Wednesday, March 12, 2008

Kebudayaan yang Hampir Punah...


Oleh Irma Tambunan

Hidup kami ini sekarang seperti cacing. Di mana tanah hidup, di situ kami juga bertahan hidup. Kalimat tersebut keluar dari mulut Tumenggung Sapii, Ketua Adat suku Bathin Sembilan di Desa Nebang Para, Sungai Bahar, Muaro Jambi, saat mengenang tanah adatnya yang telah berganti menjadi kebun sawit sejak 30 tahun lalu. Kalimat itu terdengar lirih, tetapi penuh makna tentang bagaimana satu kelompok suku tergusur dan hampir punah.

Menurut Tumenggung, semula hutan di desanya berlimpah dengan pohon yang menghasilkan buah untuk warga. Namun, kini sebagian besar hutan diliputi tanaman sawit, yang digarap inti maupun plasma oleh sejumlah perusahaan swasta dan BUMN.

Sejak hutan berganti menjadi kebun sawit, masyarakat resah akan nasibnya. Janji kompensasi atau tawaran kemitraan dari perusahaan sempat menggairahkan mereka. Mereka terus menanti, namun hingga awal 2008 banyak yang masih menunggu tanpa kejelasan.

Mereka sebagai penghuni pertama kawasan tersebut menyadari keberadaannya semakin terusir. Bagi yang tidak mendapat bantuan rumah dari pemerintah, membangun gubuk kecil di pinggiran kebun untuk bertahan hidup menjadi suatu pilihan.

Datuk Mustar, warga suku Bathin Sembilan di tepi Sungai Penyerukan, Sungai Bahar, juga mengenang sedihnya saat mengetahui hutan adat mereka menjadi kebun sawit. Padahal, awalnya dia ingin menolak ketika sebuah perusahaan masuk. Saat sosialisasi berlangsung, ia sempat mengingatkan kepala desa untuk mempertimbangkan dampak yang bakal mereka hadapi, mulai dari hilangnya tempat tinggal sampai habisnya tanaman-tanaman sumber pencarian.

Namun, tak butuh waktu lama hutan berganti sawit. Sampai sekarang, Mustar dan 90-an keluarga keturunan suku Bathin Sembilan di sekitar Sungai Bahar masih menunggu kabar perusahaan yang menawarkan kerja sama kemitraan tersebut.

Kaum terusir

Kisah hidup masyarakat suku Bathin Sembilan tampaknya tak lepas dari masa lalu sebagai kaum terusir dari tanah tinggalnya. Salah satu versi sejarah menceritakan bahwa nenek moyang suku ini adalah Puyang Semikat dari Palembang. Ia diusir raja karena kekayaannya dianggap telah melampaui sang raja. Pada masa itu, hasil tambang emas memang mendatangkan rezeki berlimpah.

Setelah diusir, Puyang Semikat menelusuri Sungai Lalan (Sumatera Selatan) sampai ke Sungai Bahar (Jambi). Di wilayah Sungai Bahar, Puyang Semikat bertemu dengan penguasa setempat, Depati Seneneng Ikan Tanah. Ia mengawini dua putri Depati, Bayan Riu dan Bayan Lais, dan memiliki anak-anak. Keturunannya membentuk komune-komune yang berkembang pada sembilan sungai tersier di Kabupaten Muaro Jambi sampai Sarolangun, Provinsi Jambi. Sungai-sungai ini bermuara ke Sungai Batang Tembesi dan Batanghari.

Ada versi lain mengenai cerita Puyang Semikat. Dia disebutkan hanya beristri Bayan Riu dan tidak memiliki anak. Komunitas suku Bathin Sembilan sebenarnya bertumbuh dari keturunan Bayan Lais yang kawin dengan seorang panembahan di Sungai Bahar. Dari anak merekalah, Pangeran Nagasari, lahir sembilan putra, yaitu Lalan, Bahar, Jebak, Jangga, Bulian, Kelisak, Sekamis, Semusir, dan Burung Hantu. Mereka berpencar di tepian sembilan anak sungai. Sungai-sungai tempat mereka berdiam diberi nama sesuai nama mereka.

Si anak bungsu, yaitu Burung Hantu, rupanya tidak dapat disunat. ”Dengan cara dan alat apa pun tetap tak mampu menyunat si bungsu. Orang kemudian meyakini, keturunan Bathin Sembilan yang identik dengan kubu ini adalah keturunan si Burung Hantu,” ujar Dulhadi, tokoh adat Bathin Sembilan di kawasan hutan produksi eks HPH Asialog.

