Jumat, 15 Februari 2008 | 03:13 WIB
Oleh: Priyo Suprobo
Hasil pemeringkatan perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta yang dimuat majalah Globe Asia amat mengagetkan.
Pada edisi Februari 2008, majalah ini menempatkan Universitas Pelita Harapan (UPH)—yang sekelompok dengan majalah itu— sebagai ranking kedua di bawah UI mengalahkan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) terkemuka di Indonesia.
Contoh, total score UPH (356) ”diposisikan” mengalahkan lima PTN besar seperti UGM (338), ITB (296), IPB (283), Unair (279), dan ITS (258). Begitu pula terhadap PTS terkemuka seperti Trisakti (263), Atma Jaya (243), Unpar (230), dan Petra (151).
Sebagai seorang akreditor perguruan tinggi yang mengakreditasi PTN-PTS, terasa ada keanehan dalam ”pemosisian” ranking oleh Globe Asia.
Keanehan pertama, Globe Asia menggunakan aneka kriteria yang meski ”mirip” lembaga pemeringkat internasional, tetapi memberi ”bobot” berbeda. Contoh, bobot fasilitas kampus 16 persen, tetapi bobot kualitas staf akademik (dosen) 9 persen. Lebih parah lagi, kualitas riset dibobot 7 persen.
Keanehan kedua, subkriteria fasilitas kampus tidak memasukkan kapasitas bandwidth sebagaimana standar akreditasi.
Keanehan ketiga, sistem membandingkan yang tidak berbasis kaidah logis dasar apple to apple (kesederajatan).
Standar akreditasi
Menilik standar akreditasi, ada akreditasi dalam negeri (Dikti), regional asia (Asia University Network), maupun akreditasi pemeringkatan dunia (THES, Jiao Tong, Webbo). Akreditasi dalam negeri, regional, dan dunia menggunakan kriteria dan key performance indicator (KPI) yang ”logis secara akademis”. Artinya, meski bervariasi, kriteria itu benar-benar menunjukkan ”jaminan mutu” dari input, proses, sarana pendukung, hingga outcome. Dari kriteria dan subkriteria itu, tidak ada yang hanya menunjukkan keunggulan ”kemewahan lifestyle”. Demikian juga membandingkan universitas dengan institut, yang nature kriterianya pasti berbeda.
Maka, ranking yang dilakukan Globe Asia dikhawatirkan menjadi ”penipuan” informasi yang bubble kepada publik. Penipuan ini menjadi meluas saat dirilis begitu saja oleh sebuah koran sore.
Mungkin fenomena ini adalah akibat komersialisasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah menjadi komoditas ”empuk” untuk menaikkan status sosial pemilik guna meraup keuntungan besar. Di tangan para penyulap bisnis, pendidikan dikelola dengan citra lifestyle, bukan dengan citra qualistyle (gaya kualitas). Mereka menyusun ranking sesuai kekuatan yang dimiliki, tetapi menyembunyikan kelemahan yang seharusnya menjadi kriteria akreditasi. Akibatnya, segala cara akan dilakukan agar target meraih mahasiswa selama periode marketing tiap awal tahun (Februari-Juli) dicapai dengan memuaskan.
Mengganggu PTN-PTS
Bubble informasi yang dilakukan Globe Asia untuk menaikkan citra UPH itu secara langsung akan mengganggu citra beberapa PTN maupun PTS yang dikelola dengan kaidah jaminan mutu yang baik. Sebagai gambaran, sistem Webbo Rank (Juli 2007), yang merupakan sistem akreditasi dunia pada penekanan kriteria kerapian manajemen data, menempatkan PTS terkenal di kawasan timur, Universitas Petra, pada ranking ke-49 se-Asia Tenggara, UGM dan ITB ranking ke-12 dan 13. Padahal, Webbo Rank adalah sistem dunia yang dianggap ”paling sederhana”.
Karena itu, sebagai regulator, pemerintah bersama masyarakat sudah saatnya secara aktif mengawasi pola komersialisasi pendidikan yang dampaknya menggunakan cara-cara tidak fair dalam merekrut mahasiswa.
Hasil kerja Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang membuat 15 standar penilaian, antara lain tata kelola kepemimpinan, fasilitas lab, alumni, jumlah guru besar (tidak perlu harus expert asing), rasio dosen-mahasiswa, prestasi mahasiswa, hingga rasio antara jumlah peminat dengan yang diterima, merupakan kriteria yang amat lengkap untuk menunjukkan daya saing suatu perguruan tinggi.
Daya saing pendidikan tinggi sebagaimana diamanatkan dalam konsep strategis Higher Education Long Term Strategy (HELTS) Dikti harus dicapai dengan sistem penjaminan mutu yang benar sehingga hasilnya bisa dilihat, salah satunya dengan kriteria akreditasi yang logis secara akademis, bukan logis secara bisnis.
Priyo Suprobo Rektor ITS; Tim Akreditasi PT-Ditjen Dikti Depdiknas
No comments:
Post a Comment