak bisa menyimpulkan begitu saja bahwa penduduk menutup jalan karena ego mereka. Sikap itu dibentuk oleh pemahaman, pengalaman, dan persepsi masyarakat tentang pengorbanan. Kala pengorbanan terhadap perubahan dirasa lebih besar dari benefit yang akan diterimanya, maka resistensi mencuat. Ini adalah sisi lain dari perubahan yang perlu diatasi pemerintah-pemerintah daerah.

Di sisi lain, sikap pemprov yang membangun busway di jalur yang sempit dan mengorbankan lingkungan asri yang dibutuhkan warga telah menambah lebar persepsi sebagai looser (kerugian, kekalahan).

Dalam setiap perubahan diperlukan percakapan. "Everything happens through conversation" kata Judith G Glaser dalam bukunya, The DNA of Leadership. Bahasa dan cara-cara yang kita pakai dalam berkomunikasi akan menentukan komunitas, hubungan, peradaban, dan masa depan. Kita harus memilih, apakah ingin terus mempertahankan budaya saling menyalahkan (culture of blame) dengan saling menunjuk hidung, fokus pada apa yang tidak bisa dikerjakan oleh orang lain, atau budaya saling menghargai (culture of appreciating), dan fokus pada apa yang bisa kerjakan bersama. Mari kita bangun peradaban yang lebih sehat.

Rhenald Kasali, Staf Pengajar UI

No comments:

Post a Comment