Sabtu, 8 Maret 2008 | 02:01 WIB
Kartono Mohamad
Pada tahun 1905, armada Jepang mengalahkan armada Rusia di perairan Sakhalin. Kemenangan ini berpengaruh besar terhadap kebangkitan bangsa Asia yang selama berabad-abad ditindas bangsa Eropa dan Amerika Serikat.
Tahun 1908, sekelompok dokter Indonesia lulusan STOVIA membentuk perkumpulan Boedi Oetomo yang kemudian menjadi gerakan politik menghadapi Belanda. Tahun itu kemudian dikenal sebagai awal kebangkitan bangsa Indonesia.
Tahun 2005 Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mulai membangkang terhadap aturan WHO yang dianggap tidak adil bagi bangsa berkembang dalam soal penyerahan seed virus H5N1 strain Indonesia. Pada tahun 2008 perjuangan itu berakhir dengan kemenangan. Hegemoni AS dalam soal pervirusan terhadap negara-negara berkembang yang menjadi ”pemilik virus”, yang dilakukan melalui WHO selama 50 tahun, dapat dikalahkan Siti Fadilah Supari.
Percaya diri
Kesamaan dalam tahun-tahun itu mungkin hanya kebetulan, tetapi dampak dari kemenangan itu hampir sama. Timbul rasa percaya diri, bangsa Asia dapat mengalahkan kekuatan negara adidaya meski sebatas soal virus.
Kemenangan menteri kesehatan Indonesia itu disambut gembira oleh seluruh bangsa Indonesia, dan mungkin juga oleh bangsa-bangsa di negara berkembang. Terbukti dengan usulan perombakan prosedur sharing virus yang diajukan Indonesia disetujui sebagian besar anggota WHO, sementara usul AS hanya didukung AS sendiri.
Desas-desus kemudian berkembang. Pemerintah AS mengirim menterinya ke Indonesia untuk membujuk agar Menkes RI membatalkan usulannya di WHO, terutama mengenai penyerahan virus ke lembaga penelitian virus milik AS. Namun, menteri kita tetap pada sikapnya. ”Anda memang menguasai teknologinya, tetapi kami yang memiliki virusnya dan rakyat kami yang menjadi korban. Silakan tempelkan teknologi itu di jidat Anda, apakah ia dapat menghasilkan sesuatu tanpa virus dari Indonesia,” demikian kisah Siti Fadilah saat peluncuran bukunya.
Membangkitkan semangat
Seabad setelah bangsa Asia bangkit melawan kapitalisme bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, Menkes kita berani membangkitkan semangat serupa dengan perlawanannya terhadap hegemoni kapitalis terbesar di dunia. Dan menang. Sikap AS yang mau memonopoli penelitian virus dan pembuatan vaksinnya, dengan mengambil bibit virus dari negara berkembang, tetapi kemudian menjual vaksin itu kembali ke negara berkembang dengan harga mahal, memang keterlaluan.
Negara itu ingin memperoleh bibit virus secara gratis, lalu mengeruk keuntungan besar dari negara tempat virus itu berasal. Ia ingin mengeruk keuntungan dari penderitaan rakyat di negara berkembang. Maka, masuk akal pertanyaan Siti Fadilah tentang kemungkinan virus itu dijadikan senjata biologi. Mungkin yang dimaksud Menkes bukan senjata biologi yang digunakan dalam perang konvensional, melainkan dimanfaatkan dalam situasi damai, kemudian menjual vaksin atau obatnya ke negara-negara itu. Bagian kecurigaan inilah yang kemudian menjadi isu politik antarnegara, berujung pada penarikan buku Fadilah edisi bahasa Inggris.
Rokok
Bagaimanapun juga, keberanian Menkes RI telah menghasilkan sesuatu yang baik bagi rakyat Indonesia dan negara berkembang lainnya. Yang kini kita harapkan adalah keberanian itu ia pertahankan secara konsisten, termasuk menghadapi kapitalis dalam negeri atau kapitalis luar negeri yang beroperasi di Indonesia, yang mengeruk keuntungan besar dengan mengorbankan kesehatan rakyat Indonesia. Antara lain menghadapi perilaku pembuat bahan adiktif yang membuat rakyat mengalami ketergantungan sehingga menghamburkan uangnya lebih untuk memenuhi ketergantungan itu ketimbang untuk membeli makanan bergizi bagi anaknya, atau membayar uang sekolah anaknya. Contoh industri bahan adiktif semacam itu adalah pabrik rokok.
Seperti penjajah dulu dan juga kapitalis AS, industri rokok pandai menyebarkan mitos yang membuat rakyat (dan pemerintah) ragu untuk bertindak. Di zaman perjuangan kemerdekaan dulu disebarkan mitos, bangsa Indonesia belum siap merdeka. Sikap AS dalam soal virus flu burung (dan mungkin juga hal-hal lain) juga serupa. Menyebarkan mitos bahwa negara berkembang tidak akan sanggup mengembangkan vaksin karena tidak memiliki teknologinya.
Di dalam negeri, industri rokok pun menyebarkan mitos, kalau pemasaran dan penjualan rokok diatur, negara akan kehilangan sejumlah besar penghasilan, banyak buruh akan menganggur dan petani tembakau akan kehilangan nafkah.
Padahal, di negara yang melakukan pengaturan penjualan rokok, termasuk AS yang menyerap keuntungan besar dari penjualan rokok di Indonesia, tidak ada industri rokok yang bangkrut. Bahkan, industri rokok AS merambah seluruh dunia, terutama Indonesia.
Pengaturan diperlukan untuk meminimalkan dampak buruk asap tembakau bagi kesehatan rakyat. Mitos bahwa negara mendapatkan pendapatan besar dari rokok juga perlu dibuktikan karena cukai rokok di Indonesia adalah yang terendah di Asia (kecuali barangkali Kampuchea).
Kapitalis dalam negeri
Namun, mitos-mitos itu sudah menyerap di pikiran elite politik di negara ini dan untuk melepaskannya diperlukan keberanian. Di sinilah diharapkan keberanian Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan untuk melawan kapitalis dalam negeri yang telah mengorbankan kesehatan rakyat Indonesia untuk keuntungan mereka. Kalau menghadapi menteri-menteri AS ia berani, seharusnya ia lebih berani menghadapi sesama menteri Indonesia yang sudah termakan mitos yang ditanamkan kapitalis dalam negeri.
Alangkah gagahnya jika ia berani berkata kepada menteri-menteri yang lain, ”Saya menteri kesehatan, bertanggung jawab terhadap kesehatan rakyat. Saya mengatur pemasaran dan penjualan rokok demi melindungi kesehatan rakyat Indonesia”. Barulah ia benar-benar pejuang konsisten untuk kepentingan rakyatnya.
Kartono Mohamad Tobacco Control Support Center; Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
No comments:
Post a Comment