Monday, February 25, 2008

Anggaran Pendidikan


Siasat Angka 20 Persen

Pesuruh sekolah, Sukarni, merapikan tangga di bawah atap yang jebol di SLB-C1 Sumber Asih I di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (20/2). Dimasukkannya gaji pendidik dalam 20 persen anggaran pendidikan menyebabkan rehabilitasi sekolah makin sulit dilakukan.
Senin, 25 Februari 2008 | 00:58 WIB

Indira Permanasari

Angka 20 persen mendadak istimewa. Untuk pertama kalinya kata-kata ”mencerdaskan bangsa” berupaya diterjemahkan secara nyata, setidaknya dari segi anggaran. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan hal serupa.

Sejak itu bolak-balik angka 20 persen dipersoalkan. Aktivis pendidikan tak bosan-bosan menagih janji pemenuhan persentase itu. Pemerintah dan DPR pun mulai ”tawar-menawar” agar pemenuhan 20 persen tersebut dapat dilakukan secara bertahap.

Hasilnya? kenaikan anggaran pendidikan disepakati bertahap hingga tercapai persentase tersebut pada tahun 2009.

Pada 19 Mei 2004, pemerintah dan DPR sepakat penahapan pencapaian dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

Dalam periode 2004-2009 disepakati anggaran pendidikan berturut-turut mencapai 6,6 persen, 9,29 persen, 12,01 persen, 14,68 persen, 17,40 persen, dan 20,10 persen. Komitmen itu dikuatkan pada 4 Juli 2005.

Sudah tawar-menawar pun ternyata target kenaikan anggaran pendidikan per tahun lagi-lagi meleset. Anggaran pendidikan tahun 2008 misalnya, baru sekitar 12 persen. Para hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi pun ikut sibuk menghadapi permohonan pengujian Undang-Undang APBN yang jumlah anggaran pendidikannya masih jauh di bawah amanat.

Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengajukan permohonan pengujian ke MK terhadap UU No 13/2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2006. Pernah pula dilakukan pengujian UU No 18/2006 tentang APBN Tahun Anggaran 2007 dengan alasan yang sama oleh pemohon Prof DR H Mohamad Surya.

Keputusan mengejutkan

Kini dunia pendidikan dikejutkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi soal dimasukkannya gaji guru dalam perhitungan anggaran pendidikan. Keputusan itu berawal dari gugatan seorang guru dan seorang dosen yang berpandangan, seharusnya gaji pendidik masuk dalam perhitungan anggaran 20 persen. Alhasil, anggaran pendidikan 2007 yang semula dihitung-hitung hanya 11 persen siuuuttt...melonjak menjadi 18 persen!

Pengamat dan pemerhati pendidikan pun dengan sedih berkomentar betapa keputusan itu merupakan kemunduran, kehancuran, bahkan lonceng kematian bagi dunia pendidikan. Komentar suram itu tak lepas dari pengalaman selama ini betapa sulitnya membuat pendidikan menjadi prioritas dalam anggaran.

Pendidikan diperlakukan layaknya dagangan. ”Tawar-menawar” anggaran pendidikan mencerminkan betapa pendidikan dipandang sebagai biaya dan beban. Bukan sebagai pemenuhan pelayanan hak dasar warga negara.

Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto sempat berkomentar, betapa mirisnya kondisi pendidikan saat ini. Mengutip UNDP dalam terbitannya bersama Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BPPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, pada tahun 2001 anggaran pendidikan Indonesia sekitar 10 persen dari APBN (atau 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto). Adapun pada tahun yang sama, Thailand mencapai 30 persen dari anggaran negara, Myanmar 18 persen, dan Butan 16 persen dari anggaran negara. Dalam publikasi The Economics of Democracy 2004, Indonesia mendapat gelar ”poor performance by international standart”.

Masih menyedihkan

Dunia pendidikan Indonesia masih menyedihkan. Untuk akses pendidikan dasar misalnya, daerah yang Angka Partisipasi Kasar atau APK level SMP masih kurang dari 80 persen sebanyak 111 kabupaten/kota dan tujuh provinsi hingga akhir 2007. Masih terdapat daerah yang APK SMP di bawah 50 persen seperti Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat dengan APK SMP sederajat baru 46,92 persen dan Kabupaten Yahukimo di Papua yang baru mencapai 48,32 persen.

Jumlah guru yang berkualifikasi di bawah S-1 dan D-4 masih tinggi, yakni 1.457.000 orang atau sekitar 58,3 persen.

Pendidikan bermutu membutuhkan biaya yang sangat besar. Sayangnya, sampai saat ini pendidikan baru menjadi katalog jualan indah untuk kampanye politik. Begitu terpilih, yahhhh barangnya tidak seperti diharapkan!

No comments:

Post a Comment