Oleh Nengah Sudja
Artikel Muhamad Reza, ABB Corporate Research, Power Technologies, Swedia, ”Angkut Batu Bara atau Alirkan Listrik?” (Kompas, 27/2) patut diberi masukan balik. ”Mengangkut batu bara dari lokasi penambangan di Sumatera menggunakan transportasi kereta api, kapal laut, atau membangun pembangkit listrik di lokasi penambangan batu bara di Sumatera, mengalirkan listrik ke Jawa dengan saluran transmisi tegangan tinggi”.
Masalah di atas dibahas pada workshop BPPT, On Sumatera-Jawa Electricity Interconnection, 15-16 Januari 1992 di Jakarta. Oleh Perum PLN (Some Economic Considerations Of Java-Sumatera Interconnection, ABB Swedia (Indonesian Mine Mouth), EdF Perancis (Experience of EdF in the Field Of HVDC, Submarine Links).
PLN menghitung untuk jalur transportasi/saluran: 350 kilometer dari Bukit Asam-Panjang (Lampung), 40 kilometer Panjang-Suralaya (Selat Sunda), dan 150 kilometer Suralaya-Jakarta, biaya investasi saluran HVDC 3.000 MW: 1.928 juta dollar AS. Biaya penyaluran dihitung 1,70 sen dollar AS per kWh. Biaya transportasi batu bara dengan kereta api/kapal antara 10-17 dollar per ton, menghasilkan biaya 0,3-0,4 sen per kWh untuk batu bara 5.000-6.000 kcal per kg. Kalau dipakai batu bara lignit 2.000 kcal per kg ( umum dipakai di Ruhr, Jerman), biaya transportasi 0,75-1,2 sen per kWh. Biaya alirkan listrik lebih mahal daripada transportasi batu bara. Apa dewasa ini investasi HVDC ABB lebih kompetitif?
Transportasi kereta api/kapal maupun saluran transmisi proyek padat modal. Teknologi transportasi batu bara lebih sederhana, bisa dibangun bertahap disesuaikan kebutuhan. Agar berfungsi efektif, saluran HVDC perlu dibangun sebagai satu kesatuan. Transportasi bisa mengangkut barang dan manusia. Saluran listrik hanya angkut elektron. Secara ekonomi-sosial, transportasi kereta api/kapal memberikan manfaat (benefit) lebih besar. Peralatan transportasi dapat diproduksi di dalam negeri. Saluran HVDC ( dengan kabel laut) diimpor pakai devisa. Saluran HVDC 3.000 MW maksimal bisa mengangkut batu bara setara dengan 10 juta ton per tahun. Dengan investasi sama, transportasi bisa mengangkut lebih banyak batu bara. Kapal mudah dipindahoperasikan ke lokasi lain.
” ...mengalirkan 1.000 MW listrik sejauh 1.000 kilometer menggunakan transmisi listrik arus searah (600 kilovolt) adalah pilihan paling ekonomis, dengan biaya pembangkitan listrik di titik beban jatuhnya sebesar 3,5 sen dollar AS”. Teknologi apa yang dipakai agar bisa semurah itu? Di mulut tambang cadangan air langka. Pendinginan PLTU perlu menara pendingin yang mahal. PLTU batu bara di Jawa dapat dibangun di pantai dengan pendingin air laut yang lebih murah.
”Kebutuhan listrik yang meningkat amat tinggi di Jawa-Bali mungkin menuntut kombinasi solusi dengan sebagian pembangkit listrik tetap dibangun di Jawa dan sebagian lagi di dekat lokasi penambangan batu bara di luar Jawa, dengan segala peluang maupun risikonya dari sisi ekonomi, teknis, lingkungan, bahkan sosial dan politik”. Tetapi jangan lupa unsur waktu (timing)-nya. Tahun 1992 ketika beban puncak listrik Jawa/Bali 6.000 MW, pembangunan saluran HVDC 3.000 MW, jelas belum waktunya ditinjau dari keandalan sistem. Ada kaitan antara besaran beban sistem dan besaran daya salur HVDC agar gonjangan frekuensi tidak menyebabkan gangguan total bila terjadi gangguan pada saluran HVDC. Gangguan HVDC/kabel laut dapat berlangsung lebih lama, berdampak lebih besar daripada gangguan pasokan transportasi batu bara. Gangguan pada Februari 2008 bukan masalah perencanaan sistem (perlu ada HVDC), tetapi masalah operasi sistem, manajemen aset (perbaikan dan pemeliharaan), serta logistik batu bara.
Menteri Negara Riset dan Teknologi (BJ Habibie) memanggil PLN serta Direktorat Jenderal Listrik dan Energi Terbarukan, mempertanyakan mengapa dipilih perluasan PLTU Suralaya, bukan penyaluran listrik HVDC dari mulut tambang ke Jawa. Setelah diskusi, disepakati pembangunan PLTU Batubara Suralaya diteruskan.
”Maka, yang terpenting, solusi harus dipilih dengan menimbang semua aspek (sistemik). Bila perlu, dilakukan penelitian yang teliti dengan melibatkan pihak publik, baik dari kalangan akademisi maupun industri, hingga keputusan terbaik dapat diambil”. Yang terpenting, profesionalisme ditegakkan. Urusan publik dipertanggungjawabkan secara transparan, partisipasi publik dilibatkan karena akhirnya masyarakatlah yang menanggung dampaknya. Di Swedia pasti begitu, kami iri, di negeri tercinta ruang publik belum dibuka sepadan, walaupun demokrasi dikumandangkan? Pembangunan 20.000 MW selesai 2009, tanpa studi kelayakan, jelas tidak berlandaskan kaidah perencanaan sistem. Tidak mengacu pada kebutuhan sistem, tapi bikin proyek.
Nengah Sudja Peneliti Energi
No comments:
Post a Comment