Saturday, February 23, 2008

Yaa Qawiyyu, Pesta Rakyat di Jatinom


Berjualan Apem Lebih Untung
Sabtu, 23 Februari 2008 | 13:55 WIB

Tariyah menyuap nasi berlauk kering tempe ke mulutnya. Bekalnya hampir habis. Perutnya yang lapar membuatnya tidak terlalu peduli dengan ratusan orang yang hilir mudik di hadapannya. Tariyah bersama sekitar 40 ibu seusianya dan anak-anak mereka duduk di tepi teras Masjid Besar Jatinom menyantap bekal dan melepas lelah.

Mereka baru saja menempuh perjalanan dua jam dari tempat tinggal mereka di Kartasura, Sukoharjo, menuju Jatinom, Klaten, demi menyaksikan perayaan sebar apem Yaa Qawiyyu, Jumat (22/2).

Jarak tempuh sebenarnya tidak jauh, sekitar 20 kilometer. Akan tetapi, karena menumpang sepur kelinci, perjalanan pun makan waktu lama. Mereka pun harus jalan kaki lebih dari dua kilometer karena sepur kelinci diparkir jauh dari lokasi Yaa Qawiyyu.

Meski akhirnya tidak bisa menyaksikan sebar apem dari dekat karena puluhan ribu pengunjung memenuhi lokasi tersebut, Tariyah tetap senang bisa memuaskan rasa penasarannya.

Tradisi yang diperingati setiap hari Jumat tanggal 12-20 bulan Sapar kalender Jawa sejak tahun 1600-an ini erat kaitannya dengan Ki Ageng Gribig, leluhur Jatinom. Ki Ageng Gribig adalah keturunan Raja Brawijaya dari Majapahit. Dia suatu saat pergi ke tanah suci dan membawa air zam-zam dan roti gimbal sebagai buah tangan.

Sayang, oleh-oleh itu tak cukup dibagikan ke semua tamu. Maka, ia meminta sang istri membuat kue mirip roti gimbal yang dinamakan afwan, yang artinya maaf. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi apem. Apem lantas dibagikan ke seluruh santri dan warga yang datang ke Masjid Besar.

Sejak itu, setiap tahun peristiwa itu dijadikan tradisi pembagian apem yang bertujuan sebagai sarana silaturahmi warga. Sejak tahun 1980-an, sebar apem dipindahkan ke tanah lapang karena halaman muka masjid tidak mampu lagi menampung pengunjung yang semakin membeludak.

Puluhan ribu orang memenuhi tanah lapang untuk berebut kue apem yang dianggap membawa berkah. Bagi warga Jatinom, tradisi ini membawa dampak ekonomi yang luar biasa. Sejak pekan sebelumnya, pasar malam yang menawarkan bermacam barang selalu ramai dikunjungi. Penjual kue apem yang memadati tepi jalan menuju Masjid Besar ikut kebagian rezeki.

Mitro Rejo (50) memilih tidak berjualan sayur yang menjadi pekerjaannya sehari-hari agar bisa berjualan apem. Dibantu anaknya, Rumiyati (25), ia bisa membawa pulang Rp 500.000 hasil penjualan apem. Dari menjual sayur, ia mendapat Rp 150.000 per hari.

Kepala Kantor Pariwisata Kabupaten Klaten Joko Wiyono mengatakan, terciptanya efek berantai untuk warga sekitar adalah harapan utama penyelenggaraan ajang tersebut. "Penghasilan untuk kantor pariwisata tidak seberapa," katanya usai mendampingi Bupati Klaten Sunarna dan Wakil Bupati Klaten Samiadji. (eki)

No comments:

Post a Comment