Tuesday, February 5, 2008

Imlek dan Harmoni dengan Alam


Selasa, 5 Februari 2008 | 01:46 WIB

Andika Hadinata

Tanggal 7 Februari 2008, kalender China memasuki angka 2559. Namun, menjelang Imlek, Tanah Air diterjang banjir, menewaskan beberapa orang dan mengakibatkan kerugian material.

Diperkirakan, banjir masih akan mengancam berbagai kawasan di Tanah Air pada Februari dan Maret 2008.

Banjir sudah menjadi bagian hidup kita dan diabadikan dalam aneka peradaban. Dalam sejarah Tiongkok kuno, misalnya, dikisahkan Yao bersama tujuh orang, atau Fa Li bersama istri dan anak-anaknya yang selamat dari banjir dan gempa bumi.

Menghargai alam

Apa kaitan banjir atau bencana dengan Imlek?

Imlek adalah perayaan kaum petani di Tiongkok kuno saat menyambut pergantian musim, dari musim dingin menuju musim semi. Kata Imlek dari dialek bahasa Hokkian, artinya penanggalan bulan atau yinli (Mandarin). Di Tiongkok, Tahun Baru Imlek lebih dikenal dengan Chunjie, perayaan musim semi. Kegiatan perayaannya disebut Guo Nian (memasuki tahun baru). Di Indonesia hal ini dikenal dengan Konyan.

Maka, Imlek sebenarnya menyimpan semangat penghargaan pada alam. Seperti bangsa-bangsa kuno lainnya, saat itu para petani Tiongkok mempunyai kosmologi atau pandangan tentang alam semesta yang harus selalu dijaga kesakralannya sehingga setiap pergantian musim, saat menanam benih atau memanen, selalu disertai ritual khusus bagi Sang Pencipta. Jadi, sebagai suku bangsa primitif, prinsip sakralisasi alam dipegang teguh.

Hadirnya agama-agama Tao, Konghucu, atau Buddha memberi nuansa keagamaan pada Imlek. Agama-agama ini memperkaya kepercayaan para petani untuk menghargai alam semesta. Bahkan, saking menghargai alam semesta, umat Buddha, misalnya, dilarang membunuh nyamuk atau menebang pohon. Intinya sesama makhluk hidup harus dijaga dan dihormati.

Agama Tao dengan prinsip Yin dan Yang meyakini, alam semesta selalu mengandung dua prinsip ini. Prinsip ini di antaranya juga mengajarkan agar manusia selalu menjaga harmoni dan keselarasan. Etika Konghucu mengajarkan agar kita tidak melakukan sesuatu yang menyakitkan atau merusak alam yang di dalamnya terangkum sesama manusia. Sedikit saja keselarasan diusik, manusia harus menanggung bencana dan malapetaka.

Merusak alam

Rasanya, ajaran-ajaran ini relevan dengan kita, khususnya jika dikaitkan dengan banjir atau bencana alam. Jika dicari, akar masalah banjir di Jakarta, Jawa Timur, dan berbagai tempat semua bermuara pada sikap kita yang tidak menghargai alam. Penggundulan hutan 3,8 juta hektar per tahun membuat kondisi lingkungan dan hutan di Jawa tinggal 4 persen dari luas Pulau Jawa, jauh di bawah tingkat 30 persen yang dikatakan titik keamanan minimum. Ini contoh betapa manusia semena-mena pada alam.

Reklamsi pantai Jakarta menjadi tak berarti saat di sana dibangun perumahan. Hal ini diyakini menjadi penyebab banjir Jakarta. Prof John Rennie Short dalam buku Urban Theory, A Critical Assessment (2006) mengingatkan, kekurangpekaan pengelola kota negara atas masalah lingkungan bisa memunculkan wounded cities, kota-kota terluka. Warga Jakarta sudah merasakan luka akibat banjir.

Sebenarnya reklamasi pantai, pembangunan tol, atau pembabatan hutan bisa dikategorikan contra naturam, melawan hukum alam. Manusia menunjukkan arogansinya bisa mengalahkan alam. Maka, semangat Imlek yang dihayati para petani di Tiongkok kuno untuk selalu menjaga keselarasan dengan alam menemukan relevansinya.

Berbagai pandangan itu senada dengan ecotheology yang muncul awal 1970-an karena maraknya krisis lingkungan hidup. Ekoteologi seperti dicetuskan Jack Rogers, Annie Dillard, atau John Cobb Jr dan lainnya hendak menekankan interelasi antara Allah dan alam, di dalamnya termasuk manusia. Artinya, jika kita merusak hutan, sama dengan melawan Allah. Singkatnya, ekoteologi hendak menggarisbawahi pentingnya dikembangkan praksis pembebasan manusia dan alam dari segala bentuk tirani dan eksploitasi, dan itu menjadi ekspresi penghargaan kepada Sang Pencipta.

Maka, Imlek tahun ini selayaknya dijadikan momentum menjaga harmoni dengan Tuhan, sesama warga, dan alam sekitar.

Gong xi fa cai dan Xin Nian Kuaile 2559.

Andika Hadinata Rohaniwan; Pegiat Lingkungan, Tinggal di Roma, Italia

No comments:

Post a Comment