Pernyataan Dulhadi senada dengan pendapat antropolog Johan Weintre yang pernah menelaah kelompok minoritas di Sumatera tahun 2003. Ia mencatat: mereka adalah keturunan dari saudara termuda yang tidak disunat sebab di sekitarnya tidak ada alat yang cukup tajam untuk melakukan penyunatan.

Pemuda itu merasa malu sehingga dia mengungsi ke hutan dan berpisah dari kelompok serta saudara-saudaranya yang sudah disunat.

Menurut Weintre, Kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian Selat Malaka pada permulaan abad XI, serta berniaga dan berhubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India selatan. Kerajaan Chola pernah menyerang Sriwijaya sekitar tahun 1025.

Pada saat itu, sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai oleh Chola mengungsi ke hutan. Mereka disebut orang kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.

Konservator masyarakat suku-suku terasing dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf, mengemukakan, sebutan Suku Anak Dalam (SAD) kerap dikenakan pada masyarakat suku Bathin Sembilan. Ini membuat orang pada umumnya menganggap mereka sama dengan kelompok SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi.

Anggapan tersebut muncul sejak berkembangnya program permukiman kembali masyarakat terasing (PKMT) yang dilaksanakan pemerintah mulai tahun 1970-an hingga sekarang. Sebutan SAD terhadap mereka mengakibatkan pengaburan akan identitas suku Bathin Sembilan.

”Sampai sekarang generasi muda di sana mengetahui bahwa mereka adalah warga suku anak dalam. Hanya kalangan orang tua yang masih berpegangan bahwa mereka sesungguhnya keturunan Bathin Sembilan. Identitas mereka hampir punah,” ujarnya.

Suku Bathin Sembilan, lanjutnya, berbeda dengan Orang Rimba di TNBD, baik dari segi fisik maupun cara hidup. Manusia suku Bathin Sembilan memiliki tekstur tulang lebih kecil dibanding orang rimba. Tekstur wajah mereka lebih cocok dimasukkan ke dalam tipe melayu muda.

Sembilan sungai

Kelompok masyarakat dari suku Bathin Sembilan tinggal di sekitar sembilan sungai tersier di Kabupaten Sarolangun dan Batanghari, Provinsi Jambi, yang bermuara ke Sungai Batang Tembesi dan Batanghari, yaitu Pemusiran, Burung Antu, Sekamis, Telisak, Jangga, Jebak, Bulian, Bahar, dan Singoan. Mereka cenderung hidup menetap di sepanjang alur sungai ketimbang SAD atau orang rimba yang seminomaden.

Kehidupan warga suku Bathin Sembilan tak jauh beda dengan masyarakat suku pedalaman lainnya. Mereka berburu, menombak ikan, mengambil getah damar, karet, serta memanfaatkan jernang, rotan, dan manau.

Undang-undang Rimbo Dalam juga masih berlaku bagi kaum tradisional ini meski pengaruh hukum agama dan negara mulai mengikat mereka. Sesuai Undang-undang Rimbo Adat, mereka harus patuh untuk tidak sekali-kali mengganggu istri orang lain, tidak mengambil harta orang lain, dan menghormati sesama serta berlaku adil.

Menurut Rudi, pendekatan pembangunan telah mengaburkan identitas warga suku Bathin Sembilan. Orang Rimba maupun Bathin Sembilan memiliki pola hidup berbeda, namun pendekatan pembangunannya disatukan. Kegagalan pembangunan lebih banyak terjadi pada Orang Rimba karena hidup mereka yang berpindah-pindah. Banyak rumah ditinggalkan, kemudian ditempati pendatang.

Rudi yang telah mengadakan penelitian pada masyarakat suku Bathin Sembilan sejak 1998 mengatakan bahwa konflik antara masyarakat suku terasing dan perusahaan sawit mulai tampak ketika ia masuk ke sana.

Pembukaan kebun sawit telah mempersempit ruang jelajah pencarian makan bagi warga yang masih menggantungkan hidupnya pada hasil hutan ini. Mereka juga makin terimpit dan terasingkan oleh banyak masuknya pendatang dari sekitar Sumatera dan Jawa.

No comments:

Post a Comment